Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kami Seperti Ditelikung

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban mengapresiasi keputusan Presiden Joko Widodo yang menunda pembahasan omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja kluster Ketenagakerjaan. Kelompok buruh ingin dilibatkan dalam pembahasan RUU setelah masa pandemi Covid-19 usai. Elly mendesak pemerintah menjamin kelanjutan hidup para buruh yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja akibat pandemi virus corona.

2 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita Silaban. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Presiden Joko Widodo menunda pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja kluster Ketenagakerjaan di DPR setelah meminta masukan dari tiga pemimpin organisasi buruh terbesar.

  • Untuk menggalang kekuatan menolak omnibus law RUU Cipta Kerja, tiga organisasi buruh terbesar membentuk aliansi Majelis Pekerja Buruh Indonesia.

  • Presiden KSBSI Elly Rosita Silaban mengatakan program kartu prakerja kurang efektif di saat pandemi karena buruh dan korban PHK lebih membutuhkan bantuan dana dan bahan pokok untuk bertahan hidup.

SETELAH menunggu selama dua hari dengan waswas, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban mendapat kabar gembira dari Istana Merdeka pada Jumat, 24 April lalu. Saat itu, Presiden Joko Widodo mengumumkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat telah sepakat menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja kluster Ketenagakerjaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Elly, 49 tahun, keputusan Jokowi itu menjadi jawaban atas tuntutan yang dia ajukan bersama Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea dan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal. Jokowi mengundang ketiga pemimpin organisasi buruh itu ke Istana dua hari sebelumnya untuk meminta masukan mengenai omnibus law Cipta Kerja. Dalam pertemuan tertutup selama sekitar satu jam itu, Jokowi hanya didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tengah merebaknya wabah Covid-19, Elly dan dua koleganya tersebut mendesak Jokowi menghentikan pembahasan rancangan aturan yang dinilai merugikan kaum buruh itu. “Jangan dibahas sekarang, kita utamakan dulu melawan Covid. Setelah itu, tarik RUU Cipta Kerja, libatkan kami dari awal,” kata Elly dalam wawancara khusus dengan Tempo, Senin, 27 April lalu.

Menurut Elly, aliansi kelompok buruh Majelis Pekerja Buruh Indonesia semula merencanakan aksi mogok nasional untuk menolak RUU Cipta Kerja pada Kamis, 30 April lalu. Sebanyak 80 ribu buruh siap turun ke jalan-jalan Jakarta. Dengan ditundanya pembahasan rancangan undang-undang itu, unjuk rasa sehari menjelang Hari Buruh Sedunia atau May Day itu pun urung digelar.

Elly menerima wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi, di kantornya. Selama lebih dari dua jam, ibu dua anak yang menjadi aktivis buruh sejak 1994 ini menjelaskan alasan penolakan RUU Cipta Kerja, pertemuannya dengan Jokowi, hingga hubungannya dengan organisasi buruh lain. Perempuan pertama yang mengetuai organisasi buruh di Indonesia ini juga mengkritik program Kartu Prakerja yang dia nilai tak tepat sasaran.

 

Apa saja tuntutan yang disampaikan kepada Presiden Jokowi?

Kami menceritakan keluh-kesah soal omnibus law Cipta Kerja. Kami sampaikan substansinya bahwa ini jangan dibahas sekarang, kita benar-benar utamakan dulu melawan Covid. Tunda pembahasan daripada kami turun tanggal 30 April karena itu membahayakan nyawa manusia (karena berunjuk rasa saat wabah). Setelah itu, tarik RUU Cipta Kerja, libatkan kami dari awal. Permintaan terakhir kami, kluster Ketenagakerjaan dikeluarkan dari omnibus law. Biarkan menjadi undang-undang sendiri karena Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan masih lebih bagus.

Anda juga menyampaikan soal rencana aksi mogok nasional buruh?

Sebelum selesai pertemuan, saya sampaikan ke beliau, “Pak, jangan umumkan terlalu lama. Karena kalau Bapak umumkan di atas tanggal 30 April, berarti korban akan makin banyak, dan kami akan turun tanggal 30 April pas bulan puasa.” Kami meminta sebaiknya DPR mengawasi dana Rp 405,1 triliun untuk penanganan Covid. Peruntukan dan pengawasannya bagaimana, apakah tepat sasaran, adakah yang dikorupsi. Ini bukan hanya urusan pengusaha dan pemerintah, tapi juga urusan serikat buruh. Bagaimana buruh yang sekarang sudah ada yang dirumahkan, tunjangan hari raya mereka tidak dibayarkan atau dicicil. Kenapa tidak diurus sampai sana? Kita kembali ke omnibus law saat kehidupan kita sudah normal.

Bagaimana respons Presiden?

Ya, biasa saja. Presiden bilang begini, “Katanya dilibatkan. Itu laporan yang masuk ke saya.” Lalu Andi Ghani menjawab, “Kami tidak pernah dilibatkan. Nama kami hanya dicatut.” Saya merasa iba, saat itu dia (Jokowi) hanya lebih banyak mendengarkan kami.

Apakah pemerintah memang berencana menunda pembahasan RUU Cipta Kerja karena Covid?

Enggak. Pak Jokowi berpikir selama ini serikat buruh terlibat dalam pembahasan. Saya sampaikan memang secara virtual meeting (dengan DPR) itu dibuka. Tapi, ketika kami masuk dan mencoba intervensi, kami langsung diblok. Sudah beberapa kali seperti itu saat diskusi dengan DPR. Padahal katanya terbuka untuk umum.

Sejauh mana serikat buruh dilibatkan dalam pembahasan RUU Cipta Kerja?

Sebenarnya kami sejak tahun lalu sudah memulai penolakan, tapi serikat buruh bergerak sekitar awal tahun ini. Kami memulai aksi menolak omnibus law pada Januari lalu. Saat itu belum spesifik RUU Cipta Kerja (awalnya bernama Cipta Lapangan Kerja). Kami mengira, kalau pemerintah melihat penolakan serikat buruh, rancangan ini pasti akan ada review ulang, tidak akan dilanjutkan. Kita sudah menjadi negara maju, kok buruhnya masih teriak-teriak soal hak buruh yang mendasar, kan itu enggak masuk akal.

Bagaimana reaksi pemerintah terhadap aksi buruh saat itu?

Kami melihat perjuangan selama aksi-aksi itu tidak begitu didengar dan tidak membuahkan hasil. Saat itu kita tidak menduga akan ada Covid. Tadinya kami akan terus beraksi karena pemerintah menyatakan omnibus law selesai dalam 100 hari kerja. Seratus hari kerja untuk membahas 11 kluster yang terdiri atas 79 undang-undang dengan 15 bab dan 174 pasal dan tidak melibatkan buruh, apa maksudnya? Lalu ada undangan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk kami seolah-olah mau membahas draf omnibus law.

Berapa perwakilan serikat buruh dan pekerja yang diundang saat itu?

Saya lihat di daftarnya ada 23 federasi dan konfederasi. Awalnya kami ingin bisa masuk membahas substansi. Tapi ternyata masih pembagian kluster, siapa yang masuk kluster PHK, siapa yang masuk tim outsourcing. Hanya begitu. Lalu muncul Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 121 Tahun 2020 yang menyebut nama-nama kami yang hadir di situ sebagai tim. Kami semula menyambut baik, tapi segera setelah itu drafnya sudah langsung dikirim ke DPR pada 12 Februari lalu. Kami kan seperti ditelikung, nih. Bagaimana kami bisa intervensi ke substansinya? Mulailah kami marah dan menarik diri dari situ.

Mengapa memutuskan mundur dari tim pembahasan draf?

Kami merasa dibohongi. Kami tidak mau masuk sebagai tim untuk melegitimasi, sementara draf itu sudah masuk di DPR. Kami kira kalau sudah masuk di DPR tidak ada lagi ruang untuk serikat buruh. Padahal saya ingat persis pernyataan Pak Jokowi, kalau tidak salah pada 10 Desember 2019, bahwa RUU ini akan dikonsultasikan dengan serikat buruh dan serikat pekerja. Makanya sewaktu pertemuan itu saya bilang, “Apakah Pak Jokowi tidak melihat keributan ini?” Kami sudah ribut-ribut menolak, beliau bahkan menerbitkan surat presiden omnibus law.

Apa dampak pandemi Covid-19 terhadap upaya advokasi kelompok buruh?

Semula kami tidak berpikir itu akan menghantam kita. Kami sudah menyusun rencana aksi. Lalu dihadapkan dengan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Terpecahlah konsentrasi kami. Tapi kami harus kembali ke RUU Cipta Kerja. Karena itu, kami mau aksi mogok nasional. Awalnya 22 April, tapi diundur karena masih penerapan pembatasan sosial berskala besar. Akhirnya kami bikin tanggal 30 April meskipun bulan puasa.

Bagaimana Presiden akhirnya mengundang Anda ke Istana?

Protokoler Istana menghubungi saya pada 21 April selepas magrib. Saya diminta hadir bertemu dengan Presiden besoknya jam 13.00. Dalam pertemuan itu hanya ada saya, Andi Ghani, dan Said Iqbal. Pak Jokowi didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Kami duduk berhadapan dalam pertemuan tertutup. Tidak ada wartawan sama sekali.

Bagaimana reaksi Presiden saat Anda bertiga memberikan masukan?

Dia sesekali mencatat sambil bilang, “Iya betul, iya betul.” Ketika kami beri tahu bahwa serikat buruh tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, dia terlihat gelisah, senyumnya tiba-tiba hilang, dan seketika duduk bersandar di kursinya.

Benarkah serikat-serikat buruh lain tidak puas terhadap keputusan Presiden menunda pembahasan RUU Cipta Kerja?

RUU Cipta Kerja ini kan ditolak semua unsur serikat buruh. Jangan hanya menitipkan nasib kepada serikat tertentu dan mereka tidak melakukan apa-apa. Kalau hanya sedikit yang kami capai, ya apresiasilah. Tapi saya lebih khawatir jika pembahasannya dimulai lagi dan kami tidak dilibatkan saat kami masih lengah karena mengurusi anggota-anggota yang di-PHK.

Apa saja poin krusial dalam RUU Cipta Kerja yang paling disorot kelompok buruh?

Sebenarnya tidak semua pasal di RUU Cipta Kerja itu buruk. Tapi kami menyoroti delapan pasal, Iqbal sembilan pasal. Soal outsourcing yang akan dibuka di semua lini dan semua ruang, kontrak kerja yang bisa seumur hidup, penghapusan upah minimum per daerah. Itu yang paling buruk dan sangat merugikan buruh. Ada juga soal pesangon, tenaga kerja asing, dan jaminan sosial. Tapi yang paling mendasar adalah kontrak, outsourcing, dan upah minimum.

RUU Cipta Kerja banyak menuai kritik karena dianggap mengakomodasi kepentingan investor. Tanggapan Anda?

Saya selalu mengatakan kami tidak menolak investasi, tapi buatlah kebijakan yang menguntungkan semua. Ada hasil penelitian yang menyatakan masyarakat yang disurvei lebih mendukung RUU Cipta Kerja karena diperuntukkan membuka lapangan pekerjaan. Ini menggelitik sekaligus bikin kami marah. Bukannya kami tidak punya hati kepada mereka yang masih menganggur, tapi jangan sampai mereka yang sudah bekerja dikorbankan. Bukalah lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya di sektor formal dan informal, tapi jangan mengorbankan buruh.

Apa solusi terbaik menurut Anda?

Kluster Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja itu tidak perlu. Makanya kami tolak. Kami enggak anti-perubahan, tapi bukan berarti yang sudah diperoleh buruh di Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan harus dihilangkan. Itu kan tidak masuk akal.

Benarkah investor asing enggan masuk Indonesia karena upah buruhnya termasuk tertinggi di Asia Tenggara?

Enggaklah. Itu karena birokrasinya berbelit dan banyak kutipan ilegal. Infrastrukturnya juga tidak lengkap. Upah buruh di Filipina, Malaysia, dan Singapura di atas kita. Upah buruh di sini 270 sekian dolar, lebih tinggi dari Kamboja yang 170 dolar dan Bangladesh yang 100 dolar. Vietnam sedikit di bawah kita, sekitar 250 dolar. Vietnam itu serikat buruhnya hanya satu dan pro-pemerintah. Investasi asing banyak masuk Vietnam karena pemerintahnya yang menentukan upah buruh.

Sejak wabah Covid-19 merebak, apa saja persoalan yang paling banyak dikeluhkan buruh?

Ada yang mengadu disuruh mengundurkan diri semua dengan membikin tanda tangan. Saya bilang jangan mau mengundurkan diri, biarkan perusahaan yang memecat sehingga dapat hak. Ada yang akan dirumahkan, gajinya dipotong 50 persen. Kami harus mengadvokasi mereka, misalnya minta mereka bikin surat ke manajemen dan bertemu untuk tawar-menawar soal pemotongan gaji. Yang penting nanti harus tetap bekerja di situ. Ada yang dirumahkan, gajinya diberikan 40 persen tapi tidak harus bekerja. Saya sarankan diterima, toh mereka tidak di-PHK. Sekarang bukan hanya buruh, wartawan juga banyak yang dipotong gajinya.

Bagaimana dengan persoalan pembayaran THR?

Ada buruh yang mengadu THR tidak dibayarkan atau dicicil dua kali. Kalau dicicil kan bukan THR lagi namanya. THR itu sudah dikumpulkan jauh-jauh bulan. Tidak serta-merta THR itu menjadi tidak ada hanya karena Covid.

Berapa anggota KSBSI yang menjadi korban PHK?

Per 27 April, ada 4.011 buruh yang di-PHK dan 76.001 yang dirumahkan. Kami mempunyai sepuluh federasi di seluruh Indonesia, ada pertambangan, kimia, kesehatan, perbankan, garmen tekstil, logam metal.

Sektor industri apa saja yang buruhnya rentan dikenai PHK?

Paling rentan adalah buruh perkebunan kelapa sawit. Mereka kebanyakan buruh harian di Sumatera dan Kalimantan. Misalnya, kerja dari 1 Maret tapi sampai akhir bulan tidak digaji. Sektor lain yang banyak terimbas itu transportasi, hotel, manufaktur yang elektronik, dan sektor informal. Sedangkan manufaktur lainnya 90 persen masih produksi.

Mengapa KSBSI bersama KSPI dan KSPSI kembali menghidupkan Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI)?

Kami melihat ancaman omnibus law dan perlu kekuatan besar dari serikat buruh. Sebelumnya tidak ada masalah sebesar ini. Jumlah anggota serikat buruh yang terdaftar di Kementerian Ketenagakerjaan hanya 2,7 juta. KSPSI sekitar 1 juta, KSPI 800-an ribu, dan KSBSI 700-an ribu. Kami bertiga sudah 2,5 juta sekian. Makanya sedikit lebih kuat, tapi bukan berarti kami jadi sombong. Kami hanya tidak melihat keseriusan teman-teman serikat buruh yang lain. Tidak ada artinya berkoar-koar hanya di media sosial karena parlemen tidak membaca itu. Kalau semua serikat buruh turun bersama menolak omnibus law, saya kira bisa gol. Bahkan semua RUU bisa dibatalkan. Kalau tidak bersatu, tidak kuat, apa yang bisa kami pengaruhi?

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita Silaban saat wawancara dengan TEMPO di kantor KSBSI, Jakarta, Senin, 27 April 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis

Apakah serikat-serikat buruh sulit bersatu tanpa MPBI?

Ya, memang begitulah. Kalau tidak salah, sekarang ada 16 konfederasi dan 117 federasi buruh serta serikat buruh yang mencapai 2.000-an. Kelemahan serikat buruh di Indonesia adalah egoismenya tinggi. Jangan merasa hebat saat jadi pemimpin serikat buruh. Tidak ada artinya, toh dia makan dari anggota. Apa yang disombongkan kalau dia tidak mengurusi anggota? Kita harus paham, tanpa mengumpulkan kekuatan yang lain, kita akan susah memenangi sesuatu. Apalagi pemerintah dan pengusaha melihat banyaknya konfederasi buruh sebagai alat untuk memenangkan mereka, karena yang berjuang kan cuma tiga orang.

Seintensif apa komunikasi Anda dengan Andi Ghani dan Said Iqbal?

Terlepas dari sepak terjang mereka di politik ataupun perbedaan pilihan (saat pemilihan presiden), saya sangat hormat kepada mereka dalam menyikapi omnibus law. Sejak sebelum wabah Covid, kami bertemu puluhan kali hanya untuk membicarakan penolakan omnibus law.

Pemerintah telah menyiapkan program Kartu Prakerja untuk para pekerja yang terkena dampak Covid-19. Apakah sejauh ini efektif?

Peruntukan Kartu Prakerja jangan eksklusif. Mintalah data secara konkret ke serikat-serikat buruh. Lalu aksesnya dipermudah, jangan hanya untuk anak-anak muda yang melek aplikasi. Kan, tidak semua buruh paham, misalnya mereka yang bekerja di pabrik-pabrik. Sudah ada 1.499 anggota kami yang mengakses, tapi semua gagal dalam putaran pertama dan kedua. Menurut tim KSBSI, sistem yang ada kurang mudah dipahami dan diakses buruh. Jadi Kartu Prakerja di saat pandemi ini sebenarnya tidak dibutuhkan. Padahal, per 16 April lalu, sudah 1,9 juta lebih yang di-PHK dari sektor formal dan informal.

Mengapa Kartu Prakerja tidak dibutuhkan saat pandemi?

Itu kan didesain sebelum ada Covid. Sebagian orang mengapresiasinya karena penganggur mendapat dana sedikit untuk transpor dan belajar. Tapi itu dulu. Sekarang coba lihat, tadinya Anda mau beli baju, tapi beras sudah tidak ada. Berarti kan harus membeli beras dulu. Orang-orang yang di-PHK lebih membutuhkan biaya makan. Siapa yang mau belajar saat kelaparan? Makanya buruh kurang tertarik ikut training lewat Kartu Prakerja. Mereka hanya menginginkan dana tunai dan bahan kebutuhan pokok untuk bertahan hidup. Lagi pula, misalnya keterampilannya diasah sekarang, tidak ada jaminan mereka bekerja lagi setelah ikut kursus tiga bulan.

Bagaimana solusinya jika pandemi berlangsung lama dan gelombang PHK terus terjadi?

Pemerintah harus tetap membantu buruh, minimal memberikan bahan pokok. Mungkin tidak bisa lagi mewah-mewah jadi (keringanan) cicilan rumah. Tapi bahan pokok dibagi tepat sasaran dan ada pengawasannya. Dana penanganan Covid sebesar Rp 405,1 triliun itu kan tidak sedikit.



ELLY ROSITA SILABAN
 | Tempat dan tanggal lahir: Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 3 Agustus 1970 | Pendidikan: S-1 Ekonomi Manajemen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Adhy Niaga, Bekasi (2007) | Karier: Koperasi Anggota PT Telkom Medan (1990-1992), Pengurus di Sektor Buruh Rumah Tangga dan Migran SBSI (1996-2000), Sekretaris Koperasi Anggota SBSI (1997-2002), Sekretaris Departemen Hubungan Internasional SBSI Jakarta (2002-2007), Ketua Umum Federasi Garmen Tekstil (2007-2015), Deputi Presiden KSBSI (2015-2019), Presiden KSBSI (2019-2023)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus