Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kok, Saya Dituduh Macam-macam

16 Maret 2015 | 00.00 WIB

Kok, Saya Dituduh Macam-macam
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

PUBLIK bereaksi keras setelah komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi menyerahkan penanganan kasus gratifikasi Komisaris Jenderal Budi Gunawan kepada Kejaksaan Agung. Karyawan KPK pun berdemonstrasi menyesalkan keputusan tersebut. Mereka meminta pimpinan KPK menjelaskan secara terbuka strategi pemberantasan korupsi yang sedang dijalankan. Aksi karyawan semacam ini baru pertama kali terjadi dalam perjalanan KPK.

Penyerahan kasus Budi Gunawan itu seperti mengabaikan harapan publik agar KPK mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) terhadap praperadilan status tersangka Budi Gunawan yang diputus Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Masyarakat berharap PK akan membuat Mahkamah Agung dapat membatalkan putusan itu, sehingga KPK tetap mampu menjerat Budi Gunawan.

Ketidakpuasan masyarakat ini tentu saja tertuju pada sosok Taufiequrachman Ruki, yang dilantik Presiden Joko Widodo menjadi Pelaksana Tugas Ketua KPK pada 20 Februari lalu. Putusan itu kian mengentalkan sinyalemen yang beredar sebelumnya bahwa penunjukan Ruki tidak tepat dan malah akan melemahkan lembaga KPK. Dugaan lain menyebutkan penunjukan Ruki adalah titipan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri.

Kesan miring jelas tidak akan mudah ditepis Ruki. Soal bahwa KPK tidak mengajukan permohonan PK, ia menyatakan lembaganya tidak serta-merta mengesampingkan pilihan tersebut. Dia mengaku tetap memerintahkan Biro Hukum KPK mempersiapkan PK. "Jadi, kalau PK mendadak harus diajukan, kami sudah siap. Ini yang tidak dilihat masyarakat," kata Ruki dalam wawancara dengan Tempo, Rabu pekan lalu.

Selama wawancara di ruang kerjanya, lantai tiga gedung KPK, Jakarta, dia didampingi Komisioner Johan Budi Sapto Prabowo. Ruki mengenakan kemeja putih kotak-kotak, sementara Johan muncul dengan dandanan seperti biasa: kemeja dibungkus jaket. "KPK itu bukan one man show. Karena itu, saya ditemani Pak Johan," kata Ruki sembari mengantarkan secangkir teh kepada koleganya tersebut.

Semula ia menyediakan waktu 60 menit untuk wawancara dengan Heru Triyono, Rusman Paraqbueq, Rizki Gaga, dan fotografer Eko Siswono Toyudho. Belakangan, perbincangan molor hingga 30 menit karena ia demikian menggebu berargumen.

Kenapa kasus suap dan gratifikasi Budi Gunawan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung?

Prosesnya panjang, dan keputusan itu bukan dimulai saat kami (tiga pemimpin baru) mulai bertugas di sini. Setelah putusan praperadilan kasus Budi Gunawan, opsi pelimpahan sudah dibahas oleh pimpinan sebelumnya (putusan praperadilan dilakukan pada 16 Februari). Opsi ini dimunculkan karena upaya hukum permohonan kasasi ditolak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Kapan tepatnya pembicaraan pelimpahan kasus itu dibahas pimpinan KPK sebelum Anda?

Sehari setelah putusan praperadilan Budi Gunawan (BG). Saat itu opsi yang muncul cukup banyak. Salah satunya, ya, pelimpahan kasus BG ke Kejaksaan. Tapi itu dalam pembicaraan sangat terbatas.

Dalam sejarahnya, apakah KPK pernah melimpahkan perkara ke penegak hukum lain?

Dalam operasi tangkap tangan dulu, kami pernah melimpahkan ke Kejaksaan Agung. Saya lupa, tapi yang pasti saat itu kami memproses penyelidikan terhadap orang yang dinilai bukan penyelenggara negara dan penegak hukum. Karena itu dilimpahkan.

Ada perdebatan di antara pemimpin KPK sebelum kasus Budi Gunawan benar-benar dilimpahkan?

Tentu, tapi saya tidak bisa menceritakan detailnya. Yang jelas, diskusi dilakukan oleh tiga pemimpin yang baru dan dua yang definitif. Jadi bukan keputusan tunggal saya.

Pelimpahan kasus gratifikasi Budi Gunawan ini merupakan barter kasus?

Barter yang mana? Tidak ada istilah barter. Buktinya, kasus Abraham Samad dan Bambang Widjojanto jalan terus. Soal kasus Novel Baswedan (penyidik KPK) dan senjata penyidik memang saya minta dikaji ulang, termasuk tuduhan penyalahgunaan wewenang tiga direktur KPK. Tapi bukan dalam rangka barter. Saya ingin kasus mereka ini ditahan dulu, jangan sampai suasana jadi rumit.

Anda bisa menjamin polisi bersedia menahan kasus itu? Bukankah setelah pertemuan Anda dengan Kepala Kepolisian RI Badrodin Haiti dan Kepala Badan Reserse Kriminal Budi Waseso tetap ada pemanggilan pegawai KPK dari polisi?

Karena itu, kalau cari solusi jangan hanya KPK yang disuruh mundur, polisi juga. Itu yang saya bilang ke mereka (polisi). Kita disuruh mundur tapi polisi pasang kuda-kuda terus, maka tidak selesai-selesai. Saya juga sudah mengeluarkan surat resmi ke Kapolri agar pemeriksaan yang terkait dengan KPK ditangguhkan dulu.

Pemanggilan pegawai KPK mengganggu kinerja dan membuat resah?

Bukan cuma pegawai yang resah, institusi ini juga.

Dalam kondisi seperti itu, bagaimana Anda menyelesaikan 36 perkara yang sedang ditangani KPK dalam 10 bulan?

Jujur saja, para penyidik kami benar-benar kelebihan beban. Dibantu semua penyidik yang ada di Mabes Polri saja, saya tidak yakin bisa selesai. Apalagi KPK sendiri, yang jumlah penyidiknya terbatas. Ini kerja berat, tapi tekad saya satu, jangan memberikan pekerjaan rumah terlalu banyak kepada pemimpin yang akan datang.

Ada target dari Anda, misalnya menyelesaikan dua kasus besar, Bank Century dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia?

Saya tidak pernah terucap mengatakan begitu. Tolong, ya. Prioritasnya adalah menyelesaikan perkara di tingkat penyidikan. Yang kedua, konsolidasi ke dalam. Ketiga, komunikasi dengan lembaga penegak hukum lain.

Dari 36 perkara itu, kira-kira berapa persen yang akan selesai?

Saya belum bisa memastikan berapa. Yang jelas, setiap hari minimal dua perkara pimpinan menerima ekspose (pengungkapan).

Soal pelimpahan kasus Budi Gunawan lagi. Kejaksaan Agung mengatakan KPK belum sepenuhnya melimpahkan berkasnya?

Pelimpahan berkas tidak bisa digelundungkan begitu saja. Harus ada berita acara untuk memuat apa saja yang diperlukan. Kami melakukan ekspose di kejaksaan, di bawah deputi KPK-nya langsung, yang diterima Jaksa Agung Muda Pidana Khusus. Di situ kami jelaskan satu per satu. Nah, ketika Anda menanyakan pelimpahan berkas itu, memang sedang berjalan, jadi saya katakan belum sepenuhnya berkas itu diserahkan.

Benarkah dalam ekspose itu terbukti ada suap terhadap Budi Gunawan?

Rasanya berita acara penerimaan berkas tidak sampai dalam ke situ. Tapi saya belum baca, karena teknis sekali, dan kami juga belum terima laporannya.

Dari informasi yang kami dapatkan, kesimpulan ekspose itu memang Budi Gunawan terbukti suap.

Anda lebih cepat mendapat informasi. Pimpinan KPK sendiri belum, mereka (penyidik) hanya mengatakan penyerahan sudah selesai. Setahu saya, berita acara penyerahan berkas itu memang tidak sampai ke kesimpulan. Kalau kesimpulan, sudah masuk ke pemeriksaan berkas perkara. Harus dibedakan.

Ketika kasus Budi Gunawan ini dilimpahkan ke Kejaksaan Agung, apakah otomatis membatalkan juga penetapan tersangka terhadap dia?

Kita serahkan sepenuhnya pada mekanisme kejaksaan. Tentu mereka akan mengkomunikasikannya dengan kami.

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Widyo Pramono menyatakan tetap akan menelaah berkas itu, dan tidak ingin jika kasus Budi Gunawan masuk ke pengadilan lalu dibebaskan hakim.

Alhamdulillah, terima kasih untuk Pak Widyo atas komitmen itu. Kewajiban kami adalah melakukan supervisi.

Apa sebenarnya rekomendasi yang diinginkan pemimpin KPK sebelumnya kepada pemimpin pelaksana tugas?

Tidak ada rekomendasi dari Abraham Samad atau Bambang Widjojanto. Kalau ada rekomendasi, itu menjadi kewajiban saya untuk mengeksekusi, sebagai pemimpin sementara. Tidak serta-merta kita potong, kan, tidak etis juga. Contohnya ketika mengajukan permohonan kasasi, itu sudah pilihan. (Permohonan kasasi diajukan pengacara KPK pada 20 Februari.)

Mengapa memilih kasasi (naik banding) bukan peninjauan kembali (upaya permohonan untuk mementahkan putusan pengadilan)?

Beliau-beliau itu sarjana hukum semua, jadi mengerti pertimbangannya. Ketika dihadapkan pada dua sikap, kasasi atau PK, mereka memilih opsi kasasi, dan ditolak. Ya sudah, kenapa pertanyaan memilih PK diajukan ke pimpinan baru? Coba pertanyaan itu saya balik, kenapa pimpinan lama tidak mengajukan permohonan PK?

Kalau pertanyaan itu kami tanyakan sekarang, kenapa Anda tidak mengajukan permohonan PK saja saat ini?

Karena perlawanan terhadap putusan praperadilan itu sudah dilakukan lewat kasasi dan itu pilihan. Jawaban hukumnya adalah PK itu berbicara tentang hukum pidana materiil, sedangkan praperadilan soal hukum acara. Ini dua barang yang berbeda, jadi permohonan PK tidak tepat diajukan. Karena itulah mereka (pimpinan KPK lama) tidak mengajukan permohonan PK. Kok, sekarang tiba-tiba saya dituduh macam-macam?

Jadi KPK benar-benar sudah kalah?

Kalah itu bukan persoalan tidak mengajukan permohonan PK. Kalah itu ketika sidang praperadilan. Ketika di praperadilan, hakim sudah menyatakan KPK tidak berwenang, berarti kita sudah kalah, terlepas dari suka atau tidak suka. Analoginya seperti sepak bola. Memang kita inginnya bola itu tidak masuk ke gawang, tapi putusan wasit sudah mengatakan gol, kita mau apa? Peluit sudah berbunyi.

Bukankah bisa memprotes?

Oke, protes, tapi ada persoalan di lapangan. Dua pemain, termasuk kapten kesebelasan, harus meninggalkan lapangan, kemudian masuk pemain pengganti. Kenapa pas pemain baru masuk, gol yang terjadi disalahkan ke pemain baru? Jelas-jelas sudah kalah. Artinya, kekalahan sudah terjadi. Dua gol pula: praperadilan dan kasasi ditolak!

Tidak ada cara lain untuk mengatasi ketertinggalan dua gol itu?

Tentu, saya akan berusaha. Kita sudah mengajukan protes ke wasit (kasasi), tapi tetap tidak bisa, tetap kalah. Apa harus mogok main, walk out?

Tapi mengajukan permohonan PK kan belum tentu ditolak?

Sekarang kembali pakai nalar hukum kita. Anda orang hukum, bukan? Kalau bukan, susah saya bicara karena kita punya pandangan berbeda. Sebagai orang hukum, saya katakan, PK ini bukan instrumen untuk praperadilan. Namun saya tidak menutup diskusi. Saya sudah membahasnya dengan pemimpin lain dan pendapatnya sama.

Semua berpendapat demikian?

Biro Hukum menyarankan masih dimungkinkan PK dengan segala perdebatannya. Saya bilang oke, kalau demikian siapkan saja sebagai alternatif. Nanti, jika keputusannya akan mengajukan permohonan PK, langsung bisa berangkat, tidak usah berlama-lama lagi.

Persiapan itu dibuat karena ada tekanan masyarakat?

Bukan, melainkan untuk mencari solusi terbaik. Semua kami lakukan bertahap dan sesuai dengan prosedur, tidak bisa reaktif tanpa pertimbangan masak. Unjuk rasa itu kami dengar sebagai sebuah pendapat, tapi tidak bisa jadi alasan untuk menekan kami. Sori, saya tidak bisa ditekan. Daripada ditekan untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai, lebih baik saya keluar.

Benarkah Mahkamah Agung mengisyaratkan menolak jika permohonan PK diajukan KPK? Apakah isyarat itu disampaikan saat pertemuan seminggu lalu antara KPK dan MA?

Kami membahas perkataan, bahasa tubuh Ketua MA (Hatta Ali), dan semuanya. Kami coba menafsirkan dengan jernih pendapat para hakim agung itu. Kami melihat sepertinya MA menolak PK. Dan itu didukung pernyataan hakim agung Suhadi di media bahwa PK tidak bisa diterima.

Bukankah MA sudah ada rujukannya berupa kasus Chevron pada 2013 dengan Surat Edaran MA (SEMA) yang dikeluarkan: intinya tidak dapat diterima permohonan peninjauan kembali atas putusan praperadilan kecuali telah terjadi penyelundupan hukum, yaitu praperadilan yang melampaui kewenangan.

Siapa yang suruh merujuk? Kan, bukan KPK?

Ya, MA, tapi artinya kan ada rujukan hukum dari SEMA itu....

Saya tidak mendengar satu kalimat pun dari para hakim agung itu merujuk pada kasus hakim Chevron.

Anda pernah mengatakan penyelesaian kisruh KPK versus Polri bisa dilakukan secara adat. Apakah pelimpahan kasus BG ini termasuk kategori itu?

Menurut hakim Sarpin B.G., itu bukan penyelenggara negara dan bukan penegak hukum, sehingga KPK sudah tidak berwenang. Jadi, sepanjang penyerahan itu memiliki dasar hukum, bukan pakai cara adat namanya.

Saat Anda ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas KPK, santer muncul suara bahwa Anda adalah titipan Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDI Perjuangan) dengan tujuan meredam kasus korupsi kakap….

Yang meminta secara resmi ke saya untuk menjadi Ketua KPK adalah Pak Jusuf Kalla (Wakil Presiden), yang saya kenal sejak menjadi anggota DPR. Jika yang meminta adalah menteri, apalagi dari partai, saya tidak akan mau. Maaf, saya tidak mau jadi titipan partai. Gue ini sudah pensiun. Yang boleh perintah gue hanya Presiden.

Bagaimana dengan Megawati? Anda kenal secara pribadi?

Kalau Ibu Mega memang kenal ketika saya masih kuliah di Jurusan Hukum Universitas 17 Agustus 1945. Tapi kan dia tetap dari partai....

Jika Megawati sendiri yang meminta Anda menjadi Ketua KPK, apakah Anda bersedia?

Janganlah. Masak, saya titipan PDI Perjuangan. Jikapun Pak Susilo Bambang Yudhoyono yang meminta, saya juga tidak akan mau, karena dari partai juga. Saya bersedia karena Pak JK yang meminta, dan sudah diputuskan secara informal oleh petinggi negara di Istana, termasuk Presiden. Ketika saya tanya ke Pak JK apakah saya akan jadi pemadam kebakaran dalam situasi kisruh ini, dia menjawab simpel, "Enggaklah, ini kan karena kau yang memulai dulunya (KPK)."

Ada kabar Anda melakukan pertemuan informal dengan beberapa mantan dan petinggi polisi, juga pengacara yang pernah membela koruptor, di Restoran Duck King tak lama setelah dilantik….

Saya kan bukan orang dari planet lain. Saya dari kalangan pergaulan. Saya bergaul dengan orang pergerakan, orang ideologis, juga para jurnalis. Saya punya komunitas tertentu, pencinta keris dan golf. Itu saya lakukan sejak 1992, ketika menjadi anggota DPR. Karena itu, sosok saya di kalangan mereka bukan hal aneh.

Itu pertemuan rutin?

Rutin juga tidak. Tergantung sponsornya siapa. Sebenarnya pertemuan itu akan dilakukan pada Jumat (20 Februari 2015), tapi tiba-tiba hari itu saya dilantik. Jadi pindah ke Sabtu. Sudah saya sampaikan ke teman-teman pimpinan KPK bahwa hari itu akan bertemu dengan geng lama. Di sana, ya, MEOK saja alias "makan enak omong kosong". Di situ saya bertemu dengan Noegroho Djajoesman (mantan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya), yang saya kenal sejak dulu. Juga ada Bang Buyung (Nasution), yang saya kenal sejak 1969. Kemudian Hariman Siregar, dan teman lain yang dokter dan budayawan. Bicara tentang batu bacan, keris, membina PAUD (pendidikan anak usia dini). Itulah lingkungan sosial saya.

Pertemuan itu tak melanggar kode etik?

Melanggar apabila sembunyi-sembunyi. Ini kan saya informasikan ke pimpinan lain. Saya juga cerita bertemu dengan orang yang ditetapkan tersangka oleh KPK di lift sebuah rumah sakit ketika mengantar istri. Sekarang saya beri tahu Anda, saya sudah dua kali bertemu dengan Akil Mochtar (bekas Ketua Mahkamah Konstitusi) dan Wawan (Chaeri Wardana) di masjid bawah di KPK, ketika habis salat Jumat. Salaman sama mereka, setelah itu naik. Apa itu melanggar kode etik?

Sewaktu ada protes dari pegawai KPK, kabarnya Anda memanggil Faisal-Ketua Wadah Pegawai KPK-dan memerintahkannya tidak berbicara lagi ke media?

Rasanya saya ketemu Faisal secara pribadi tidak pernah, tuh. Paling di masjid atau di kamar Johan. Tidak pernah saya panggil.

Tidak dikasih sanksi?

Jangankan sanksi, terpikir saja enggak. Karena itu, ketika Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi bereaksi, saya malah santai saja.

Masih sempat menjalani hobi Anda: main golf?

Boro-boro, pinggang saja sakit. Dulu beberapa kali main sama Pak JK. Kalau main, dia di Senayan. Saya lebih suka di Bumi Serpong Damai, karena areanya panjang-panjang. Di Senayan itu pendek, saya tidak bisa.

Taufiequrachman Ruki

Tempat dan tanggal lahir: Rangkasbitung, Lebak, Banten, 18 Mei 1946

Pendidikan:
Traffic Management Course Japan International Cooperation Agency (1991)
Kursus Perwira Reserse Senior (1987)
Sarjana Hukum Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta (1987)
Pendidikan Khusus Sekolah Staf dan Komando Kepolisian (1983)
Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (1978)
Akademi Kepolisian (1970)

Karier:
Pelaksana Tugas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi periode III (2015)
Komisaris Utama Bank Jabar-Banten (2015-2018)-mundur
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (2009-2013)
Komisaris Utama PT Krakatau Steel (2007-2008)
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi periode I (2003-2007)
Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Fraksi TNI-Polri (2000-2001)
Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat-sebagai Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (1999-2000)
Komisi VII/Kesejahteraan Rakyat Fraksi TNI Polri dan anggota Tim Asistensi Badan Pekerja MPR-RI Fraksi TNI-Polri (1997-1999)
Komisi III (Hukum) Fraksi TNI-Polri dan Kepala Kepolisian Wilayah Malang, Jawa Timur (1992-1997)
Sekretaris Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Jawa Barat (1992)
Kepala Kepolisian Resor Tasikmalaya, Jawa Barat (1991-1992)
Kepala Kepolisian Resor Cianjur, Jawa Barat (1989-1991)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus