Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Karena Label yang Tertukar

Pasien operasi caesar meninggal akibat salah memasukkan cairan yang dikira obat anestesi. Obat bius Buvanest dan asam traneksamat tersebut diproduksi di lini yang sama.

13 April 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang polisi tak berseragam terlihat membawa sebuah kotak es di dalam tas plastik kuning dari lantai lima Rumah Sakit Siloam, Karawaci, Tangerang, Rabu pekan lalu. Itu bukan kotak es biasa, karena di dalamnya terdapat sisa ampul obat suntik anestesi berlabel Buvanest. "Hari ini kami membawa alat bukti untuk diperiksa bersama-sama," ujar Herkutanto, Ketua Tim Telaah Kasus Sentinel Serius Kementerian Kesehatan, kepada Tempo.

Alat bukti? Ya, karena di rumah sakit itulah pada Februari lalu terdapat kasus kematian dua pasien setelah dibius dengan obat yang semula dikira Buvanest tersebut sebelum operasi caesar. Empat ampul yang diambil itu jadi alat bukti, kata Herkutanto, karena kasus ini sudah masuk tahap penyidikan polisi. Maka hari itu turut serta penyidik Kepolisian Daerah Metro Jaya yang mengecek ulang sampel yang sudah disegel sejak 20 Februari lalu. Pengambilan alat bukti itu disaksikan perwakilan dari Rumah Sakit Siloam, Kalbe Farma, Kementerian Kesehatan, serta Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Kasus Buvanest ini-sebut saja demikian-mencuat karena kematian dua pasien di Rumah Sakit Siloam pada Februari lalu. Penyebabnya adalah terjadinya kekeliruan isi ampul dengan label Buvanest 0,5 % heavy 4 ml, yang ternyata berisi asam traneksamat 5 ml. Artinya, telah terjadi pertukaran label pada botol-botol ampul.

Pemerintah tentu saja tidak tinggal diam. Kementerian Kesehatan membentuk tim investigasi bernama Tim Telaah Kasus Sentinel Serius, yang diketuai Herkutanto. Tim ini berisi personel dari Badan Pengawas Obat dan Makanan, Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia, Perkumpulan Obstreti dan Ginekologi Indonesia, Badan Pengawas Rumah Sakit, serta Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit.

Hasil investigasi yang diumumkan pada 23 Maret menyatakan tidak terjadi penyimpangan standar profesi, baik dalam pengelolaan maupun penyerahan obat. Tapi mereka menyimpulkan Kalbe plausible melakukan kesalahan saat percampuran (mix-up). Plausible itu artinya, "Masuk akal bisa terjadi, tapi belum tentu terjadi," kata Herkutanto, yang juga guru besar ilmu forensik dan medikolegal Universitas Indonesia.

Herkutanto menjelaskan bahwa tim ini telah melakukan pengecekan ke pabrik Kalbe Farma di Cikarang, Jawa Barat. Di sana mereka menelisik proses pembuatan Buvanest. Diketahui bahwa Buvanest dan asam traneksamat diproduksi pada lini yang sama, yakni lini enam. Tapi, pada saat produksi batch tersebut, Buvanest dikerjakan dulu pada 30 Oktober 2014. Tiga hari kemudian, yakni 3 November, baru giliran asam traneksamat.

Tim menemukan, seusai produksi, obat injeksi tersebut tidak otomatis tertempel label, tapi lewat pengujian kendali mutu. Merekalah, kata Herkutanto, yang melihat kerusakan fisik botol, munculnya endapan dalam cairan, hingga pengubahan warna. "Setahu kami, petugas kendali mutu tidak mengecek berapa tinggi cairan," ujar Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit.

Tim juga memeriksa berkas pengisian formulir tentang failure mode and effect analysis (FMEA). Ini adalah teknik evaluasi untuk menentukan efek kegagalan suatu sistem. Formulir ini diisi produsen-dalam hal ini Kalbe-setelah terjadi suatu peristiwa, yakni tertukarnya label tersebut. "Dari situlah bisa terlihat kemungkinan obat tercecer dalam lini atau terselip dalam conveyor (ban berjalan)," kata Herkutanto. Berdasarkan observasi dan analisis formulir FMEA itulah keluar pernyataan, "Masuk akal, itu saja. Kami tidak serta-merta mengatakan telah terjadi," ujar Herkutanto.

Temuan tersebut membuat Kementerian dan Badan Pengawas menjatuhkan sanksi terhadap dua institusi yang terlibat. Rumah sakit mendapat teguran tertulis lantaran tidak segera melaporkan kejadian kepada Dinas Kesehatan dan Kementerian Kesehatan. Adapun Badan Pengawas membatalkan izin edar obat Buvanest Spinal 0,5% heavy injeksi. Konsekuensinya, PT Kalbe Farma harus memusnahkan semua persediaan obat yang ada dalam penguasaannya.

Direktur Keuangan Kalbe Farma Vidjongtius menyatakan berdasar penelusuran internal perusahaan tidak terbukti telah terjadi percampuran, meski Buvanest dan asam traneksamat diproduksi pada lini yang sama. Direktur Produksi Kalbe Farma Pre Agusta mengungkapkan ada 24 produk yang memakai jalur proses sama dengan Buvanest dan asam traneksamat.

Menurut jadwal, kata Pre Agusta, beberapa ampul produk lain yang diproduksi setelah Buvanest dan sebelum masuk pembuatan asam traneksamat. Dia menegaskan, setiap usai produksi satu obat selalu dilakukan pembersihan lini produksi (line clearance). "Sulit dipahami terjadi kesalahan pengisian," katanya.

Agusta juga menegaskan tidak mungkin terjadi variasi volume isi ampul sampai 25 persen. Perbedaan paling besar adalah nol koma sekian mililiter.

Vidjongtius mengatakan Buvanest dipakai 126 rumah sakit di Indonesia. Sebanyak 1.300 ampul sudah terpakai. "Tidak ada keluhan dari rumah sakit lain," ucapnya dalam rapat dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta. Ia mengaku bingung terjadi kesalahan dalam produksi di batch (satu kali produksi) 63007. "Kalau ada kesalahan, kenapa hanya satu-dua unit?"

Untuk soal ini, Direktur Operasional PT Siloam dokter Andry mengatakan memang yang diambil Kalbe hanyalah sampel satu pasien dalam bentuk satu spuit (suntikan). Spuit kedua berisi cairan dari ampul tertutup berlabel Buvanest. Adapun sampel obat bius dari pasien kedua sengaja disimpan untuk alat bukti, termasuk empat sisa ampul yang masih tertutup. Semuanya disegel sejak 20 Februari.

Barang bukti itulah yang diambil petugas dari RS Siloam pada Rabu pekan lalu. Obat-obat ini akan dibuka dan diverifikasi apakah masih sama dengan kondisi saat penyegelan pertama. Herkutanto menyatakan hasil pemeriksaan akan diketahui hari itu juga, tapi tidak bisa diungkap ke publik. "Hanya pihak terlibat yang mengetahui, supaya semua merasa fair."

Kasus Buvanest sepertinya akan memasuki babak berikutnya.

Dianing Sari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus