Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Mayor Jenderal Sudradjat: "Pasal 19 Itu Memang Rawan"

9 Maret 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKU besar itu masih baru. Isinya cuma kliping berita dari berbagai koran. Penuh, dari halaman muka hingga akhir. Hampir semuanya mengusung judul seram: Terbuka Peluang Untuk Kudeta, TNI Ngotot Pasal Kudeta, Awas Tentara Mau Kudeta, dan sebagainya. Pokoknya mengupas habis ihwal draf Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional (TNI), terutama Pasal 19, yang disebut-sebut sebagai pintu masuk bagi militer untuk mengambil alih kekuasaan, secara absah. Yang rajin menata kliping itu adalah Mayor Jenderal Sudradjat, Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan, tokoh yang disebut-sebut paling getol menolak "pasal kudeta" itu. Pekan-pekan ini—di samping rajin membaca kumpulan berita itu—jenderal berbintang dua ini juga rajin membaca dua buku kecil tentang Undang-Undang Pertahanan dan Undang-Undang Kepolisian. Kliping dan dua buku itu amat penting bagi Sudradjat, terutama ketika ia harus meladeni pertanyaan kuli tinta, seputar centang-perenang polemik rancangan yang mengatur posisi militer dalam jagat tata negara Indonesia. Draf Rancangan Undang-Undang itu mulai digodok oleh Markas Besar TNI sejak awal tahun lalu. Setelah setahun dibahas di sana, bulan lalu disetor ke Departemen Pertahanan untuk dibahas ulang, sebelum akhirnya diserahkan ke para wakil rakyat di Senayan. Sedianya rancangan itu akan ditetapkan sebagai undang-undang tahun ini juga. Tapi Sudradjat, yang pernah belajar strategi pertahanan negara di Inggris, mencium sesuatu yang berbahaya dalam rancangan ini, terutama Pasal 19 tadi. "Pasal itu bisa menimbulkan polemik yang sengit di masyarakat, karena bisa diinterpretasikan bahwa Panglima TNI bisa merancang kudeta yang sah menurut undang-undang," katanya kepada pers, dua pekan lalu. Sudradjat benar. Pekan-pekan ini, ramai sejumlah pengamat, kalangan akademis, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) menyerukan penolakan terhadap Pasal 19 itu. Pasal tersebut dituding sebagai pintu masuk bagi TNI untuk melakukan kudeta yang sah. Itu berarti tamatlah supremasi sipil, juga demokrasi di negeri ini. Berulang-ulang Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto menampik. "Kalau mau kudeta, sekarang pun bisa. Tak perlu menunggu undang-undang," kata sang Panglima. Lalu apa perlunya pasal gawat itu dimasukkan dalam draf RUU TNI? Sejumlah sumber majalah ini menyebutkan bahwa pasal gawat itu diselipkan karena militer sudah lama jengah dengan cara politisi sipil mengatasi konflik di sejumlah daerah. Pemerintah, tentu saja maksudnya sipil, dianggap terlalu lembek dalam mengatasi berbagai konflik berdarah-darah yang terjadi selama ini. Masalah Aceh, Ambon, dan Papua disebut-sebut sebagai contoh. "Konflik Ambon tidak bakal memakan korban sebanyak itu jika mantan Presiden Habibie tidak menolak usul darurat militer yang pernah diusulkan Mabes TNI," kata seorang petinggi TNI. Begitu juga dengan kasus Aceh. Pemerintah selalu menolak upaya TNI untuk menetapkan darurat militer di provinsi paling barat itu. Akibatnya, kelompok perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kian besar dan kian sulit pula diberantas. Sudradjat, yang pernah menjabat Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, percaya bahwa niat baik itulah yang mendasari masuknya Pasal 19 tadi. Ia juga hakul yakin bahwa militer tak punya niat melakukan kudeta. Tapi ia juga maklum dengan kecemasan khayalak ramai, bahwa pasal itu bisa dijadikan alasan untuk melakukan kudeta. Itu sebabnya, bersama sejumlah anggota timnya di Departemen Pertahanan, Sudradjat berusaha mencari jalan tengah yang bisa diterima semua pihak. Jalan tengah itu, katanya, berupa Aturan Pelibatan. Aturan Pelibatan ini semacam petunjuk bagi para komandan tentara di lapangan untuk ikut mengamankan situasi, jika memang diperlukan dan dianggap mendesak. Bagaimana lengkapnya jalan keluar itu, juga bagaimana proses munculnya rancangan yang berbau kudeta itu? Berikut petikan wawancara Wenseslaus Manggut, Darmawan Sepriyossa, dan Arif Zulkifli dari Majalah TEMPO, dengan Sudradjat, Jumat pekan lalu. Petikannya.

Bagaimana latar belakang lahirnya RUU TNI itu?

Rancangan itu adalah bagian dari reformasi dalam sistem pertahanan dan keamanan negara. Reformasi itu sendiri sudah dimulai sejak diberlakukannya Ketetapan MPR Nomor 6 dan Nomor 7 Tahun 2001 tentang pemisahan tentara dan polisi, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Setelah Undang-Undang Pertahanan dan Undang-Undang Kepolisian itu disusun, kita tinggal membuat Undang-Undang TNI. Ini perlu terutama untuk menjelaskan posisi tentara dalam tata negara kita.

Sepertinya Departemen Pertahanan dan Markas Besar TNI berhadap-hadapan dalam menyusun rancangan undang-undang itu. Siapa sebetulnya yang paling berhak menentukan draf awal rancangan undang-undang itu?

Karena rancangan itu akan berisi pengaturan peran militer, TNI diberi kesempatan untuk menyusun rancangannya. Mereka diminta membuat rancangan bagaimana sebaiknya mereka diatur. Sejak awal tahun lalu, Markas Besar TNI yang melibatkan Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Laut membahas rancangan itu. Hasilnya diserahkan ke Departemen Pertahanan bulan lalu.

Jadi, posisi terakhir RUU itu sampai di mana?

Rancangan itu kini sedang dibahas di Departemen Pertahanan. Pembahasan itu dilakukan bersama tim dari Mabes TNI, beberapa orang pengamat dari kalangan sipil dan pihak Departemen Pertahanan sendiri. Tidak benar seperti yang diberitakan banyak media bahwa RUU itu sudah diajukan ke legislatif. Semuanya masih sedang dibahas di Departemen Pertahanan dan belum diserahkan ke DPR.

Anda paling getol melansir bahwa Pasal 19 dalam RUU itu cukup rawan. Apa alasannya?

Saya adalah orang yang cemas bahwa Pasal 19 itu akan menimbulkan polemik yang sengit di masyarakat. Sebab, pasal ini bisa diinterpretasikan bahwa Panglima TNI punya kesempatan merancang sebuah kudeta yang disahkan oleh undang-undang. Ini jelas bertentangan dengan undang-undang penyelenggaraan negara dan aturan demokrasi di mana pun yang menyebutkan bahwa keputusan untuk menggerakkan pasukan ada pada presiden.
Kecemasan saya ternyata benar. Sejumlah kalangan seperti pengamat politik, kalangan perguruan tinggi, dan kalangan LSM menilai bahwa pasal itu memang cukup rawan, karena bisa memberikan pembenaran kepada pihak TNI untuk melakukan kudeta.

Panglima TNI sudah memberi garansi tidak akan melakukan kudeta. Apa garansi itu tidak cukup untuk menerima lahirnya Pasal 19 itu?

Saya sangat senang sekali karena Panglima TNI mengatakan bahwa pihak militer sama sekali tidak berniat melakukan kudeta. Kita senang dan percaya dengan penjelasan itu. Tapi, jika isi pasal 19 itu tetap dipertahankan dan bahkan dijadikan undang-undang, bukan tidak mungkin lahir niat untuk melakukan kudeta, karena kita menyediakan dasar hukumnya.

Apakah para petinggi TNI berpotensi menyalahgunakan pasal itu?

Saya sangat percaya dengan komitmen demokratisasi dari Pak Endriartono (Panglima TNI—Red.). Saya pernah belajar bersama dengan beliau di Lembaga Pertahanan Nasional Inggris. Saya tahu persis bahwa dia sangat berkomitmen dengan hak asasi dan upaya demokratisasi. Pada saat diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), dia juga sudah mengatakan setia dengan proses reformasi.
Saya juga percaya bahwa Jenderal Ryamizard juga punya komitmen tinggi terhadap agenda demokratisasi dan reformasi. Komitmen mereka dengan demokrasi dan reformasi tidak usah diragukan lagi. Saya bisa memberi garansi bahwa mereka tak bakal melakukan kudeta. Saya yakin sekali.

Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa para petinggi TNI berikutnya tidak tergoda menyalahgunakan Pasal 19 itu, sebagaimana halnya dwifungsi ABRI dulu?

Saya juga punya kecemasan yang sama. Siapa yang bisa menjamin bahwa 20 atau 30 tahun nanti, tidak ada petinggi TNI yang tergoda menyalahgunakan Pasal 19 itu. Ya, seperti dwifungsi ABRI itu. Pada mulanya konsep itu dipuja-puji dan didukung oleh hampir semua kalangan. Tapi dalam perjalanannya konsep ini dikritik habis oleh masyarakat dan dituding diselewengkan.

Markas TNI di Cilangkap mestinya bisa menduga bahwa pasal itu akan rawan polemik. Tapi mengapa mereka berani memasukkan Pasal 19 itu?

Saya kira persoalan ini harus dilihat secara jernih dan hati yang dingin. Alasan TNI memasukkan pasal itu hanya akan bisa dimengerti jika kita memahami betul apa yang sesungguhnya dirasakan oleh TNI. Bagaimana cara TNI, doktrin, dan sebagainya dalam memandang kehidupan bernegara.

Maksud Anda?

Para anggota TNI memahami betul bahwa peran mereka dalam kehidupan bernegara adalah menjaga pertahanan dan kedaulatan negara. Yang ada dalam isi kepala kami—dari sersan sampai jenderal—cuma satu, yaitu tugas sebagai penjaga kedaulatan dan pertahanan negara. Kami khawatir, dengan konflik di sejumlah tempat seperti Papua, Aceh, dan Ambon, kedaulatan negara bakal terancam.
Kekhawatiran itu bukannya tidak berasalan. Kasus lepasnya Timor Timur menjadi sebuah pelajaran penting. Dalam benak terdalam kami, bagaimanapun lepasnya Timor Timur itu telah merongrong kedaulatan negara.

Apa hubungannya dengan RUU TNI itu?

Hati terdalam kami cemas kalau peristiwa Timor Timur, peristiwa Ambon yang memakan korban begitu banyak, kasus Aceh, dan sebagainya terulang. Dalam kasus Ambon, misalnya, sejak awal TNI sudah meminta agar diberlakukan keadaan darurat militer. Tapi ditolak. Akibatnya, korban begitu banyak. Begitu juga kasus Aceh. Menurut saya, sejumlah wilayah di Aceh sudah layak diberlakukan darurat militer, karena fungsi-fungsi pemerintahan tidak berjalan lagi. Nah, sikap-sikap dasar seperti itulah yang menjiwai penyusunan RUU TNI itu. Saya pastikan bahwa tidak ada ambisi apa-apa di dalamnya. Tidak ada maksud kudeta. Yang terjadi adalah bahwa sebagai warga negara, TNI perlu menyampaikan seluruh perasaannya yang menyangkut segala perannya. Itu saja.

Repotnya, tidak ada yang bisa menjamin bahwa pasal itu tak bakal diselewengkan....

Sikap dasar TNI itu penting untuk dipahami. Sikap dasar itu jelas jauh dari niat untuk melakukan kudeta. Tapi sikap masyarakat yang menolak rancangan itu juga harus didengar. Karena itu harus dicari jalan keluar terbaik. Kita harus mencari sebuah formulasi lain untuk mempertemukan niat baik TNI itu dengan keinginan masyarakat umum. Itu yang kini tengah kami bahas.

Bagaimana formulasinya?

Niat baik TNI saya kira harus dihargai. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, niat baik itu harus dikemas dalam formulasi yang tegas dan tidak multipenafsiran, sehingga kekhawatiran bahwa pasal itu bisa diselewengkan oleh panglima-panglima yang akan datang tidak beralasan.

Konkretnya seperti apa? Pasal itu dipertahankan, dicoret saja, atau bagaimana?

Bisa saja Pasal 19 tidak dicabut tapi isinya diperbaiki. Seperti yang dikatakan oleh Panglima TNI bahwa kalau masyarakat keberatan, silakan redaksionalnya diganti, tetapi substansinya tetap. Nah, bisa saja Pasal 19 itu tetap bicara tentang peran pertahanan TNI, tapi tidak bersifat detail. Rinciannya akan dibuat dalam apa yang dalam militer disebut sebagai Aturan Pelibatan.
Aturan Pelibatan itu bentuknya bisa keputusan pemerintah atau cukup keputusan panglima. Intinya, aturan itu akan mengatur bagaimana TNI mengerahkan pasukannya jika terjadi sesuatu yang sangat mendesak.

Semacam petunjuk teknis begitu?

Pasal 19 yang kini diributkan itu adalah pemberian wewenang kepada Panglima TNI untuk mengerahkan pasukan, tapi dalam Aturan Pelibatan itu hanya pemberian wewenang kepada komandan-komandan lapangan yang melaksanakan operasi. Misalnya Jakarta rusuh lagi seperti tahun 1998 lalu. Dalam situasi seperti itu, TNI memang paling serba salah.
Jika turun mengamankan situasi, nanti dituding melanggar Ketetapan MPR Nomor 7 tentang pembagian tugas antara polisi dan tentara. Tentara bakal dituding masuk ke wilayah polisi. Nah, kalau kerusuhannya meluas, ratusan orang terancam jiwanya, mau dan tidak mau tentara akan ikut membantu. Dalam situasi seperti itu, Aturan Pelibatan tadi penting sebagai payung hukumnya. Dengan Aturan Pelibatan itu, Pangdam Jaya bisa langsung membantu mengamankan situasi tanpa harus menunggu perintah. Yang penting aturannya jelas.

Apa bedanya dengan formulasi dalam Pasal 19 itu?

Dalam rancangan Pasal 19 itu, wewenang untuk mengerahkan pasukan itu ada pada Panglima TNI. Sebab, berbicara tentang panglima, kita bicara tentang ratusan ribu tentara yang menyebar di berbagai daerah. Ini luas sekali dampak dan pengaruhnya. Tapi, kalau kita cuma bicara tentang komandan lapangan, pengaruhnya tidak sebesar itu karena lingkupnya kecil sekali. Jadi, kalau ada situasi yang mendesak seperti yang disebut-sebut oleh TNI, komandan lapangan di daerah "mendesak" itu saja yang bergerak. Ini adalah jalan tengah terbaik. Tentara bisa terpenuhi aspirasinya dan masyarakat tidak cemas akan terjadi kudeta.

Jalan tengah itu sudah dibicarakan dengan TNI?

Kami sedang menggodoknya.

Tapi Panglima TNI sudah bersikeras mengatakan bahwa RUU itu sudah final. Jadi, sikap Mabes sebetulnya sudah jelas juga, bukan?

Saya kira tidak. Final yang dimaksudkan oleh beliau itu adalah sudah selesai pembahasannya di Mabes TNI. Beliau sendiri bilang bahwa yang paling pokok itu adalah substansinya, bukan redaksional kalimatnya. Substansi niat baik TNI untuk berperan dalam situasi mendesak terpenuhi dan masyarakat juga bisa menerima.

Mayjen TNI Sudradjat

Tempat/tanggal lahir:

  • Balikpapan, 4 Februari 1949

Pendidikan:

  • Sekolah Dasar Balikpapan (1955-1961)
  • Sekolah Menengah Pertama Bandung (1961-1963)
  • Sekolah Teknik Mesin (STM) I Bandung (1964-1967)
  • Akabri Magelang (1968-1971)
  • Kennedy School of Government, Harvard University, Boston, Amerika Serikat (1993)

Karier:

  • Staf United Nations Emergency Forces di Kairo, Mesir (1974)
  • Staf Intelijen Dephankam (1980)
  • Staf Perencanaan Umum Mabes TNI (1981)
  • Korspri Panglima TNI (1985-1988)
  • Atase Pertahanan KBRI di London (1994-1997)
  • Atase Pertahanan KBRI di Washington (1997-1998)
  • Wakil Kepala Pusat Penerangan TNI (1999)
  • Kepala Pusat Penerangan TNI (1999)
  • Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan (2001-sekarang).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus