Lorong-lorong di Rumah Sakit Al-Kindi dibanjiri darah dan air mata. Raungan tangis memenuhi ruangan itu, berdesakan dengan bau amis dan aroma obat-obatan yang menyengat hidung. Sekonyong-konyong, terdengar jeritan keras dari sebuah kamar di ujung lorong. Seorang ibu meraung-raung sambil memeluk anaknya yang ditutupi selembar kain. "Semoga Allah mengazab tentara-tentara Amerika," ia menjerit dengan suara yang menyayat.
Siang itu kedukaan tengah mencengkeram Aminah. Dia kehilangan anak satu-satunya, Ali Nasr Abid, 9 tahun, yang tewas akibat bom yang ditembakkan pasukan Amerika ke permukiman penduduk yang berada di pinggiran Bagdad. Orang-orang di sekelilingnya, meski merasakan kepedihan yang sama, berusaha menenangkannya. "Sudahlah, dia sudah dipanggil sang Kuasa. Kita relakan kepergiannya. Mudah-mudahan mendapatkan anugerah di sisi-Nya," ujar suaminya, pasrah.
Pemandangan di Rumah Sakit Al-Kindi, yang terletak di Kadzamiyah—pinggiran Kota Bagdad—memang mengenaskan. Sejak perang meletus, rumah sakit ini disesaki ratusan korban. Namun, kondisi Al-Kindi memang compang-camping. Akibat dihajar rudal pasukan koalisi, bagian samping bangunan yang biasanya dijadikan tempat untuk melakukan operasi darurat itu hancur. Demikian pula situasi alat-alat operasi. Namun, apa pun yang terjadi, pelayanan tetap harus diberikan. "Yang penting kami masih bisa melakukan operasi, meski di ruangan terbuka," kata Murtadha Hasan, seorang dokter.
Alhasil, karena pasien membeludak, pihak rumah sakit menyarankan agar pasien pindah ke rumah sakit lain. Menurut Wakil Manajer RS Al-Kindi, Dokter Asma Saleh, korban berbondong-bondong mendatangi rumah sakit itu karena Al-Kindi memang termasuk yang terlengkap. RS Al-Kindi memiliki kapasitas untuk sekitar 100 pasien rawat inap. Begitu pula dengan tenaga medis yang ada. Di sana terdapat 70 dokter dan 315 perawat. "Tapi, sampai kemarin kami sudah kedatangan pasien hingga 130 orang. Daya tampung kami kecil untuk seluruh pasien korban perang ini," kata Saleh. Bahkan untuk selimut pun mereka sudah kehabisan.
Tak aneh, dalam keterbatasan seperti itu banyak nyawa yang tak bisa diselamatkan. Tengoklah keadaan di kamar mayat yang berukuran 8 x 13 meter. Dalam ruangan bercat putih itu berjejal puluhan mayat. Jumlah mereka tak bisa lagi ditampung dalam lemari penyimpanan mayat. Akibatnya, sebagian terpaksa digeletakkan di lantai. "Tempat ini sudah tidak mencukupi lagi. Dan jumlah mereka terus bertambah," kata Mohammed Amin, penjaga kamar mayat.
Dari hari ke hari jumlah korban tewas memang terus bertambah. Satu yang tengah pasrah adalah Sulaiman al-Hasyem. Lelaki berusia 55 tahun ini hanya bisa terduduk di kursi menatap anaknya, Mohammad Adnan, yang terbaring lemah di ranjang. Seperti juga pasien lainnya, tubuh pemuda berusia 18 tahun itu dibungkus perban. Sesekali Sulaiman menyeka air mata yang mengalir di pipinya yang sudah terlihat keriput, sambil memandang sedih tubuh anaknya yang beranjak remaja. Ribuan kali lafaz zikir terus meluncur dari bibirnya untuk membangunkan anaknya itu.
Sudah lima hari Mohammad Adnan tak sadarkan diri. Semuanya berawal ketika keluarga Sulaiman berniat meninggalkan Kota Najaf, yang telah mereka diami selama lebih dari 25 tahun, ke utara Irak. Tujuan mereka hanya mengungsi. Namun, ketika sampai di Hilla, tiba-tiba mobil yang mereka kendarai diberondong peluru tentara Amerika. "Saya tidak tahu, tiba-tiba mobil kami dicegat seorang tentara Amerika. Mereka mengatakan sesuatu, tapi kami tidak mengerti. Saya sudah memberi tahu sopir kami untuk berhenti saja, tapi dia tetap menjalankan mobil sekalipun pelan. Tiba-tiba terdengar tembakan ke arah mobil kami," kata Sulaiman terbata-bata.
Adnan dan para korban lainnya di Rumah Sakit Al-Kindi itu hanyalah sedikit korban akibat keganasan tentara koalisi. Hingga Jumat pekan silam, setidaknya lebih dari 1.250 penduduk sipil tewas akibat perang ini. Sedangkan mereka yang mengalami luka-luka mencapai lebih dari 5.000 orang.
Jumlah ini seolah bertolak belakang dengan janji Presiden AS George W. Bush, yang semula menjamin invasi yang dilakukannya untuk mendongkel kekuasaan Saddam Hussein akan dilakukan dengan singkat dengan menekan jumlah korban di pihak sipil. Soal waktu, tentara koalisi berhasil menepati janji Bush. Tapi soal korban, Bush ternyata punya omong kosong.
Kenapa korban di pihak sipil begitu menggunung? Tak sulit mencari jawabannya. Pasukan koalisi seperti kehabisan akal untuk menemukan Saddam. Alhasil, semua bangunan yang dicurigai sebagai tempat Presiden Irak itu berada menjadi sasaran gempuran, termasuk Hotel Palestine, tempat para wartawan asing menginap. Akibatnya, Tareq Ayub, produser dan koresponden televisi Al-Jazeera, tewas, dan juru kamera Reuters Tarres Protsyuk serta Jose Couso, kamerawan televisi Spanyol, tewas setelah tentara AS menyerang Hotel Palestine, yang menjadi tempat menginap wartawan asing di Bagdad. Serangan ini juga meminta korban seorang kru televisi Al-Jazeera dan Reuters yang mengalami luka berat.
Sebab lainnya, pasukan Amerika mengalami stres berat. Menurut seorang pengamat militer, kekurangan jam tidur dan tekanan berat membuat pasukan Amerika mengalami stres. Dampaknya, pandangan mereka menjadi kabur. Pasukan Inggris yang menjadi kongsi mereka tak luput dari berondongan pelor yang mereka lepaskan. Bahkan korban pertama dari kedua pasukan ini terjadi karena salah tembak, yang menurut mereka disebut friendly fire.
Seperti yang terjadi Ahad dua pekan silam, saat sebuah pesawat AS salah menembak sasaran, yakni barisan pasukan khusus AS dan pejuang Kurdi, menewaskan 18 orang Kurdi dan melukai lebih dari 45 orang, termasuk saudara pemimpin Kurdi, Massoud Barzani. Keesokan harinya, giliran tentara Inggris tewas terbunuh dan tiga orang lainnya terluka dalam insiden Sungai Nahr Diyala. Dari Iran juga muncul kemarahan saat seorang anak tewas akibat peluru nyasar yang ditembakkan Amerika ke wilayah Iran.
Meski pada akhirnya pihak Amerika mengakui terjadi salah sasaran yang dilakukan pasukannya, mereka enggan menyebutkan angka pasti korban yang tewas akibat salah prosedur itu. Jumlah prajurit AS yang tewas itu tidak termasuk dalam jumlah korban yang menurut Pentagon mencapai 107 orang, dan 11 orang hilang. Sedangkan dari pihak Inggris, mereka mengumumkan hanya sekitar 31 tentara yang tewas. Angka yang relatif sedikit dibanding jumlah korban pasukan Irak, yang mencapai 2.320 orang.
Setelah Bagdad jatuh, jumlah korban memang akan relatif berkurang. Namun, di balik itu, aksi penjarahan yang pecah di berbagai kota menimbulkan dampak lain. Hampir semua rakyat miskin kota turun ke jalan dan mengambil segala macam harta benda. Tak cuma kantor pemerintahan, bahkan rumah sakit yang sudah nonaktif, Palang Merah Internasional, toko-toko, dan rumah penduduk biasa jadi sasaran para "Ali Baba"—sebutan bagi pencuri. Sialnya, tentara Amerika tak mau berbuat apa-apa.
Aksi Ali Baba ini membuat Peter Tarabula, Koordinator Komite Palang Merah Internasional (ICRC), gusar. Gara-gara penjarahan itu, banyak rumah sakit yang kehilangan tenaga medisnya karena melarikan diri akibat ketakutan. Padahal pada saat yang sama beberapa rumah sakit itu kedatangan korban dari aksi penjarahan itu. Karenanya, Komite meminta agar pasukan AS melindungi rumah sakit dan persediaan air dari para penjarah. "Kami meminta pasukan koalisi dan siapa saja yang berwenang agar melindungi infrastruktur penting," begitu pernyataan lembaga yang bermarkas di Jenewa itu.
Pecahnya aksi penjarahan itu jelas menambah persoalan. Seperti dituturkan Abdul Khalik, dokter yang bertugas di Rumah Sakit Al-Kindi, pihaknya kini mengalami kekurangan tenaga medis, obat-obatan, dan air bersih. Sedangkan bantuan yang datang, meskipun cukup banyak, toh tak bisa memenuhi kebutuhan. "Padahal pasien terus berdatangan," katanya.
Apa pun alasannya, sesungguhnya perang hanya meninggalkan kesia-siaan. Ribuan penduduk sipil yang tewas itu sama sekali tak setimpal jika hanya untuk menjatuhkan sebuah rezim.
Irfan Budiman, Zuhaid el-Qudsy (Kadzamiyah), Rommy Fibri (Bagdad)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini