Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ritme kehidupan remaja ini mendadak berubah sejak pertengahan Juli lalu. Ia disorot, dipotret, diwawancarai, dan harus selalu siap menghadiri pertemuan dengan berbagai kalangan. Jonathan Pradana Mailoa dielu-elukan karena dialah bintang penerang di saat negeri ini dilanda berbagai berita kelam: gempa bumi, banjir, kelaparan, hingga korupsi. Pada otak remaja jangkung berusia 16 tahun itu, nama Indonesia terangkat ketika meraih absolute winner di Olim-piade Fisika Internasional ke-37 di Singapura yang diikuti 86 negara.
Namun, perlakuan ini membuat Jona-than—ia biasa dipanggil Jon Pe oleh teman-temannya di kelas 3 SMAK 1 BPK Penabur Jakarta—merasa gerah. Ia tidak pernah merasa dirinya jenius. Gelar itu, menurut dia, didapat karena ke-beruntungan saja. Juga karena ka-rantina selama delapan bulan di bawah bimbingan Yohanes Surya. Kalau boleh memilih, Jonathan lebih suka ruti-nitas-nya yang dulu: baca komik dan main PlayStation. Kepada wartawan Tempo Akmal Nasery Basral, Cahyo Junaedy, dan fotografer Cheppy A. Muchlis, Jona-than berbagi cerita tentang hidupnya sehari-hari.
Bagaimana Jonathan melihat sambut-an masyarakat terhadap prestasi Jonathan di Singapura?
Saya tidak pernah membayangkan -se-perti ini. Ternyata pemenang Olim-piade Fisika disambut juga di Indone-sia. Saya kira hanya ikut olimpiade, lalu -pulang, selesai. Ternyata disambut ba-nyak orang. Ya sudahlah, mau diapain lagi, saya ikutin aja semuanya.
Rasanya?
Capek banget. Sudah seminggu ini saya kurang istirahat. Pagi-pagi sekali sudah jalan hingga larut malam. Saya jenuh.
Kenapa?
Wawancara di setiap stasiun (televisi) itu makan waktu 2-3 jam. Dalam satu hari saya menghadiri 3-4 undangan. -Belum lagi dengan media cetak. Jam istirahat saya cuma di saat jeda antar-wawancara itu.
Sejak kapan tertarik dengan fisika?
Kelas satu SMA.
Karena materi atau cara penyampaian guru?
Materi.
Saat itu sudah terpikir ikut olim-pia-de?
Sejak masuk SMA memang saya s-u-dah niat mau ikut, tapi targetnya ting-kat -nasional saja bukan internasional -se-perti ini.
Sempat ikut olimpiade nasional?
Sempat. Tahun lalu saya ikut dan da-pat medali emas, juga sebagai absolute winner.
Mengapa terobsesi ikut olimpiade?
Mau coba saja. Apakah saya bisa atau tidak ikut kompetisi seperti ini, seka-li-gus mau tahu seperti apa sih fisika yang diperlombakan itu.
Apa sih yang menarik dari fisika?
Nggak banyak hafalan. Teori dan eksperimen dalam fisika sangat menarik.
Di rumah sering melakukan ekspe-ri-men juga?
(Tertawa) nggaklah, nggak punya alat.
Apa yang kamu dapat dari kelas khusus persiapan untuk olimpiade?
Saya bisa lebih mendalami fisika. Tapi jeleknya nggak bisa ketemu temanteman sekolah karena sekitar delapan bulan di Karawaci.
Siapa fisikawan yang kamu idolakan?
Richard Phillips Feynman, peraih -No-bel Fisika 1965. Saya baca biografinya dan saya pikir orangnya rada gila. Dia jadi fisikawan karena senang saja. Dia tidak peduli dapat Nobel atau diangkat sebagai profesor.
(Richard Phillips Feynman [1918-1988] dikenal karena teori partikel, elektrodinamika kuantum, dan fluiditas helium cair yang dikembangkannya. Untuk penelitiannya di bidang elektrodinamika kuantum, Feyn-man berbagi Hadiah Nobel Fisika 1965 dengan Julian Schwinger dan Shin-Ichiro Tomonaga—Red.)
Nilai fisika kamu berapa?
Di atas 9.
Kemampuan fisika ini menurun dari salah satu orang tua ya?
Saya tidak tahu bidang orang tua saya apa. Ayah saya bachelor degree, tapi -nggak tahu di bidang apa. Menurut saya bakat itu bisa dicari sendiri.
Pelajaran yang menurutmu kurang dikuasai?
Biologi, cuma dapat 8.
Kalau pelajaran seni, suka?
Nggak juga.
Dapat nilai berapa untuk kesenian?
Sembilan. Bukan karena saya jago me-nyanyi, tapi karena rajin mengerjakan tugas.
Pernah menyontek?
Pernah. Kelas V SD. Waktu itu ada tugas tata bahasa Indonesia. Saya lupa aturan-aturannya, jadi nyontek teman.
Kalau di SMA?
Belum. Sejak SMP nggak pernah.
(Menurut ayahnya, Jonathan yang selalu bersekolah di Yayasan Penabur sejak SD selalu merebut juara umum. Sehingga ketika masuk SMP dan SMA bebas uang pangkal sebesar Rp 10 juta—Red.)
Sempat mengikuti berita UAN (Ujian Akhir Nasional) yang kontroversial? Beberapa siswa sudah diterima di Perguruan Tinggi, tapi gagal di UAN.
Secara langsung saya tidak tahu ka-rena belum ikut UAN, tapi menurut ce-rita guru-guru dan kakak-kakak kelas saya, soal-soal yang diajukan di UAN itu nggak sulit. Mereka yang tidak lulus ini mungkin kurang persiapan. Apalagi tahun lalu pemerintah menyiapkan ujian ulangan. Nah, mungkin mereka berpikir akan ada ujian susulan seperti tahun lalu itu, tapi ternyata nggak ada.
Bagaimana Jonathan melihat permin-ta-an ujian susulan dari murid yang -tidak lulus?
Kembali pada sikap muridnya sen-diri. Kalau cuma mencari kelulusan saja, me-nu-rut saya tidak baik, karena lulusnya nanti tidak berkualitas dan tidak me-menuhi standar kelulusan.
Kalau Jonathan menjadi Menteri Pendidikan Nasional, apa yang akan dilaku-kan?
Kalau saya Menteri Pendidikan, se-belum UAN saya tegaskan kepada seluruh sekolah, guru dan murid bahwa tidak akan ada ujian ulang. Ini adalah kesempatan satu-satunya.
Kalau diberi tahu begitu, menurut sa-ya semua murid pasti akan menyiapkan diri dengan baik.
Bagaimana Jonathan melihat sistem pendidikan kita?
Terlalu pasif. Murid hanya menelan apa saja yang guru sampaikan. Padahal cara penyajian guru sering tidak menarik. Kurikulum juga kurang dalam, yang dikupas hanya kulitnya saja.
Kalau kualitas guru?
Guru harus belajar beradaptasi de-ngan murid-muridnya. Karakter setiap murid kan berbeda, jadi jangan hanya menggunakan satu teknik adaptasi untuk semua murid. Cara penyampaian juga harus menarik. Ini kemampuan dasar yang harus dimiliki guru. Mungkin dengan belajar psikologi.
Apakah karena seorang guru memegang begitu banyak murid?
Sulit kalau jumlah murid setiap kelas harus dikurangi. Nggak setiap sekolah bisa, karena berarti sekolah harus membangun lebih banyak kelas. Saya kira sekolahnya juga nggak mau kalau peme-cahannya begitu.
Tapi pendapatan guru di Indonesia sa-ngat tidak mencukupi kebutuhan hi-dup. Bagaimana mereka harus belajar hal lain seperti psikologi?
Memang sampai saat ini gaji guru ma-sih kurang. Seharusnya pendapat-an me-reka sudah dapat memenuhi kebutuhan hidup sehingga bisa maksimal dalam mengajar. Mungkin baru guru-guru di sekolah swasta yang sudah agak men-dingan (pendapatannya).
Sempat membicarakan masalah ini sewaktu bertemu Presiden Yudhoyono?
Nggak. Pak SBY cuma kasih selamat karena sudah mengharumkan nama baik bangsa Indonesia.
Padahal, kalau yang menyampaikan problem guru itu seorang peraih absolute winner, mungkin akan diperhatikan.…
Oh iya, lupa (terdiam sebentar). Iya juga, ya?
Apakah dukungan pemerintah untuk program pelatihan olimpiade ini cukup memadai?
Saya dengar jauh dari cukup. Misalnya tim olimpiade butuh dana pelatih-an selama delapan bulan, tapi peme-rin-tah hanya membiayai dua bulan saja. Pemerintah kurang mendukung. Sisa-nya tim harus mencari sponsor sendiri.
Kalau dari peserta negara lain, ba-gai-mana sistemnya?
Mereka sangat didukung pemerintah-nya. Pelatihan mereka juga tidak terlalu lama seperti Indonesia. Paling hanya dua-tiga bulan. Tapi hal ini bisa dilakukan karena kurikulum mereka sudah mendukung.
Selain belajar fisika dan sekolah, ke-giat-an lainnya apa saja?
Paling online di internet, maksimal 2 jam. Kadang-kadang cuma 15 menit. Itu sudah cukup. Selain itu main Play-Station.
15 menit? Apa saja yang dilakukan?
Paling download lagu. Saya suka The Corrs.
Tidak mengecek e-mail atau chatting?
Saya punya e-mail, tapi jarang di-pakai. Malas. Chatting apalagi.
Kalau blog atau Friendster?
Nggak nge-blog. Friendster juga ng-gak-.- Nggak ada waktu. Apalagi de-lapan bulan lalu hampir seluruh waktu dipakai untuk persiapan Olimpia-de ini. Nonstop.
Selain The Corrs, apakah Jonathan dengar musik Indonesia dari grup seperti Samsons atau Radja?
Samsons? Nggak tahu. Ra-dja juga nggak tahu. Kalau Dewa tahu, terus Ratu, saya pernah de-ngar l-agunya belum lama.
Novel apa yang terakhir dibaca?
Angels and Demons-nya Dan Brown. Sebelum itu The Da Vinci Code. Saya mau tahu seperti apa sih novel yang banyak dibicarakan itu.
Suka?
Nggak terlalu. Kalau Harry Potter saya suka dan punya semua judulnya dalam bahasa Inggris. Tapi yang paling saya suka itu komik, misalnya Detektif Conan, Dragon Balls, atau Hikaruno’s Go. Koleksi komik saya satu lemari, Jepang semua.
Kenapa tidak punya komik-komik Amerika dari Marvel atau DC?
Komik Amerika itu aneh, kayak Su-per-man dan Batman. Tokohnya memiliki badan berotot-otot dan gambarnya terlalu ramai. Ceritanya juga kurang menarik, cuma keren-kerenan doang. N-ggak bermutu.
Suka nonton TV?
Cuma Animax. Saya nonton tidak la-ma, paling banyak 1 jam.
Pernah nonton sinetron Indonesia?
Malas, ceritanya terlalu dibuat-buat. Malah jadi lucu.
Pernah dugem?
Dugem itu apa ya?
Dugem itu singkatan dunia gemerlap. Biasanya pergi ke kafe malam hari dan mendengarkan live music.
Nggak pernah.
Bagaimana melihat dirimu 10 tahun ke depan?
Mungkin pegawai biasa.
Kalau masa depan Indonesia?
Saya optimistis. Dulu rakyat Indonesia hidup dalam ketakutan. Sekarang sudah bebas, terbuka. Banyak yang bersalah sudah mulai dihukum.
Hal yang paling berkesan dari ajaran orang tua?
Bekerja harus sekeras mungkin, ja-ngan setengah-setengah. Kalau berhasil jangan sombong karena nggak selalu di atas, bisa jatuh lagi.
Bagaimana rasanya dikenal banyak orang seperti sekarang?
Nggak semua orang tahu saya kok. Pernah waktu saya datang ke satu studio televisi bersama teman, justru teman saya yang diberi selamat. Mereka pikir dia itu Jonathan (tertawa).
Jonathan Pradana Mailoa Lahir: Jakarta, 20 September 1989 Orang tua: Edhi Mailoa (Ayah), Sherlie Darmawan (Ibu) Adik: Winston Mailoa Prestasi:
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo