Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI babah pinto sue meualon, dara meupanton ngon hatee luka. Tembang yang berkisah tentang kedukaan seorang gadis Aceh itu didendangkan dengan suara bariton oleh pria bertubuh besar ini. "Di mulut pintu suara mengalun. Dara berpantun dengan hati luka." Begitulah artinya. Sang penembang adalah Thanongsuk Tuvinun, mayor jenderal asal Thailand, Ketua Joint Security Committee (JSC) di Aceh. Thanongsuk memang terbilang cepat belajar. Baru lima bulan dia menetap di bumi rencong itu, beberapa lagu dan juga banyak kata dalam bahasa daerah itu dilafalkannya dengan fasih. Ketika ditemui Yuswardi Ali Suud dari TEMPO, Kamis pekan lalu, di kantornya di Banda Aceh, ia lancar mendendangkan lagu Di Babah Pinto itu.
Penguasaan bahasa daerah dan kelihaian mendendangkan tembang setempat amat penting untuk pekerjaannya: menghentikan permusuhan antara pihak Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ikut bergabung dalam komite ini pemerintah Indonesia, GAM, dan Henry Dunant Center—lembaga nirlaba yang amat peduli dengan perdamaian di Serambi Mekah itu. Anggota komite ini menyebar di delapan kabupaten.
Di samping bertemu dengan petinggi pemerintah Indonesia di sana, Thanongsuk kerap bertamu ke desa-desa, memastikan bahwa "pedang" sudah disarungkan dan damai hadir di tengah warga.
Mestinya ini sebuah pekerjaan yang maha mulia dan menuai pujian. Faktanya tidak begitu. Di Aceh Tengah, sejumlah pengurus lembaga itu babak-belur dihajar sejumlah orang tak dikenal. Di Aceh Timur, kantor lembaga ini menjadi puing dibakar massa. Di kota-kota lain, ancaman datang setiap waktu. Merasa nyawa "pasukannya" berada di tubir maut, Thanongsuk mengungsikan semua stafnya ke Banda Aceh, kantor pusat JSC. "Untuk sementara prioritas kami adalah keselamatan staf," katanya kepada TEMPO.
Lahir 57 tahun lalu, sejak kecil Thanongsuk sudah bercita-cita menjadi tentara. Itu sebabnya, setelah merampungkan pendidikan menengah atasnya, ia masuk Chulachomklao Royal Military Academy di Thailand pada 1965. Ia juga mengikuti pendidikan di sejumlah sekolah militer di Amerika Serikat. Karier militernya cukup kinclong. Begitu pulang dari Amerika, ia didaulat menjadi atase direktorat pendidikan militer Thailand. Posisi puncak yang pernah dijabatnya adalah sekretaris panglima tentara negeri itu.
Sejak lima bulan lalu, ia mewakili Henry Dunant Center (HDC) di JSC dan memimpin lembaga itu. Tinggal jauh dari keluarganya—yang menetap di Bangkok—dua hari sekali Thanongsuk berkirim surat elektronik dengan dua putrinya. Di hari-hari ini, Thanongsuk jarang membalas surat putrinya itu karena sibuk mengatur keselamatan anak buahnya.
Kemelut yang terjadi hari-hari ini menempatkannya sebagai sumber penting bagi juru warta untuk menggali informasi. Tapi, ketika dijepret kamera TEMPO, Thanongsuk berujar, "Saya terlalu tua untuk menjadi selebriti. Kenapa Anda tidak mewawancarai orang yang lebih muda?" Toh, ia mau juga diwawancarai.
Pekan lalu, Anda menarik semua staf Joint Security Committee dari daerah-daerah ke Banda Aceh. Seberapa gawat sebetulnya ancaman untuk komite Anda ini?
Anggota tim pemantau kami di Aceh Tengah dipukul pada awal Maret lalu. Lalu kantor JSC di Aceh Timur dibakar sekelompok orang awal bulan ini. Belakangan ancaman terhadap anggota kami malah kian marak. Daripada berbahaya, lebih baik menarik semua anggota tim itu ke Banda Aceh. Jadi, untuk sementara, program kami diprioritaskan pada keamanan tim pemantau.
Kami akan bertemu dengan Kepala Kepolisian Daerah Aceh untuk membicarakan masalah keamanan anggota tim dan aset JSC lainnya.
Ancaman, bahkan aksi pengusiran, merebak di hampir semua wilayah. Sepertinya rakyat muak dengan kehadiran JSC. Menurut Anda, apa sebabnya?
Indonesia dan GAM ada wakilnya di JSC. Ketika terjadi pemerasan di masyarakat, warga yang tidak puas mendatangi kantor JSC karena mereka menduga pelaku pemerasan itu adalah salah satu kelompok dalam komite ini. Padahal bukan anggota tim pemantau ini yang melakukan pemerasan itu. Karena protesnya ke JSC, seolah-olah kamilah yang bersalah. Buntutnya, timbul kesan bahwa masyarakat menolak kehadiran kami. Padahal rakyat masih menerima kami.
Contoh lain misalnya ada masyarakat sipil yang ditangkap, kemudian JSC disalahkan karena ada wakil-wakil dari pelaku penangkapan itu dalam tim ini. Saya amat percaya bahwa aksi protes dilakukan bukan karena masyarakat tidak menyukai tim pemantau ini, tapi lebih karena di sini ada wakil-wakil dari pelaku sejumlah kekerasan di masyarakat.
Sejumlah pihak menuding anggota JSC cenderung berpihak pada Gerakan Aceh Merdeka. Jadi layak diusir?
Tudingan itu sama sekali tidak benar. Kami tidak punya kepentingan apa-apa terhadap pemerintah Indonesia dan GAM. Saya tidak melihat bahwa JSC ataupun anggota kami di lapangan mendukung salah satu pihak. Semua anggota tim internasional harus netral, transparan, serta tidak memihak. Kita tidak pro-RI atau GAM. Kalau ada yang mengatakan kami tidak netral, itu fitnah.
Menurut Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu, rakyat Aceh mendesak agar JSC dibubarkan karena staf lembaga ini kerjanya tidur saja. Betulkah?
Saya tidak tahu itu. Tapi, selama ini, kami tetap bekerja keras untuk menyukseskan proses ini. Memang kita akui, terkadang kita kesulitan menemukan bukti di lapangan tentang siapa pelaku sejumlah kekerasan di masyarakat. Banyak orang yang tidak berani memberikan kesaksian.
Mereka memberitahukan penyebab ketakutan itu?
Tidak. Mengapa mereka tidak berani juga saya tidak tahu.
Kalangan GAM sendiri menuding bahwa sejumlah aksi terhadap JSC ditunggangi oleh aparat Indonesia. Laporan yang Anda terima seperti apa?
Saya yakin Anda lebih tahu dari saya. Sangat sulit mengatakannya. Kami tidak punya bukti tentang itu. Kalau saya katakan ya, itu malah akan memperuncing masalah. Kita tunggu saja hasil kerja polisi. Menurut saya, para pelaku tindakan anarkistis seperti pemukulan terhadap anggota tim JSC di Aceh Tengah dan pembakaran kantor JSC di Aceh Timur harus ditangkap dan dibawa ke pengadilan. Kita harap kepolisian segera menemukan pelakunya.
Bagaimana hubungan JSC dengan militer Indonesia? Apakah Anda merasa militer tidak senang dengan kehadiran JSC di Aceh?
Hubungannya baik-baik saja. Saya tidak percaya bahwa militer Indonesia tidak senang dengan JSC. Sebab, kita tahu pemerintah Indonesia merupakan salah satu pihak yang tetap komit dengan perjanjian ini. Kedua pihak tentu akan komit dengan keputusan yang mereka buat. Seharusnya tidak ada pernyataan negatif dari semua pihak.
Kita sadar bahwa kerja kita diawasi oleh semua pihak. Bukan hanya kedua pihak, tapi juga masyarakat Aceh, masyarakat Indonesia secara keseluruhan, dan masyarakat dunia internasional.
Sejumlah petinggi di Jakarta menuding JSC terlalu membatasi peran militer dan polisi Indonesia di Aceh. Kalau terjadi kekacauan di masyarakat, aparat baru bisa mengatasinya setelah berkonsultasi dengan JSC. Kan, repot?
Tudingan itu sama sekali tidak benar. Militer Indonesia masih melakukan tugas-tugas normal mereka di sini. Tapi bisa jadi anggapan itu muncul karena di dalam perjanjian disebutkan soal proses relokasi TNI. Itu adalah bagian dari proses ini. Jika itu yang dimaksud dengan pembatasan, bisa jadi. Contohnya soal zona damai. Dalam wilayah damai itu tidak boleh ada pihak yang membawa senjata selain polisi. Itu adalah prosedur yang telah disepakati oleh kedua pihak.
Sejumlah pihak di Indonesia cemas bahwa JSC bakal berfungsi seperti UNAMET di Timor Timur dulu. Lembaga itu dituding cenderung mendorong warga untuk merdeka.
Lagi-lagi itu anggapan yang salah. Perlu diingat bahwa di samping diisi perwakilan dari HDC dan GAM, lembaga ini diisi oleh wakil dari pemerintah Indonesia. Jadi, sangat tidak mungkin kalau kami mendorong warga untuk merdeka. Kalau yang dimaksud adalah tim JSC dari pihak internasional, itu juga tidak benar. Tugas kami di sini adalah menghentikan permusuhan dan juga berusaha menghentikan konflik yang telah berlangsung sekian lama di Aceh. Saya rasa itu sangat berbeda dengan UNAMET di Timor Timur.
Anda pernah bertemu dengan Hasan Tiro, pemimpin GAM, di Jenewa, Swiss. Juga banyak teman Hasan Tiro di Thailand. Jangan-jangan GAM menerima Thailand sebagai pemantau karena hubungan perkawanan ini?
Saya memang pernah bertemu dengan Hasan Tiro. Dia orang tua yang sangat menyenangkan. Dia juga punya banyak teman di Thailand, yang usianya rata-rata 75-80 tahun. Mereka itu adalah teman lamanya. Tapi kami menjadi pemantau bukan karena hubungan itu. Kami didekati oleh HDC, bukan oleh GAM atau pemerintah Indonesia.
Apakah Hasan Tiro menitipkan pesan khusus kepada Anda selaku ketua tim JSC?
Ya… (Thanongsuk terlihat berpikir sejenak—Red.), tapi tidak ada yang khusus. Dia hanya ingin kita bekerja secara independen sesuai dengan kesepakatan yang telah diambil.
Dalam situasi Aceh seperti ini, ketika kesepakatan untuk gencatan senjata tak lagi dihargai, apa yang bisa Anda lakukan?
Kita harus menghentikan semua bentuk kontak senjata, penghadangan, dan tindak kekerasan. Jika ada kontak senjata, tentu ini merupakan pelanggaran terhadap perjanjian. Kita mengharapkan kedua pihak dapat menghentikan hal itu dan kembali ke tujuan awal perjanjian, yaitu menghentikan permusuhan dari kedua pihak.
Tugas kami adalah menghentikan permusuhan antara pihak Indonesia dan GAM, memastikan kontak senjata berhenti atau setidaknya meminimalkannya. Ini amanat dari kesepakatan penghentian permusuhan.
Sanksi terhadap pelanggaran kesepakatan itu hanya bersifat moral. Itu jelas tidak efektif. Apa itu sebabnya pelanggaran jalan terus?
Memang sanksinya hanya bersifat moral. Yang kami harapkan, bagi yang bersalah, para pemimpin dari kedua pihaklah nantinya yang memberikan hukuman. Bila kedua pihak serius memberikan sanksi, tentunya itu akan efektif. Tapi, bila kedua pihak tidak serius, tidak peduli, itu menjadi persoalan.
Menurut Anda, apakah kedua belah pihak serius menerapkan sanksi kepada pelanggar kesepakatan?
Saya tidak tahu pasti seserius apa mereka.
Dari pengamatan Anda selama ini, siapa yang paling banyak melakukan pelanggaran?
Kira-kira sama. Proses demiliterisasi dan peletakan senjata sendiri, yang seharusnya sudah dimulai pada 9 Februari lalu, sampai saat ini belum berjalan. Kenapa? Karena proses demiliterisasi itu memang tidak mudah, malah sangat susah. Kedua pihak sangat hati-hati.
Di mana letak kesulitannya?
Demiliterisasi itu banyak detailnya. Jika Anda ingin merelokasi pasukan, tentu banyak hal yang harus dilakukan. Tentu saja prosesnya tidak seperti orang pindah rumah.
Sejumlah pasukan Brigade Mobil (Brimob) dari kepolisian harus direlokasi dari sejumlah zona damai. Apakah relokasi itu sudah berjalan?
Reformulasi Brimob telah dimulai pada Februari lalu. Saya yakin sekitar 1.400 polisi sudah direformulasi. Sedangkan relokasi TNI baru pada tahap dipresentasikan perencanaannya.
Jadi, relokasi TNI dari zona damai belum berjalan?
Hal itu akan dilakukan berbarengan dengan peletakan senjata GAM.
Jadi, yang belum mau meletakkan senjata itu GAM atau TNI?
Setahu saya, mereka siap meletakkan senjata, tapi hal itu akan dilakukan berbarengan dengan relokasi TNI. Jadi, pada saatnya, mereka akan melakukannya secara bersama-sama.
Kapan persisnya?
Itu bergantung pada kesiapan kedua pihak. Yang pasti, fase demiliterisasi akan berakhir pada 9 Juli. Kita berharap, sebelum limit waktu itu, semuanya selesai.
Sebagai penengah, bagaimana Anda menjembatani perbedaan pandangan di antara kedua pihak yang bertikai di sini, terutama antara TNI dan GAM?
Saya harus mengakui tugas kami sangat sulit. Memang dibutuhkan waktu untuk itu. Meski proses damai terus berjalan, kedua pihak tetap pada tujuannya semula: GAM tetap ingin merdeka dan Indonesia tetap ingin Aceh berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam situasi seperti itu, Anda masih optimistis keduanya bisa didamaikan?
Saya tetap melihat kedua pihak punya komitmen untuk melanjutkan proses ini. Soal GAM tetap ingin merdeka dan sebaliknya, itu masalah politik. Tugas kami di sini adalah menghentikan permusuhan. Masalah politik akan dibicarakan dalam all-inclusive dialogue. Itu bukan wewenang kami.
Ada tanda-tanda bahwa Jakarta bakal mengambil langkah keras jika proses damai ini gagal. Apakah Anda dalam posisi yang kian terjepit?
Kami harus menjaga proses ini berjalan dengan baik. Kami tidak melihat ada alasan untuk menimbulkan konflik bersenjata. Saya percaya konflik akan selesai di Aceh. Saya yakin itu akan terjadi. Kita akan mencari solusi yang dapat memuaskan semua pihak dan masyarakat Aceh sendiri. Kita harus menjaga proses ini tetap berjalan.
Jika Indonesia menggelar operasi militer di sini, apa yang bakal terjadi?
Saya tidak ingin melihat terlalu jauh. Saya berharap ini tidak terjadi karena masyarakat akan sangat menderita dengan konflik itu sendiri. Sepanjang pengetahuan saya, Presiden Megawati mengatakan akan tetap melanjutkan proses ini.
Ada banyak penembakan misterius di Aceh. Bagaimana JSC menangani kasus seperti itu?
Jika kita tidak tahu, itu urusan polisi. Jika mereka tidak bisa, saya juga tidak tahu bagaimana kami bisa melakukannya. Tapi, yang pasti, di dalam JSC sendiri ada tim investigasi dan verifikasi. Nah, mereka inilah yang berupaya mencari tahu hal itu.
Apakah kepolisian dan TNI di sini cukup kooperatif dalam mengungkap kasus-kasus kekerasan di masyarakat?
Sure. Mereka sangat kooperatif. Polisi juga membantu mengamankan para personel tim pemantau perdamaian.
Situasi Aceh agak tidak menentu belakangan ini. Apakah Anda masih betah tinggal di sini?
Sangat betah. Orang-orang di sini sangat ramah dan menyenangkan. Cuacanya cukup bagus. Kepribadian masyarakatnya pada dasarnya sama dengan masyarakat Thailand. Ini adalah daerah yang sangat bersahabat dan menyenangkan. Jadi, saya tidak punya alasan untuk tidak betah di sini. Kalau ada kesempatan, keluarga akan saya bawa ke sini. n
Thanongsuk Tuvinun
Tempat dan tanggal lahir:
Pendidikan
Riwayat Pekerjaan
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo