PINTU lift itu terbuka. Dengan wajah muram, beberapa orang menggotong ke luar sebuah bungkusan berselubung selimut, yang memerah dan basah oleh darah segar. Di dalamnya, masih hangat terbujur jasad dua wartawan dan seorang juru kamera. Ketiganya rebah setelah sebuah misil meledak di lantai 15 Hotel Palestine, Bagdad, pada pagi hari 8 April. Ketika ledakan itu mengguncang bangunan hotel, wartawan TEMPO Rommy Fibri, yang tengah berada di lobi hotel itu, serta-merta meniarapkan tubuh ke lantai. Beberapa saat berlalu, Rommy berlari ke arah lift untuk naik ke lantai 15 mengecek bekas ledakan tersebut.
Namun langkahnya tertahan oleh bungkusan basah itu, yang meruapkan aroma amis darah. Rommy seakan kelu mendadak tatkala mengetahui salah satu jasad yang terbungkus selimut itu adalah Tarres Protsyuk, sobat barunya, kamerawan Reuters asal Suriah. "Beberapa hari sebelumnya, Tarres mentraktir saya minum teh di kafe Hotel Palestine," begitulah isi laporan Rommy yang diterima redaksi TEMPO pada Sabtu pagi pekan lalu di Jakarta.
Dua wartawan lain yang ikut tewas adalah reporter Al-Jazeera Tareq Ayub serta Jose Couso dari TeleCinco, jaringan televisi Madrid, Spanyol. Jenazah Tarres dan Tareq Ayub lalu diberangkatkan ke Amman, Yordania. Dalam tangisannya yang disaksikan oleh dunia—melalui layar televisi—Dima Tahbub, istri Tareq Ayub, meratap dengan suara tertahan, "Hendaknya nyawa suami saya menjadi persembahan bagi saudara-saudara kami di Palestina dan Irak. Jenazahnya akan kami tanamkan di Yordania agar berdekatan dengan tanah Palestina yang dia cintai."
Tiga wartawan ini tentu saja bukan korban pertama dari bom atau peluru kendali Amerika. Tapi meledaknya misil di Hotel Palestine, yang menjadi markas wartawan asing, segera memicu banjir pertanyaan: apakah ini sebuah kesengajaan? Atau kebetulan semata? "Tentara koalisi sama sekali tidak menempatkan wartawan sebagai sasaran," kata Deputi Direktur Operasi Angkatan Darat AS di Teluk, Brigadir Jenderal Vincent Brooks. "Kami tidak tahu tempat setiap wartawan yang bekerja di medan pertempuran," dia menambahkan.
Jawaban Brooks itu kontan disambut rasa curiga. Maklum, beberapa hari sebelumnya, tentara AS menghajar kantor Al-Jazeera hingga berkeping-keping. Padahal stasiun televisi itu sudah memberikan koordinat kantornya serta nama-nama lokasi operasi wartawan mereka kepada Pentagon sebelum AS memulai invasinya ke Irak. Hampir semua wartawan asing yang meliput perang Irak melakukannya. Dan laporan ini menjadi pegangan pihak sekutu.
Buktinya, tatkala daerah di seputar Hotel Rashid, Bagdad, akan dihujani peluru kendali dan bom AS, pada minggu pertama serangan, Pentagon mengabarkan hal itu kepada semua wartawan asing yang menginap di sana. Wartawan di sana kemudian ramai-ramai boyongan ke Hotel Palestine.
Mantan wartawan BBC, Kate Adie, pernah memperingatkan sebelum agresi ini dimulai bahwa wartawan yang tidak pro-tentara koalisi bisa dijadikan target Pentagon. Al-Jazeera adalah satu-satunya stasiun televisi yang berani menayangkan beberapa tentara Amerika yang ditawan Irak. Televisi ini juga gencar menayangkan gambar rakyat Irak yang menderita akibat serangan AS. "Amerika tahu benar posisi kami," kata Salem Alamir, Kepala Biro Al-Jazeera di Irak. Dia yakin betul bahwa serangan bom ke kantor stasiun televisi tersebut adalah kesengajaan.
Serangan ngawur AS juga menghantam kantor televisi Abu Dhabi di Bagdad. Tank-tank Amerika yang menembaki gedung itu membuat seorang juru kamera terpelanting dalam keadaan berdarah. Alhasil, protes keras berdatangan dari berbagai organisasi wartawan internasional, antara lain The Committee to Protect Journalists, Reporters without Borders, serta International Federation of Journalist. Bahkan organisasi kemanusiaan seperti Amnesti International ikut mengutuk pembantaian wartawan ini. Mereka meminta pihak AS memberikan penjelasan tuntas tentang penembakan itu.
Perang Irak disebut mencatat rekor korban wartawan terburuk dalam sejarah perang modern: 12 meninggal dan 5 hilang—diasumsikan mati. Sembilan lainnya ditangkap walau kemudian dilepaskan kembali.
Kematian wartawan dalam perang ini lagi-lagi menunjukkan "tragedi klasik": juru warta, lebih-lebih yang independen, turut memikul bahaya amat besar—termasuk kematian—di medan perang. Kedua musuh yang bertarung rupanya kian tak segan menjadikan mereka sebagai sasaran untuk menteror lawan. Ibaratnya dua gajah bertarung, wartawan mati di tengah-tengah.
Rommy Fibri (Bagdad), Bina Bektiati (Jakarta; Guardian, Newsday, Arab News)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini