Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERTOLAK dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma pukul 08.00, helikopter Super Puma Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara itu berputar di atas kawasan pantai Cilamaya, utara Karawang, Jawa Barat. Merasa belum cukup, Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang berada di atas heli, memerintahkan pilot berkeliling sekali lagi, melintas di atas beberapa anjungan rig serta fasilitas minyak dan gas milik PT Pertamina di lepas pantai itu. Penerbangan pada Kamis pagi dua pekan lalu itu berlangsung hanya sekitar 25 menit. Turut dengan Kalla dalam kabin Super Puma itu Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil, Menteri Koordinator Kemaritiman Indroyono Soesilo, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof Chaniago, serta Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto. "Setelah melihat langsung, Wakil Presiden percaya pada apa yang sebelumnya disampaikan Pertamina," kata Sofyan Djalil, Selasa pekan lalu.
Percaya kepada Pertamina berarti sepakat dengan pendapat bahwa rencana pembangunan pelabuhan laut internasional di Cilamaya, yang berjarak sekitar 70 kilometer di timur Tanjung Priok, itu kurang tepat. Perusahaan migas milik negara tersebut menolak proyek Cilamaya lantaran letaknya terlalu dekat dengan area pengeboran dan jaringan pipa mereka di Blok Offshore North West Java (ONWJ). "Menurut studi kami, alur laut yang aman minimal lima kilometer ke kanan dan ke kiri dari fasilitas migas," ujar Direktur Hulu PT Pertamina Syamsu Alam. "Kurang dari itu, akan berbahaya. Apalagi ini pelabuhan yang akan disinggahi kapal-kapal besar."
Dengan alasan itu pula Jusuf Kalla kemudian memerintahkan agar menggeser lokasi pelabuhan lebih jauh ke arah timur. Tapi, sebelum sampai pada keputusan itu, tarik-menarik dan beda pendapat berlangsung hingga helikopter mendarat di lapangan dekat Balai Desa Tanjung Jaya, Karawang. Seharusnya pagi itu mereka juga meninjau lokasi bakal dermaga di kawasan rawa dan tambak di pantai utara, tapi urung karena daerah tersebut terlalu becek akibat diguyur hujan lebat beberapa saat sebelumnya. Di Balai Desa Tanjung Jaya, Kalla menggelar rapat terbatas bersama para menteri, yang juga dihadiri Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar dan pelaksana tugas Bupati Karawang, Cellica Nurrachadiana. Sofyan Djalil bercerita, walaupun sudah melihat sendiri dari udara, dalam rapat itu Kalla meminta diyakinkan sekali lagi sebelum dia membuat keputusan. "Sebab, ada dua kubu yang beda posisi dan masing-masing punya argumen berdasarkan studi yang mereka buat," kata Sofyan.
Kubu pertama adalah Kementerian Perhubungan, yang menyatakan sudah memperhitungkan semua kemungkinan dan risiko ketika memilih lokasi di Cilamaya itu. Menurut studi yang mereka buat, jarak aman koridor pelayaran cukup selebar empat kilometer, atau dua kilometer ke kiri dan dua kilometer ke kanan dari fasilitas migas. "Studi rampung sejak tahun lalu dan kesimpulannya proyek Cilamaya aman untuk dilanjutkan," ujar Direktur Jenderal Perhubungan Laut Bobby R. Mamahit.
Yang kedua, kubu Pertamina bersama Kementerian Energi. Mereka ingin agar pelabuhan dibangun di lokasi yang tak membahayakan jaringan pipa dan anjungan pengeboran migas. Dengan alasan berbeda, PT Pelindo II berdiri di belakang Pertamina. Menurut Direktur Utama Pelindo II Richard Joost Lino, pelabuhan Cilamaya hanya layak dikembangkan setelah Tanjung Priok yang sekarang sedang dimekarkan hingga kapasitas 20 juta TEUs (setara dengan kontainer 20 kaki) sudah terisi 70 persen. "Kalau tidak, namanya konyol karena kita buang-buang uang dengan proyek sebesar ini," kata Lino. "Dulu Kementerian Perhubungan setuju dengan hal ini. Saya tidak tahu kenapa mereka sekarang mau cepat-cepat mendorong lagi proyek Cilamaya."
BALAI Desa Tanjung Jaya tak cukup luas untuk menampung semua pejabat yang hadir. Jusuf Kalla akhirnya memimpin rapat selama hampir sejam itu sambil berdiri. Meski tertutup bagi wartawan, sekat ruangan yang tak kedap suara membuat para pewarta tetap bisa menguping hampir seluruh isi pembicaraan. "Harus memikirkan solusinya," ujar Kalla, mengawali pertemuan. "Kita perlu pelabuhan. Tapi, setelah melakukan pantauan, di sana juga terdapat aset migas nasional. Ada jalur pipa sepanjang lima kilometer. Jangan sampai keduanya berbenturan."
Menurut Kalla, rencana pembangunan pelabuhan di Karawang tak mungkin dilanjutkan. Dia tak ingin pelabuhan baru mengganggu instalasi migas milik Pertamina, yang bisa berdampak buruk bagi produksi migas nasional. Proyek pelabuhan, Kalla melanjutkan, tidak bisa dibangun tumpang-tindih dengan infrastruktur yang lebih dulu ada.
Namun Kalla memahami proposal Kementerian Perhubungan untuk membangun pelabuhan yang akan menjadi alternatif bagi Tanjung Priok, yang dalam lima-sepuluh tahun mendatang mungkin sudah sangat padat. "Kita harus memilih. Semua positif. Kita pilih alternatif, cari tempat yang lebih aman. Toh, ini untuk kepentingan lebih panjang. Bisa di Subang atau Indramayu," ucapnya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof Chaniago menyetujui usul Kalla. "Lebih ke timur lebih memungkinkan," katanya menanggapi. "Sudah mengkaji juga dengan beberapa menteri. Memang ada beberapa aspek yang harus diperhatikan selain soal adanya proyek pengeboran Pertamina di sana. Paling mungkin di Subang." Sofyan Djalil juga sependapat. "Tapi pelabuhan harus dibangun untuk mengurangi beban Pelabuhan Tanjung Priok," tuturnya.
Pandangan berbeda diungkapkan Menteri Koordinator Kemaritiman Indroyono Soesilo. Dia cenderung mendukung proposal Ignasius Jonan dan anak buahnya. Menurut Indroyono, pelabuhan tetap bisa dibangun di Karawang. Ia membandingkan rencana tersebut dengan Singapura, yang berhasil menyiasati padatnya fasilitas migas di alur laut mereka dan mendirikan pelabuhan besar yang sukses. "Sebelum diputuskan pindah ke arah timur, harus dikonfirmasi apakah memang sudah sama sekali tidak bisa di Karawang," ucapnya. "Singapura saja dengan alur pelayaran yang begitu sempit bisa. Di sini masih ada jarak lima kilometer aman."
Tapi argumen Indroyono buru-buru dibantah Kalla. "Jangan tiru Singapura," katanya. Menteri Energi Sudirman Said mendukung Wakil Presiden. "Begitu geser ke timur, ada pesan baik bagi industri migas. Aspek keamanan jadi perhatian di sektor ini," ujarnya. Dan keputusan pun dibuat: pelabuhan yang baru harus menjauh dari instalasi migas milik Pertamina.
MESKI menerima keputusan Wakil Presiden yang membatalkan rencana pembangunan pelabuhan Cilamaya, Kementerian Perhubungan tak mau studi kelayakan yang mereka bikin di Cilamaya dianggap tak akurat. "Namanya keputusan rapat, pasti ada pertimbangan-pertimbangan lain," kata Bobbi Mamahit, Selasa pekan lalu. "Tapi mana ada studi kelayakan yang salah? "Bobby menjelaskan, perencanaan proyek di Cilamaya itu mereka buat bersama Japan International Cooperation Agency (JICA) sejak 2011 melalui skema hibah. Mereka melibatkan tiga konsultan untuk melakukan studi independen, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan. Berbekal studi itu, keluarlah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 38 Tahun 2012 yang menetapkan Cilamaya sebagai bagian dari rencana induk pengembangan Pelabuhan Tanjung Priok.
Pertimbangannya, lalu lintas kota yang kian padat menyebabkan akses ke pelabuhan utama di Jakarta semakin sulit. Tanjung Priok juga dianggap sulit diperluas lagi lantaran lahan di area itu sudah sangat terbatas. Alasan lain, pelabuhan baru di Cilamaya dapat mengurangi ongkos logistik yang harus dikeluarkan para pemilik pabrik di kawasan Karawang, yang berjarak 140 kilometer pergi-pulang dari Priok. "Waktu tempuhnya enam jam dengan truk kontainer dan menghabiskan 28 liter solar," ucap Bobby. "Nilai bahan bakar yang digunakan setiap tahun mencapai Rp 1,45 triliun."
Tapi kalau pelabuhan dibangun di Cilamaya, ia melanjutkan, jarak ke kawasan industri di Karawang akan berkurang menjadi hanya 70 kilometer pergi-pulang. "Waktu tempuh terpangkas jadi dua jam dengan konsumsi 14 liter solar. Setahun biaya BBM bisa dihemat Rp 750 miliar."
Ketua Asosiasi Logistik Indonesia Zaldy Masita mendukung penjelasan Bobby. Selisih biaya per kontainer yang dikirim dari Cikarang ke Priok dan ke Cilamaya, menurut dia, bisa sampai 100 persen. "Itu belum menghitung waktu yang terbuang karena harus menempuh kemacetan Jakarta."
Itu sebabnya, Bobby meminta, kalau proyek pelabuhan akhirnya dipindahkan ke lokasi yang baru, letaknya tidak terlalu jauh dari rencana semula. Sebab, kata dia, pangsa pasar pelabuhan Cilamaya nantinya 60 persen berasal dari kawasan industri di Karawang, Cikarang, dan Bekasi. "Kalau bisa, geser ke Pamanukan atau Indramayu saja," ujarnya.
Di hadapan Jusuf Kalla dalam pertemuan di Balai Desa Tanjung Jaya itu, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan akhirnya melunak. Menurut dia, keputusan memindahkan proyek pelabuhan dari Cilamaya ke Subang merupakan solusi terbaik. "Pemerintah siap dengan studi baru," ucapnya.
Y. Tomi Aryanto, Pingit Aria, Bernadette Christina Munthe, Reza Aditya
Terancam Tekor
STUDI Kementerian Perhubungan bersama Japan International Cooperation Agency sejak 2011 menyimpulkan pelabuhan Cilamaya layak dikembangkan. Proyek ini digagas untuk memangkas ongkos logistik dan menjadi alternatif bagi Tanjung Priok, yang diperkirakan terlalu padat dalam lima-sepuluh tahun mendatang. Tapi PT Pertamina (Persero) menolak karena khawatir proyek tersebut mengganggu produksi minyak dan gas di Blok Offshore North West Java (ONWJ), yang dikelola PT Pertamina Hulu Energi (PHE) sejak 1971.
PRODUKSI MINYAK DAN GAS PHE ONWJ:
40 ribu barel minyak per hari dan 180 juta kaki kubik gas per hari atau 71 ribu barel setara minyak per hari.
PUNCAK PRODUKSI 2022:
50 ribu barel minyak per hari dan 200 juta kaki kubik per hari atau 84.500 barel setara minyak per hari.
Alur pelayaran dari dan ke pelabuhan Cilamaya akan membelah wilayah operasi PHE ONWJ di tengah, selebar 380 meter dan kedalaman minimal 70 meter, untuk akomodasi kapal ultra large carrier dengan draf 14 meter.
Menurut Pertamina, akibatnya:
- 7 jalur pipa harus ditutup
- 5 stasiun pengumpul harus dipotong dan dibersihkan
- 28 anjungan harus dipotong dan dibersihkan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo