Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pasal Final dari Cilangkap

9 Maret 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DRAF itu disusun sejak satu setengah tahun lalu. Sekitar 40-an orang sipil dan militer sempat diajak urun rembuk bersama kelompok kerja gabungan dari Departemen Pertahanan dan Markas Besar TNI. Merekalah tim kerja yang bergumul dengan rumusan RUU itu dari hari ke hari. Mereka berkumpul di Jakarta, juga di Puncak. Sedianya, awal Maret ini drafnya sudah berada di Senayan untuk diperdebatkan oleh anggota DPR yang terhormat. Lalu, sedikit silang pendapat yang genit dalam sorotan kamera televisi dan, ...tok..., sahlah rancangan tersebut menjadi undang-undang. Barangkali gambaran itulah yang ada di benak para penyusunnya. Namun, baru saja naskah itu keluar dari Cilangkap, Markas Besar TNI, kuali penggodokan di dapur Departemen Pertahanan ternyata bocor. Materi yang belum lagi menjadi naskah resmi pemerintah itu tersebar keluar dan menebar polemik. Sejak awal, sejumlah ahli dalam tim ramai menyoal beberapa pasal, terutama Pasal 19. Mereka meminta pasal itu dicabut karena bertentangan dengan Undang-Undang No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara. Di situ disebutkan: pengerahan pasukan dalam situasi darurat berada di bawah komando presiden. Itu pun harus mendapat persetujuan DPR paling lambat dua kali 24 jam. Pasal 19 RUU TNI itu antara lain berbunyi, " ...dalam keadaan mendesak, di mana kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa terancam, panglima dapat menggunakan kekuatan TNI sebagai langkah awal." Rumusan ini jelas bertolak belakang dengan Undang-Undang Pertahanan. Direktur Eksekutif Imparsial, Munir, malah menganggap ini bertentangan dengan Pasal 12 UUD 1945, yang menyatakan kewenangan yang sama hanya ada pada presiden. Itu pun dengan catatan: syarat, akibat, dan rumusan tentang "keadaan bahaya" ini harus ditetapkan undang-undang. Jika rumusan versi Cilangkap itu tetap digolkan, akibatnya berabe. "Ini bisa diartikan Supersemar yang permanen," kata bekas Koordinator Kontras tersebut. Perdebatan sengit terjadi. Ujung-ujungnya, forum sepakat membawa masalah itu ke Panglima TNI. Namun, hingga pembahasan terakhir di Cisarua, Bogor, awal Februari lalu, narasi pasal itu tetap tak berubah. Anggota DPR dari Fraksi Reformasi, Djoko Susilo, melihat ada bagian lain yang dinilainya melecehkan otoritas sipil dalam penyusunan kebijakan pertahanan negara. Pasal 14 butir (d) dan (g) draf tersebut menyebutkan: tugas dan kewajiban Panglima TNI adalah bekerja sama dengan Menteri Pertahanan dalam penetapan kebijakan pemenuhan kebutuhan dan komponen pertahanan, ataupun dalam penyusunan dan pelaksanaan perencanaan strategis pengelolaan sumber daya untuk pertahanan negara. Esensi pasal itu, menurut Djoko, bertentangan dengan Undang-Undang Pertahanan Negara. Pasal 16 undang-undang ini menyebutkan, Panglima TNI hanya melaksanakan kebijakan yang dibuat presiden melalui Menteri Pertahanan. Posisi kerja sama, sebagaimana ditegaskan draf RUU TNI, bisa diartikan Menteri Pertahanan-lah pihak yang akan memanfaatkan hasil rencana strategis yang dibuat Panglima TNI. "Saya pikir itu tidak benar," kata Djoko. Ada yang melihat sebagai pengalihan wewenang dari Menteri Pertahanan pada Panglima TNI. "Ini pembajakan," kata pengamat pertahanan Riefki Muna. Mungkin ada baiknya Cilangkap mempertimbangkan kembali sikapnya yang menganggap draf RUU TNI itu sudah final. Bagaimana, Jenderal?

Darmawan Sepriyossa dan Tempo News Room


Yang Ditabrak Pasal 19 RUU TNI

Pasal 14 UU Pertahanan No. 3 Tahun 2002
Bahwa kewenangan pengerahan kekuatan TNI ada pada presiden. Dalam waktu 2 x 24 jam presiden harus mengajukan persetujuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Tap MPR No. 6 dan No. 7 Tahun 2001
Bahwa TNI dan Polri merupakan dua lembaga terpisah. TNI menangani persoalan pertahanan, Polri menangani masalah keamanan.


Debat Pasal Gawat

Oktober 2002
Untuk pertama kali gagasan tentang Pasal 19 ayat 1 muncul. Pasal ini memberi pembenaran kepada Panglima TNI untuk melakukan tindakan militer tanpa izin presiden. Pada bulan ini kasus bom Bali terjadi. Menurut KSAD Ryamizard Ryacudu, tragedi ini terjadi karena lemahnya pembinaan teritorial dan intelijen TNI. "Dalam urusan menangani negara biar aman dan tidak terpecah belah, jelas harus TNI yang ikut turun," katanya.

24 November 2002
Departemen Pertahanan menerima naskah final dari Markas Besar TNI dan langsung membahasnya.

3 Februari 2003.
Rapat Kelompok Kerja menghasilkan draf final RUU TNI. Namun perdebatan panjang Pasal 19 tetap tak bisa diselesaikan. Akhirnya rumusan Pasal 19 RUU TNI diserahkan ke Panglima TNI.

5 Februari 2003
Tim Mabes TNI menyatakan draf RUU itu sudah final karena sudah disetujui Panglima TNI.

20 Februari 2003
250 purnawirawan TNI berkumpul di Markas Besar TNI AD. Dalam kesempatan itu, Ryamizard mengemukakan idenya untuk menjaga keutuhan Indonesia. Gagasan itu disambut baik oleh para sesepuh Angkatan Darat.

24 Februari 2003
Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan, Marsekal Madya Suprihadi, membantah adanya usul dalam draf RUU TNI tentang kewenangan Panglima TNI untuk menggunakan kekuatan militer tanpa persetujuan presiden. Menurut dia, kewenangan penggunaan kekuatan militer hanya ada pada presiden.

27 Februari 2003
Panglima TNI, Jenderal Endriartono Sutarto, di Mabes TNI Cilangkap, menegaskan, sebagai pihak yang mengusulkan, TNI harus mendukung dan memperjuangkan pemikiran yang dituangkan dalam Pasal 19 RUU TNI. "Pasal itu harus tetap ada dalam RUU hingga disahkan menjadi undang-undang," katanya.

28 Februari 2003
Wakil Presiden Hamzah Haz menyatakan mendukung substansi Pasal 19 Rancangan Undang-Undang TNI.

4 Maret 2003
Ketua MPR RI Amien Rais mendukung RUU TNI. Menurut Amien, Pasal 19 diajukan militer untuk menjalankan tugasnya membela negara dengan mantap dan tidak gamang. "Saya tidak pernah percaya TNI akan berani melawan rakyatnya sendiri," ujar Amien.

6 Maret 2003
Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu akhirnya setuju dengan perubahan Pasal 19 ayat 1 RUU TNI. "Kalau memang enggak pas, ubah saja lagi," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus