Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat: Putusan Kami Tak Mendorong Lahirnya Agama Baru

Cuma dalam selisih satu jam, Mahkamah Konstitusi melahirkan dua putusan penting dalam sidang Selasa pekan lalu.

12 November 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat: Putusan Kami Tak Mendorong Lahirnya Agama Baru

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cuma dalam selisih satu jam, Mahkamah Konstitusi melahirkan dua putusan penting dalam sidang Selasa pekan lalu. Terkabulnya permohonan uji materi Undang-Undang Administrasi Kependudukan diumumkan belakangan setelah Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat dan enam hakim lain menolak permintaan lima narapidana kasus korupsi yang menggugat aturan pemberian remisi dalam Undang-Undang Pemasyarakatan.

Putusan Mahkamah meluluskan permohonan komunitas agama lokal ditanggapi pro dan kontra oleh berbagai kalangan. Pegiat hak asasi manusia menilai diperbolehkannya keterangan "penghayat kepercayaan" terpampang di kolom agama pada kartu tanda penduduk dan kartu keluarga sebagai terobosan dalam memutus rantai diskriminasi terhadap penganut kepercayaan. "Mereka juga warga negara yang dijamin kepercayaannya dan dilindungi haknya seperti pemeluk agama lain," kata Arief, 61 tahun.

Pihak yang tak puas menuding Mahkamah mengaburkan konsep Ketuhanan yang melulu ditafsirkan sebagai kewajiban memeluk enam agama resmi yang diakui pemerintah. Bahkan, di titik yang ekstrem, putusan Mahkamah dikhawatirkan menjadi biang munculnya aliran kepercayaan baru. "Negara mengawal kepercayaan tetap berpusat pada Tuhan dan sama sekali bukan mengarahkan pembentukan agama baru," ujar Arief.

Adapun penolakan Mahkamah terhadap materi gugatan lima narapidana koruptor, Arief mengatakan, didasari pertimbangan pemberian remisi adalah hak hukum narapidana. Namun pemerintah berwenang membatasi hak hukum apabila menyangkut kejahatan luar biasa seperti korupsi. "Tak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan hak asasi manusia," tuturnya.

Guru besar Universitas Diponegoro, Jawa Tengah, itu menerima wartawan Tempo Raymundus Rikang, Gabriel Wahyu Titiyoga, dan Nur Alfiyah di gedung Mahkamah Konstitusi, Jumat pekan lalu, untuk sebuah wawancara khusus.

Apa dalil Mahkamah Konstitusi memutuskan kepercayaan boleh masuk kartu tanda penduduk dan kartu keluarga?

Faktanya, di pelosok-pelosok daerah dari Sabang sampai Merauke, hidup komunitas dan kelompok yang menghayati kepercayaan asli terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan itu tumbuh berkembang dan penganutnya adalah warga negara Indonesia. Dengan alasan apa pun, mereka tak boleh diabaikan dan didiskriminasi semata-mata karena menghayati kepercayaan. Hak-hak penghayat kepercayaan tetap harus dipenuhi dan dilindungi sebagaimana negara melindungi penganut agama. Daripada penganut kepercayaan ini terpaksa berbohong mencantumkan agama resmi, lebih baik penghayatan mereka diakui. Praktik semacam itu mengajari bangsa ini tak jujur pada persoalan hakiki.
Mengapa pandangan ini baru timbul sekarang?
Pemerintah sebenarnya sudah lama mengakui enam agama plus kepercayaan yang hidup dan tumbuh di tengah bangsa Indonesia. Buktinya adalah adanya dokumen Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama. Dalam aturan itu, pemerintah mengakui enam agama yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia. Tapi bukan berarti agama lain, seperti Yahudi, Zaratustrian, Shinto, Taoisme, dan kepercayaan atas dasar Ketuhanan, dilarang di Indonesia.
Artinya, keyakinan di luar enam agama resmi itu diizinkan?
Mereka mendapat jaminan perlindungan penuh dan dibiarkan apa adanya, asalkan tidak melanggar ketentuan dalam PNPS Tahun 1965 tersebut ataupun peraturan lain. Tapi, yang perlu diingat, keyakinan itu bukan kepercayaan terhadap hal lain yang gaib, melainkan cuma kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Apakah penghayat yang Mahkamah maksudkan adalah 187 kelompok yang terdaftar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan?
Kami tak melihat sampai sejauh itu. Bahkan kami tak tahu data pasti soal jumlah penganut kepercayaan di seluruh Indonesia. Yang kami ketahui secara pasti adalah keyakinan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa, baik diejawantahkan dalam agama maupun kepercayaan, sudah lama hidup di Nusantara. Selama itu pula mereka berkembang sedemikian pesat sampai sekarang.
Ada yang mempertentangkan putusan ini dengan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia. Pendapat Anda?
Itu pendapat yang keliru. Proses uji materi pencantuman identitas penghayat kepercayaan berlangsung sejak akhir tahun lalu. Kami memanggil saksi dan para ahli untuk mendengar argumentasi mereka. Perjalanan yang ditempuh para pemohon panjang. Pada saat yang bersamaan, saya dan kolega hakim punya komitmen agar tak ada kasus yang menunggak. Jangan sampai perkara itu berulang tahun. Kami dongkrak kecepatan memutuskan perkara tanpa mengurangi kualitasnya. Nah, kebetulan saja perkara ini sudah bisa diputus dan dibacakan pada akhir-akhir ini, terlepas dari dinamika politik yang terjadi.
Kritik itu sampai ke Anda?
Saya sampai hari ini belum mendengar. Tapi sah-sah saja orang punya spekulasi seperti itu. Sekali lagi dugaan itu tidak benar. Pembacaan putusan ini semata-mata karena Mahkamah ingin kecepatan pengusutan kasus meningkat. Putusan kami juga tidak mengatur masalah agama. Kami hanya mendudukkan bahwa warga negara yang memiliki keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa harus dilayani negara. Jangan ada diskriminasi.
Bagaimana memastikan putusan Mahkamah dipatuhi sampai ke level bawah?
Saya sangat respek serta mengagumi komitmen yang disampaikan Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Joko Widodo setelah putusan itu. Parlemen berencana merevisi Undang-Undang Kependudukan, sementara Presiden sudah tegas menyatakan pemerintah akan mematuhi apa pun putusan kami sebagai penjaga konstitusi. Saya berharap pemerintah segera mengimplementasikan dan merumuskan teknis putusan Mahkamah yang sifatnya final dan mengikat itu.
Lembaga mana yang paling berwenang?
Silakan lembaga eksekutif menangani dan membagi wewenang tersebut. Bisa saja Kementerian Dalam Negeri yang merumuskan implementasinya lewat Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil. Saya sempat melihat di media massa bahwa penganut kepercayaan sudah bisa memilih status penghayat itu di perangkat lunak pembuatan identitas. Penerapan putusan kami pelan-pelan mulai jalan.
Sudah ada komunikasi dengan Kementerian terkait?
Kami tak berkomunikasi dengan lembaga pelaksana. Mahkamah tak punya jalur itu. Kami dalam putusan itu menegaskan bahwa putusan MK sifatnya final. Kemudian kami katakan putusan ini akan dimuat dalam Berita Negara. Sesuatu yang dimuat dalam Berita Negara seharusnya diketahui dan dipatuhi seluruh masyarakat. Itu adagium hukum yang berlaku universal.
Kementerian tak punya ruang dialog?
Tak boleh ada ruang dialog dengan hakim. Kami tak bisa menjelaskan dan membicarakan putusan. Bila ada hakim konstitusi yang membicarakan putusan itu dalam forum dengan kementerian, dia bisa dijerat dengan pelanggaran etik. Di lain sisi, salinan putusan kami sudah sangat jelas dalil dan argumentasinya. Saya menyarankan kementerian membaca salinan itu saja, tapi jangan cuma sepenggal-sepenggal pada amar putusannya. Petikan dan dalilnya harus dicermati sehingga, tanpa kami jelaskan, masyarakat sudah bisa memahami roh dan spirit putusan kami. Sekali lagi, inti putusan kami adalah penganut kepercayaan bisa menulis identitas keyakinannya pada kartu keluarga ataupun kartu tanda penduduk.
Sejauh ini, kementerian terkesan saling melempar tanggung jawab menyikapi putusan Mahkamah....
Itu urusan eksekutif. Silakan eksekutif membagi domain kerja. Kalau menurut pandangan pemerintah masalah penghayat kepercayaan itu diurusi lembaga yang bukan Kementerian Agama, ya, sah-sah saja. Pemerintah diberi mandat konstitusi untuk menentukan dan mengambil keputusan soal pembagian itu. Toh, ini bukan masalah baru karena ada Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri serta Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 43 dan 41 Tahun 2009. Di situ sudah jelas tugas dan wewenang setiap lembaga pemerintahan.
Anda sempat memprediksi pro-kontra yang akan muncul?
Kami berpatokan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Kami taat dan menjalankan secara lurus ideologi negara dan konstitusinya. Tak berpikir macam-macam. Masalah putusan pro-kontra tidak terjadi hanya pada putusan penghayat kepercayaan. Putusan kami sebelumnya banyak yang memicu perdebatan juga, kok.
Bagaimana dengan kecemasan bahwa putusan Mahkamah menjadi legitimasi munculnya agama baru?
Putusan kami tak mendorong lahirnya agama baru. Putusan kami tetap pada koridor mengawal agama dan kepercayaan yang hidup di Indonesia tetap berpusat pada Tuhan Yang Maha Esa dan sama sekali bukan mengarahkan pembentukan agama baru. Pemahaman ini yang harus klir. Agama yang diakui di Indonesia masih enam, tapi kepercayaan lain masih bisa hidup di republik ini.
Menurut Anda, seberapa penting pencantuman agama dalam kartu identitas?
Sangat penting. Dalam hal yang bersifat darurat, misalnya kecelakaan dan meninggal di jalan, kita harus bisa memberikan pelayanan sebaik-baiknya dan dimakamkan sesuai dengan keyakinannya. Supaya orang itu betul-betul berpulang menurut cara dan keyakinannya. Apa jadinya bila seseorang tak jujur mengisi kolom keyakinan di KTP? Apakah penganut kepercayaan bisa berpulang dengan tenang bila di dunia sudah bohong soal status kepercayaannya hanya demi mendapatkan fasilitas publik? Jangan-jangan di akhirat dia salah masuk kamar, ha-ha-ha.... Jangan bermain-main dengan agama dan keyakinan. Kalau masalah hakiki saja berbohong, bagaimana dengan tindakan seperti mencuri dan korupsi?
Bisakah kolom agama dihapus?
Menurut saya, karena ini penting, ya, harus dicantumkan. Karena ini negara berketuhanan, kita harus mempertanggungjawabkan semua aspek kehidupan menurut keyakinan dan agama masing-masing. Bila ada kepentingan mendadak dan darurat, informasi agama itu masih diperlukan.
Faktanya, kolom itu sering dipakai sebagai dasar mempersulit seseorang memperoleh layanan publik....
Seharusnya agama dan keyakinan tidak menjadi pengaruh, kecuali dalam hal-hal hakiki. Masak, hanya untuk mendapatkan kredit perbankan sampai ditanya agamanya apa. Tapi kalau soal perkawinan, kelahiran, dan kematian, informasi itu penting. Di bidang pendidikan pun masih penting karena penyelenggara pendidikan bisa memetakan kebutuhan pengajar agama dan kepercayaan. Berapa sih murid yang menganut Islam, Katolik, Hindu, bahkan aliran kepercayaan? Walhasil, sekolah bisa memenuhi jumlah guru secara proporsional. Kalau sampai warga negara itu tak bisa sekolah, menikah, ataupun ditolak rumah sakit cuma gara-gara agama, berarti ada pihak yang melanggar konstitusi.
Mahkamah Konstitusi dianggap menganut paham hak asasi manusia liberal. Anda setuju?
Anggapan itu keliru. Kami bukan lembaga liberal. Kalau menganut paham itu, negara ini sudah membolehkan penyebaran paham ateisme. Sementara itu, semua unsur bernegara di Indonesia berdasarkan pada ketuhanan. Liberal itu artinya membebaskan seseorang menjadi ateis atau percaya kepada Tuhan. Keputusan kami soal pencantuman penghayat kepercayaan itu tetap pada koridor menjaga keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Bagaimana Anda mendefinisikan agama dan kepercayaan?
Saya tak ahli di bidang itu. Namun saya mengakui bahwa di negeri ini kebinekaan itu hidup dan tumbuh. Konstitusi mengakui keberagaman agama dan kepercayaan yang hidup di republik ini. Yang paling penting, ketika seseorang memeluk agama tertentu, dia tak boleh merasa agamanya yang paling benar lalu menuding lainnya buruk. Sebab, persamaan agama dan kepercayaan di Indonesia adalah berpusatnya keyakinan itu kepada Tuhan.
l l l
Mengapa Mahkamah menolak uji materi soal remisi?
Masalah remisi itu bukan hak asasi manusia. Remisi itu legal rights. Dalam konstitusi, hak asasi saja boleh dibatasi undang-undang, apalagi hak hukum. Undang-undang mengenai remisi menyebutkan pemberian remisi akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Nah, peraturan pemerintah menutup atau mempersulit remisi untuk tindak pidana tertentu yang disebut extraordinary crime. Dengan demikian, pada waktu ada judicial review soal ini, kami mengatakan ini bukan kewenangan Mahkamah, silakan pemerintah yang mengatur.
Apa dasar remisi kejahatan luar biasa diatur pemerintah?
Pemerintah memang punya wewenang mengaturnya. Selama ini kecenderungan pemerintah memang tidak memberi remisi bagi pelaku kejahatan luar biasa, seperti korupsi, terorisme, dan narkoba.
Efektifkah cara ini menekan praktik korupsi?
Ya. Setidaknya narapidana kasus korupsi itu menjadi jera bahwa dengan korupsi, hak hukumnya untuk mendapat remisi diperkecil atau bahkan bisa jadi tak memperoleh pengurangan hukuman. Andaikan mau memberi remisi, pemerintah sangat berhati-hati dan memperketat syarat-syaratnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus