Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Pergunjingan di Sekitar Tuhan

31 Juli 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syu’bah Asa

Ada pergeseran di sekitar pema-kaian kata tuhan di sementara kalangan Islam. Ini bisa dijelaskan dari sebuah lelucon—tentang lagu anak-anak Pelangi ciptaan Ibu Sud berikut ini:

Pelangi pelangi, alangkah indahmu Merah kuning hijau, di langit yang biru Pelukismu agung, siapa gerangan Pelangi, pelangi, ciptaan Tuhan

Nah, menurut lelucon itu, lagu yang bagus itu mengalami perubahan dua kali. Pertama, ketika kalimat terakhir- di atas berganti menjadi, ”Pela-ngi, pelangi, ciptaan Allah.” Ini akibat arus Islamisasi, katanya, yang meng-hendaki penegasan mengenai ”tuhan” itu sebagai ”tuhan yang bagaimana”. Allah adalah tuhan dalam akidah I-slam, yang tentu berbeda dari yang menurut konsepkonsep lain. -Itulah jalan pikir-an kalangan yang juga tidak lagi mau memakai -istilah-istilah sembah-yang dan puasa, dan sebaliknya memi-lih salat (dengan h – sholat) dan saum (harusnya dengan h juga: shoum). Sebab puasa, misalnya, yang dari bahasa Sanskerta itu, ”aslinya” tentu lain dari yang kita punya.

Demikian juga sembahyang, eh, salat. Tidakkah Anda amati kegiatan dak-wah di layar televisi? Hampir se-mua dai sekarang, termasuk mereka yang sangat terkenal, tidak memakai kata tuhan, melainkan ha-nya allah, yang oleh sebagian dibaca de-ngan auloh—ya, oleh ”generasi dai auloh” (yang tidak fasih melafalkan allah) yang memang tumbuh cukup banyak. Seiring dengan itu Anda akan sulit menjumpai pemakaian kata-kata sembahyang dan puasa, kecuali mi-salnya oleh mereka yang dari pemerintah atau Departemen Agama.

Adapun pengubahan kedua, konon, menyebabkan kalimat terakhir lagu itu dibaca ”Pelangi, pelangi, ciptaan Robb”. Robb (ejaan kita: rabb) ini tidak dimaksudkan sebagai pengganti allah. Melainkan pengganti tuhan yang tidak jelas itu. Rabb adalah tuhan pemelihara, pengasuh, pendidik, yang memajukan dan mengembangkan kehidupan. Jadi, ketika seseorang berseru, ”Ya, rabb kami” (bukan ”Ya, tuhan kami”), ia sekaligus me-lantunkan harap-an oleh kesadaran makna yang persis itu.

Makna yang persis. Di sisi lain, ke-gemaran pada ”makna persis” se-perti itulah yang juga menye-babkan ka-limat La ilaha i-lla-llah terkadang di-terjemahkan m-enjadi ”Tiada tuhan yang pa-tut d-isembah selain Allah”. Sebab arti ilah memang tuhan sesembahan. -Persis, bukan? Padahal, kalimat -”Tiada tuhan yang patut di-sembah s-elain -Allah”, seperti yang terpam-pang di layar televisi pada sebagian -acara azan magrib, juga memberi suges-ti adanya tuhan-tuhan lain, yakni yang tidak patut disembah, entah apakah semacam tuhan nonportofolio.

Yang menarik, ”kontroversi”, ka-ta-kanlah, penyebutan nama Tuhan itu khas Indonesia. Bandingan yang mudah untuk terjemahan ungkapan Qur’an di sekitar itu tentu saja salin-an kitab suci itu ke bahasa Inggris. Dan Abdallah Yousuf Ali, penulis The -Glorius Kur’an, Translation and Commentary (1934), kitab yang juga di-sebarkan oleh Yayasan Raja Fahd dari Arab Saudi, menjadi contoh khas untuk keputusan yang justru banyak sekali meninggalkan lafal allah dan memilih tuhan.

Begitulah Yousuf menyalin Qul huallahu ahad, misalnya, bukan de-ngan ”Katakan: ’Dialah Allah, Yang Maha Esa’,” seperti Al Qur’an dan Terjemah-nya dari Departemen Agama, melainkan- ”Say: He is God, the One and Only.” God di situ menggantikan Allah. Dari sini juga terjemahan La ilaha illallah bisa menjadi There is no god but God. Bisa kita meng-erti karena orang Barat, dan demi-kian juga umat Kristen, pada dasarnya tidak mengenal allah. Mereka tahu yehova, tapi allah ha-nya ada dalam -Islam. Bisa dipahami bila umat Kristiani di Indonesia meng-ambil allah itu dari Islam, lewat peng-ucapan Jawa: alah, gusti alah.

Yang bisa menjadi soal: sementara gerakan dari tuhan ke allah bisa ber-arti eksklusivisasi, yang dari allah ke tuhan jelas pembukaan diri. Mengapa, coba, kecenderungan di Indonesia justru menutup?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus