Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KESEPAKATAN penting untuk membantu negara-negara termiskin dan terentan di dunia yang menanggung dampak perubahan iklim disepakati pada hari pertama Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-28 (COP28) di Dubai, Kamis, 30 November lalu. Kesepakatan tersebut disambut tepuk tangan meriah para delegasi. Negara tuan rumah, Uni Emirat Arab, dan Jerman menjanjikan US$ 100 juta. Nilai pendanaan awal di bawah dana kerugian dan kerusakan (loss and damage fund) mencapai US$ 700 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik mengatakan tidak biasanya pada hari pertama konferensi langsung ada kesepakatan. Namun hal ini tak sepenuhnya mengejutkan. “Komitmen itu sudah ada dan sudah banyak pembahasan sejak dari COP26 Glasgow,” katanya dari arena COP28 di Dubai, Kamis, 7 Desember lalu. Kesepakatan itu relatif lebih mudah dicapai karena tidak mengganggu aktivitas ekonomi. “Karena tidak memaksa satu negara menurunkan emisinya.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan kesepakatan awal, pengelolaan dana kerugian dan kerusakan ini pada awalnya akan berada di bawah naungan lembaga internasional Bank Dunia. Pekerjaan rumah berikutnya adalah menentukan mekanisme penyaluran dana kepada negara-negara yang terkena dampak kerusakan iklim, yang banyak berada di wilayah selatan.
Menurut Iqbal, Indonesia berpeluang mendapatkan dana kerugian dan kerusakan itu. “Kami mendorong pemerintah untuk bisa dapat atau melakukan lobi-lobi politik untuk mendapatkan dananya. Karena korban di Indonesia tidak sedikit kan yang terkena dampak bencana hidrometeorologis itu,” ucapnya. Ia mencontohkan kenaikan permukaan air laut yang terjadi di pantai utara Pulau Jawa.
Pemerintah Indonesia masih menunggu kejelasan mekanisme penyaluran dana tersebut. “Mekanisme penyaluran dananya masih dibahas. Perkiraan saya, skemanya mirip pembayaran berbasis kinerja,” ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya kepada Budi Setyarso dan Bagja Hidayat dari Tempo pada Jumat, 8 Desember lalu.
Baca Wawancara dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan:
Dari COP28, Indonesia sudah mendapatkan sejumlah komitmen pendanaan. Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto mengatakan, dari pertemuan bilateral, Indonesia beroleh komitmen pembiayaan dari Uni Emirat Arab sebesar US$ 100 juta, Jerman US$ 100 juta, Inggris US$ 80 juta, Amerika Serikat US$ 17,5 juta, Jepang US$ 10 juta, dan Uni Eropa US$ 225 juta. Sebanyak 70 persen dana, kata dia, akan digunakan untuk mitigasi kritis iklim dan 30 persen buat adaptasi krisis iklim.
Dana kerugian dan kerusakan yang disetujui pada hari pertama konferensi di Dubai itu dinilai masih jauh dari memadai untuk mengatasi dampak kerusakan akibat perubahan iklim. Menurut sebuah studi, nilai kerugian dan kerusakan yang ditanggung negara-negara berkembang ditaksir lebih dari US$ 400 miliar per tahun dan diperkirakan terus meningkat.
Sekretaris Eksekutif Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) Simon Stiell dalam konferensi pers pada Rabu, 6 Desember lalu, mengatakan kesuksesan menyepakati dana kerugian dan kerusakan ini seperti “pegas” dalam langkah COP. “Tapi ini hanyalah permulaan. Sekarang semua pemerintahan harus memberikan perintah yang jelas kepada negosiatornya: kita membutuhkan ambisi tertinggi,” ucapnya dalam siaran pers UNFCCC.
Dengan disepakatinya dana kerugian dan kerusakan, COP28 menyisakan satu agenda yang tak kalah krusial, yaitu ihwal global stocktake, metode evaluasi untuk mengukur kemajuan komitmen iklim negara anggota COP dalam mencapai tujuan Perjanjian Paris. “Mengenai penghitungan global stocktake, kita sudah mempunyai teks awal.... Kuncinya sekarang adalah memilah ‘gandum dari sekam’. Jika kita ingin menyelamatkan nyawa sekarang dan mempertahankan target 1,5 derajat Celsius masih dalam jangkauan, ambisi tertinggi adalah hasil-hasil COP harus tetap diutamakan,” kata Stiell.
Iqbal, yang rutin mengikuti forum mengenai global stocktake di Dubai, melihat hal ini telah menjadi pusat perhatian. Sebab, hasilnya akan berdampak pada aksi mitigasi dan adaptasi, termasuk kemungkinan menaikkan kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) setiap negara yang saat ini diprediksi tak bisa mempertahankan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius dari masa praindustri seperti target Perjanjian Paris.
Menurut Iqbal, setidaknya sudah ada dua opsi yang muncul dan beredar drafnya sebagai hasil global stocktake itu, yaitu phase out (keluar) atau phase down (menurunkan) energi fosil, baik dari batu bara, minyak, maupun gas. “Dua opsi itu yang banyak dibicarakan,” tuturnya.
Dua pilihan itu punya implikasi yang berbeda. “Kalau phase out, kita berusaha benar-benar keluar secara total dari ketergantungan pada energi fosil. Kalau phase down, ia menguranginya secara bertahap. Jadi tidak ada langkah untuk tidak bergantung, tapi dikurangi pemakaian batu bara, minyak, dan gasnya,” Iqbal menambahkan.
Menurut The Guardian, lebih dari 100 negara menginginkan keputusan akhir COP28 menyerukan penghentian penggunaan bahan bakar fosil. Langkah seperti ini akan menjadi sinyal kuat berakhirnya era batu bara, minyak, dan gas. Pilihan sikap ini dipicu fakta bahwa emisi karbon dari bahan bakar fosil merupakan penyebab utama krisis iklim. Emisi masih terus meningkat, tapi harus turun hampir setengahnya pada 2030 dan mencapai angka nol pada 2050 agar pemanasan global tetap berada pada batas 1,5 derajat Celsius seperti disepakati secara internasional.
Cuaca ekstrem yang sangat parah saat ini, yang diyakini sebagai dampak langsung krisis iklim, telah merenggut banyak nyawa dan mata pencarian. Kondisi ini akan dengan cepat memburuk saat kenaikan suhu bumi di atas 1,5 derajat Celsius dari masa praindustri. Kenaikan suhu bumi saat ini sudah mencapai 1,2 derajat Celsius. Jika tak ada peningkatan ambisi iklim, Climate Action Tracker menilai, kenaikan suhu di akhir abad akan mencapai 2,7 derajat Celsius.
Adanya opsi keluar dari energi fosil ini yang kabarnya membuat organisasi negara penghasil minyak dunia (OPEC) waswas. The Guardian melaporkan bahwa OPEC memperingatkan anggotanya agar menolak opsi keluar dari energi fosil. Ia mendesak anggotanya yang berjumlah 13 itu agar “secara proaktif menolak teks atau formula apa pun yang menargetkan energi, misalnya bahan bakar fosil, dan bukan emisi”.
Mohamed Adow, pendiri lembaga swadaya masyarakat Power Shift Africa, menyebutkan reaksi OPEC itu menunjukkan penikmat keuntungan dari energi kotor tersebut menyadari masa jayanya akan berlalu. “Perubahan iklim membunuh masyarakat miskin di seluruh dunia dan negara-negara penghasil minyak ini tidak ingin COP28 menghentikan penggunaan bahan bakar fosil karena hal itu akan merugikan keuntungan jangka pendek mereka. Ini memalukan.”
Hingga Rabu, 6 Desember lalu, kata Iqbal Damanik, masih terjadi negosiasi ketat mengenai global stocktake dan rekomendasinya. Namun secara umum dia melihat opsi yang ditawarkan dalam COP ini lebih mendorong hal-hal yang bersifat adaptif, seperti dana kerugian dan kerusakan, perdagangan karbon, serta pajak karbon. “Tapi tidak mengubah perilaku negara-negara penghasil polusi atau perusahaan-perusahaan penghasil emisi. Jadi perilaku mereka yang tetap beremisi itu berusaha tidak diganggu.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dana Kerusakan Iklim dari Dubai"