Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONFERENSI Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Conference of the Parties ke-28 (COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab, baru akan berakhir pada 12 Desember 2023. Sebanyak 70 ribu orang tumplek di Dubai Expo membahas cara mencegah dampak pemanasan global. Suhu bumi kini naik 1,2 derajat Celsius dibanding pada masa praindustri. Para ahli PBB memprediksi krisis iklim akan mencapai puncak jika suhu bumi naik sampai 1,5-2 derajat Celsius.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada dua agenda penting yang dibahas dalam COP28, yakni menagih janji penurunan emisi 197 negara serta menyepakati dana kerugian dan kerusakan (loss and damage fund) untuk negara-negara miskin dan kecil yang paling terkena dampak krisis iklim. Dana patungan ini akan dialokasikan untuk membantu menurunkan emisi melalui transisi energi dan konservasi serta adaptasi lewat ketahanan menghadapi perubahan iklim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Indonesia percaya diri memasuki perundingan COP28 dengan data capaian penurunan emisi tiga tahun terakhir. “Tahun 2022 mencapai 47,28 persen,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup Laksmi Dhewanthi memimpin delegasi Indonesia dalam perundingan-perundingan pendanaan iklim dan negosiasi penurunan emisi karbon.
Emisi karbon dianggap sebagai biang keladi pemanasan global. Karena itu, untuk mencegah krisis iklim, semua negara harus menurunkan setidaknya setengah produksi emisi global yang kini sudah melebihi 50 miliar ton setara CO₂. Memakai patokan emisi 2010, produksi emisi Indonesia diperkirakan 2,87 miliar ton pada 2030. Dalam proposal kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC), pemerintah hendak menurunkannya sebanyak 31,89 persen dengan usaha sendiri atau 43,2 persen dengan bantuan asing seperti diajukan ke COP27 di Mesir tahun lalu.
Selama dua jam di ruang FOLU Operation and Collaboration Center di lantai 2 Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Siti Nurbaya menceritakan apa saja capaian mitigasi iklim serta problem-problem yang menghadangnya kepada Bagja Hidayat, Budi Setyarso, dan fotografer Tony Hartawan dari Tempo. Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto membantu menjelaskan beberapa hal spesifik. Untuk alur, kejelasan, dan konteks, wawancara ini diedit dan diringkas.
Jadi Indonesia sudah bisa mencapai target penurunan emisi sebelum 2030?
Penurunan 47 persen itu capaian tahun 2020. Tahun 2021 turun menjadi 43,82 persen dan 2022 sebesar 40,82 persen. Tahun lalu, emisi dari sektor energi masih besar, 700 juta ton setara CO₂. Tapi penyerapan sektor hutan besar juga. Dulu produksi emisi 900 juta, sekarang tinggal 200 juta. Karena itu, Amerika Serikat, Brasil, Prancis mau meniru cara kita menurunkan emisi. Di COP28 mereka menarik-narik kita agar mau satu grup. Saya tak mau.
Mengapa?
Mereka mengedepankan “kami”, lalu mengklaim penurunan emisinya.
Perhutanan sosial menyumbang penyerapan emisi?
Bambang Supriyanto: Dari luas perhutanan sosial 4,06 juta hektare, penyerapannya 31,9 juta ton setara CO₂. Ini 20 persen dari NDC sektor kehutanan. Padahal targetnya hanya menyumbang 6 persen. Profesor Dodik Nurrochmat dari IPB (Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat) mempresentasikan permodelan di COP28. Kalau perhutanan sosial tercapai 12,7 juta hektare, serapan karbonnya 167 juta ton. Jadi target penurunan emisi sektor kehutanan bisa tercapai hanya dari perhutanan sosial.
Di sektor energi bukankah ada pembiayaan Just Energy Transition Partnership (JETP)?
Bunganya mahal karena komersial. Bisa 5 persen. Saya berdiskusi dengan Presiden. Kata beliau, 1-2 persen saja tidak pantas. Juga mekanismenya. Pemberi JETP itu ingin ada proyek hijau, lalu karbonnya dilepas ke pasar internasional tanpa dicatatkan ke sistem pemerintah. Saya tidak mau karena kita punya NDC. Kemudahan mendapat pembiayaan JETP harus, tapi tak boleh melanggar konstitusi.
Sebetulnya berapa karbon kita yang siap diperdagangkan?
Hitungan saya 400-500 juta ton di sektor kehutanan saja.
Harganya berapa?
Kalau mengacu pada pembayaran berbasis kinerja seperti dengan Green Climate Fund dan Norwegia US$ 5 per ton.
Itu wajar, murah, atau mahal?
Jika dibandingkan dengan Kanada murah sekali. Kanada itu bisa US$ 30 per ton. Saya sedang minta kajian, berapa sih sebenarnya harga karbon di hutan kita. Kalau dalam hati saya, seharusnya US$ 70-80 per ton karena hutan kita kaya keanekaragaman hayati, ada masyarakat adat, ada partisipasi publik dalam perhutanan sosial. Tapi dalam hati saja karena ini harus dihitung dengan metodologi yang tepat.
Apa yang membuat harga karbon mahal?
Kualitas karbon diindikasikan oleh banyak faktor, terutama kolaborasi dengan masyarakat. Rakyat ikut menurunkan emisi, teknologinya juga ada, ketahanan nasionalnya muncul. Kalau semua itu dihitung, harga karbon Indonesia semestinya tinggi, bisa US$ 100-300 per ton. Tapi sebelum ke sana kita mesti pelajari pasarnya, negosiasinya, seperti green bond oleh Kementerian Keuangan yang laris karena faktor ekonomi mendukung. Tapi perdagangan karbon itu insentif dan bonus saja, yang utama dan penting menurunkan emisi, terpenuhinya target NDC, sebagai mitigasi perubahan iklim.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar memaparkan tentang perjalanan Indonesia dalam menurunkan emisi karbon di Paviliun Indonesia pada perhelatan COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, 29 November 2023/Antara/Sugiharto Purnama
Bambang Supriyanto: Karbon tidak seperti pasar biasa yang harganya ditentukan oleh supply-demand, tapi willingness to pay. Karena itu, ada negosiasi. Ukurannya adalah dampak serapan karbon itu. Di Kanada ada masyarakat adat yang terlibat sehingga harganya tinggi.
Jadi apa prinsip dalam mitigasi?
Kolaborasi. Bahasa gampangnya, kalau rakyat diajak menanam pohon, mereka memberikan jasa menurunkan emisi. Dengan pembayaran berbasis kinerja (RBP), mereka mendapat insentif ditambah kredit karbon. Mekanismenya nanti dibayarkan oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup. BPDLH bisa membiayai penanaman itu oleh kelompok-kelompok tani melalui small grant. Jadi mitigasi tidak lagi bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pemerintahan yang benar itu kalau pemerintahnya sedikit. Presiden bilang ke saya, “Bu Nur, bisakah pembibitan itu oleh masyarakat saja, bukan oleh pemerintah?” Saya jawab bisa. Itu lokasi-lokasi pembibitan besar bukan dari APBN, tapi dari swasta. Kami tak meminta duitnya, kami hanya memberikan standarnya, lalu mereka bangun pembibitannya.
Bagaimana mencegah perdagangan karbon menjadi greenwashing atau broker karbon?
Tata kelola harus dijaga. Mau bisnis atau kegiatan penyerapan karbon, semuanya harus tercatat dalam Sistem Registri Nasional (SRN) yang ada di KLHK. Lalu metodologi dan cara mengukur serta menghitungnya harus valid. Kami bekerja sama dengan Badan Standardisasi Nasional. Kalau metodologi sama, menghitungnya sama, tidak akan bocor dan proyeknya memang ada. Karbon ini kan barang gaib, yang dihargai itu jasanya, kegiatannya.
Bambang Supriyanto: Kami sedang buat aturannya agar tidak ada broker atau koboi karbon. Sudah banyak perusahaan yang mendaftar menjadi pendamping perhutanan sosial. Belum saya setujui karena harus kami lihat apakah mereka akan jadi broker karbon.
Siti Nurbaya
Tempat dan tanggal lahir:
- Jakarta, 28 Agustus 1956
Pendidikan:
- Sekolah Menengah Atas Negeri 8, Bukit Duri, Jakarta, 1974
- Sarjana Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat, 1979
- Master International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences, Belanda, 1988
- Doktor Institut Pertanian Bogor kolaborasi Universität Siegen, Jerman, 1998
Karier:
- Wakil Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Lampung, 1995-1996
- Kepala Biro Perencanaan Departemen Dalam Negeri, 1998-2001
- Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri, 2001-2005
- Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah, 2006-2013
- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2014-sekarang
Dana loss and damage sudah disetujui di COP28. Indonesia akan mengajukan permintaan dana?
Mekanismenya masih dibahas. Perkiraan saya skemanya mirip RBP. Tapi Maladewa dan Sri Lanka sudah mengajukan alokasi karena mereka yang akan terkena dampak perubahan iklim lebih dulu. Maladewa sedang mengusulkan jadi pusat studi dampak iklim, Sri Lanka mengusulkan jadi pusat keadilan iklim. Tapi, sepanjang saya mengikuti diskusi-diskusi internasional, yang mengerjakan secara sistematik pencegahan dampak iklim hampir tidak ada. Cuma seremoni-seremoni. Jangan-jangan di banyak negara, kabinet mereka juga berbeda-beda melihat problem lingkungan dan iklim ini.
Bambang Supriyanto: Dari pertemuan bilateral, kami mendapatkan komitmen pembiayaan dari beberapa negara. Uni Emirat Arab US$ 100 juta, Jerman US$ 100 juta, Inggris US$ 80 juta, Amerika Serikat US$ 17,5 juta, Jepang US$ 10 juta, dan Uni Eropa US$ 225 juta. Untuk perhutanan sosial, kami mendapat US$ 9 juta dari Green Climate Fund untuk pembayaran berbasis kinerja 2016-2017. Kami sedang mengajukan ke Norwegia US$ 10 juta untuk 2018-2019.
Dana itu untuk apa?
Bambang Supriyanto: Untuk mitigasi 70 persen dan 30 persen untuk adaptasi. Strateginya membangun bubble zone menjaga hutan alam. Untuk area terdegradasi memakai restorasi. Pedomannya sedang kami buat. Prinsipnya uang itu nanti menjadi alternatif pendapatan bagi masyarakat.
Untuk adaptasi apa programnya?
Bambang Supriyanto: Misalnya pemilihan jenis yang cocok dan tahan dengan kenaikan suhu udara dalam agroforestri. Di Nusa Tenggara Timur jika memakai tanaman yang ada sekarang pasti mati karena suhu sudah tinggi, kami carikan jenis yang cocok. Ini tentu butuh biaya. Juga dalam hal memberikan pelatihan dan pemahaman kepada masyarakat dengan memasukkan muatan lokal. Juga membuat dokumen rencana aksi mitigasi (DRAM) berdasarkan integrasi lanskap yang menghimpun kelompok tani hutan (KTH). Jika sudah ada DRAM, alokasi biaya mitigasi dan adaptasi akan terlihat. KTH mengajukan proposal ke BPDLH untuk mitigasi. Adaptasi ke KLHK karena bentuknya pelatihan. Sedang ada pilot project pembuatan DRAM di Gunungkidul, Yogyakarta.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Bambang Supriyanto di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Jumat (8/12/2023)/Tempo/Tony Hartawan
Tadi Anda mengatakan negara lain berbeda-beda melihat problem iklim. Di Indonesia, sektor pertanian dan kelautan juga terlihat belum serius menangani masalah iklim….
Kami sedang membantu sektor kelautan. Akan kami bantu menghitung karbon padang lamun, mangrove, terumbu karang. Angka-angkanya belum keluar. Sekarang memang masih berfokus menangani energi. Tapi perspektifnya memang tidak seperti di KLHK dalam melihat iklim. Sudah saya geprak-geprak menterinya. Saya bilang, “Ayo, Bang, jangan diam saja, saya bantu lead.” Tapi mungkin karena penanggung jawab iklim di sini, ya. Dan mengkomunikasikan perubahan iklim, karbon, itu tidak mudah.
Tidak ada koordinasi resmi?
Dalam NDC sebenarnya sudah diatur. Secara reguler saya bertemu dengan eselon I kementerian dua bulan sekali. Tapi memang tidak formal. Yang agak maju itu perindustrian. Kebijakan parsialnya bagus. Kalau tidak salah sudah ada sebelas komoditas yang punya standar hijau.
Artinya mereka bisa mengikuti perdagangan karbon?
Bisa di bursa. Tapi memang belum terlihat.
Dengan harga US$ 5 per ton karbon, apakah secara bisnis layak untuk konsesi kehutanan?
Saya bicara dengan Direktur Jenderal Pajak. Menurut dia, margin karbon di konsesi itu bisa 70 persen. Besar sekali. Maka kita harus berhati-hati karena yang dijual itu alam. Prinsipnya, jika mereka ikut perdagangan karbon, kewajiban mereka menyumbang NDC dulu, tercatat di SRN.
Dulu ada jenis usaha restorasi hutan yang bisnisnya jasa lingkungan. Status mereka bagaimana?
Sekarang bisnis kehutanan jadi satu, multiusaha kehutanan. Mereka boleh berbisnis ekoturisme, karbon, kayu, agroforestri. Izinnya hanya satu. Izin restorasi sudah lama dan mereka sudah berjualan karbon juga. Tapi sekarang harus menyesuaikan dengan aturan baru. Mereka harus memenuhi kewajiban dulu, baru boleh dagang.
Perdagangan terbentuk jika ada permintaan dan harga tinggi jika ada kelangkaan. Sekarang semua orang berbisnis karbon. Apa tidak khawatir pecah suatu saat?
Negara-negara maju membutuhkan dan mereka wajib membeli. Selama kita masih memakai energi, kebutuhan penyerapan emisi selalu ada.
Deforestasi Indonesia bagaimana?
Sekarang 107 ribu hektare. Sebetulnya bisa lebih rendah karena reforestasi masyarakat belum dihitung. Satelit menangkap tutupan pohon yang berusia tiga-empat tahun. Jadi secara net deforestasi kita mungkin lebih rendah.
Anda sering berbeda pandangan dengan lembaga swadaya masyarakat dalam isu deforestasi dan banyak isu lingkungan lain. Mengapa?
Menghitung deforestasi ada metodologi dan standarnya. Dalam forum internasional, World Resources International (WRI) setuju deforestasi Indonesia turun. Tapi dengan WRI Indonesia saya berantem terus. Ini karena metodologi yang berbeda dan mengikutinya sepotong-sepotong.
Itu juga kenapa Anda meminta banding atas putusan perkara polusi udara Jakarta?
Iya. Seharusnya ayo duduk bareng. Metodenya harus diadu. Kalau metodenya pas, saya enggak ada masalah. Tapi kalau mereka bilang metode KLHK enggak pas, ya sudah, saya diam saja. Di COP28, saya berdiskusi sampai malam dengan mereka dan mereka bilang tahun 2023 deforestasi Indonesia turun. Ya sudah, saya tunggu datanya.
Nikel sekarang populer sebagai komoditas baru. Anda tak khawatir dampaknya pada deforestasi?
Kami terus mengikuti soal ini. Sekarang totalnya 20-30 ribu hektare konsesi nikel. Di Maluku ada pulau yang isinya nikel semua. Tak perlu digali sudah berisi nikel. Hutannya hanya 5 persen. Para direktur saya tanyai, yang seperti ini bagaimana? Sedang saya kaji bagaimana melihatnya. Ini anugerah Tuhan, tapi ada aturan main hutannya harus sekian persen luasnya dan seterusnya.
Dalam NDC, Indonesia juga menetapkan net zero emission 2060. Anda optimistis bisa mencapainya?
Energi sedang gila-gilaan. Kapasitas sekarang 1.100 kilowatt-jam per kapita. Idealnya 5.400 kWh. Maka agak berat. FOLU Net Sink 2030 itu exit strategy kita karena mungkin tak bisa mencapai net zero emission 2050. Jadi di COP26 Glasgow, semua negara diminta mengajukan net zero emission 2050. Padahal pemakaian energi kita mencapai puncak pada 2030 karena pembangunan. Karena itu, sektor kehutanan harus dibereskan untuk menyerapnya. Maka lahirlah FOLU Net Sink 2030. Pada tahun itu kita mencapai emisi negatif 140 juta ton setara CO₂. Dengan hitungan itu, net zero emission bisa tercapai pada 2060 atau lebih cepat.
Sekarang target penurunan emisi tercapai. Apa pencapaian net zero hendak dipercepat?
Saya harus memikirkan lagi exercise-nya. NDC kedua akan dinaikkan lagi pada 2024. Tadinya 31 persen naik jadi 43 persen, eh, kita bisa mencapai 47 persen. Artinya mungkin bisa net zero emission dipercepat. Tapi saya enggak berani bicara sekarang karena energinya masih besar. Kami harus menunggu skema-skema transisi energi. Juga sektor pertanian yang besar pula emisinya karena pertanian kita anaerob, yang kalau dibuka tanahnya menghasilkan emisi besar. Sawah kita 4 juta hektare. Jika diperbaiki bisa signifikan menurunkan emisi. Juga peternakan yang menghasilkan metana.
Semua usaha menurunkan emisi itu butuh biaya. Berapa?
Sudah di atas Rp 400 triliun untuk kehutanan saja. Tapi partisipasi masyarakat belum dihitung. Kalau dihitung mungkin lebih besar. Biaya mitigasi kehutanan kecil, tapi sumbangannya besar.
Pemerintah daerah bisa ikut dalam perdagangan karbon?
Bisa. Cuma, saya minta mereka berkonsultasi ke sini karena bisa ditunggangi oleh bisnis. Jangan salah, free rider di karbon banyak, lho. Karena itu, tata kelola harus kuat.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang memberikan hak pengelolaan kepada pemegang tanah ulayat, yakni masyarakat adat. Apa konsekuensinya?
Komunitasnya bisa bekerja sama dengan pengusaha tambang. Di Taman Nasional Gunung Halimun Salak sudah ada yang seperti itu. Pemegang hak ulayat bekerja sama dengan penambang emas. Itu namanya ekses kebijakan, unintended consequences. Karena itu, saya perhatikan soal-soal seperti ini. Setiap delapan tahun kebijakan harus ditinjau lagi. Saya tahan-tahan memberikan pengakuan agar tak jadi seperti itu. Tapi kalau sudah ada izin hutan adat tidak bisa menjadi hak pengelolaan karena terikat aturan hutan adat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Perdagangan Karbon Itu Bonus Saja"