Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Penuhi Hak Gunung Berapi

25 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah melewati detik-detik menegangkan, tim search and rescue akhirnya berhasil mengangkut jenazah Erry Yunanto dari kawah Gunung Merapi sedalam sekitar 200 meter, Rabu pekan lalu. Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta itu tergelincir masuk ke kawah ketika sedang turun dari puncak Merapi pada Sabtu, 15 Mei 2015. Proses evakuasi korban mesti dilakukan superhati-hati, lantaran medan kawah curam dan mengeluarkan gas beracun.

Surono, Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sebelumnya mewanti-wanti tim SAR agar tak emosional dalam proses evakuasi korban. Sebab, menurut dia, mendekati alam perlu kesabaran dan perlakuan khusus. Terlalu pede menaklukkan alam malah membahayakan keselamatan.

Usia 59 tahun tak mengendurkan energi dan semangat pria kelahiran Cilacap, Jawa Tengah, ini untuk terus mengurus gunung berapi di Nusantara. Menjelang pensiun pada Agustus mendatang, Surono malah kian gesit mengurus gunung berapi. Gairahnya seperti gunung berapi yang masih remaja: aktif dan meletup-letup.

Selasa pekan lalu, pria yang akrab disapa Mbah Rono itu mengikuti upacara labuhan, kearifan lokal yang digelar warga yang tinggal di sekitar Gunung Merapi, Yogyakarta. Rabu pagi, ia melenting ke Bogor, Jawa Barat, mengisi seminar tentang gunung berapi. Petangnya, Surono menerima Isma Savitri, Untung W.D., dan fotografer Aditia Noviansyah dari Tempo untuk wawancara di rumah dinasnya di kawasan Kebon Melati, Jakarta Pusat. Ketika itu, Mbah Rono baru saja rampung dipijat.

Ditemani kopi robusta pekat, Surono bercerita soal mitigasi di Indonesia, peringatan dini, aktivitas gunung berapi, hingga proses evakuasi Erry. Dia menyebutkan manusia sejatinya adalah tamu di bumi. Karena itu, manusia wajib menghormati dan mendekati alam dengan hati. "Wong kita itu sejak awal hidup dari alam. Alam kan ada dalam kopi yang kita minum ini, dalam rokok, juga dalam komponen di tablet pintar Anda," ujarnya. "Jadi mana mungkin kita bisa menang atas alam?"

****

Apa kunci sukses tim SAR dalam mengevakuasi Erry Yunanto dari kawah Merapi?

Rumus utama sebelum evakuasi adalah meyakinkan tim SAR selamat. Saya tidak menyangka penyelamatan bakal sesukses itu karena kedalaman kawahnya 200 meter dengan panas 170-200 derajat Celsius. Kalau bisa sepuluh jempol, saya kasih, deh.

Kami bekali mereka dengan masker full face, kamera termal untuk menembak jarak jauh, dan gas untuk menembak. Kedua, penyelamatan hanya dilakukan saat ada terik matahari, agar gas beracunnya cepat memuai. Ketiga, jangan emosi.

Ini semua kan masalah emosi. Si pendaki sebenarnya sudah masuk Pasar Bubrah, pos terakhir pendakian Merapi. Tapi ia terus naik ke puncak, padahal sudah ada larangan.

Kenapa dilarang?

Setelah aktivitasnya meningkat pada 2010, Gunung Merapi mulai rapat kembali dan kondisi batu-batu di sana sudah tidak stabil lagi. Kalau pendaki yang sudah di atas gunung kurang berhati-hati, pendaki di bawahnya bakal kena. Selain itu, orang kalau sudah sampai di atas gunung secara alamiah akan menengok ke bawah. Nah, kami takut dia menginjak batu yang tidak stabil.

Apakah ada tanda larangan naik ke puncak di Pasar Bubrah?

Ya, sudah ada plang di ketinggian 2.500 meter di atas permukaan laut. Di pos perhentian pun sudah ada peringatannya. Nah, makanya saya bilang, mendekati alam itu harus dengan otak dan hati. Jangan hanya menuruti keinginan, tapi meninggalkan hati. Kalau logika saja tanpa hati, bisa sombong. Yang penting ada kendali hati dan rasio yang seimbang.

Sebelumnya sudah banyak yang melanggar naik ke puncak?

Banyaklah.

Musibah jatuhnya pendaki ke kawah baru terjadi kali ini?

Di Gunung Semeru pada 1990-an, pernah ada ilmuwan dan peneliti meninggal karena hatinya ingin melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang. Dia bilang pingin memberi saya oleh-oleh foto pemandangan dari atas, tapi malah jatuh.

Kadang orang kan tidak bisa mengukur bahaya di depannya....

Makanya pemerintah bertanggung jawab soal ini dan harus bisa meyakinkan masyarakat. Misalnya, beberapa waktu lalu ada yang masuk ke kawah Gunung Dempo, yang airnya lebih asam daripada air aki. Itu sudah tidak bisa ditolong dan orang yang menolong juga enggak mungkin selamat.

Dalam kasus jatuhnya Erry ke kawah Merapi, memang masih memungkinkan evakuasi?

Kalau si pendaki dalam kondisi selamat, secara logika enggak mungkin. Kawah ini dalam, bawahnya bukan air, melainkan bebatuan. Dan kondisi bawah kawah itu menyempit, jadi mungkin almarhum terantuk batu. Kalaupun selamat dari itu, sampai dasar dia akan terserang dingin dan gas beracun. Tingkat keselamatannya sangat rendah.

Di Gunung Lokon, baru-baru ini kami meminta 50 pendaki turun kembali. Sebelumnya, kami menetapkan gunung itu berstatus waspada, tapi banyak yang nekat. Yang jadi masalah adalah orang sering terlalu mengumbar egonya. Dulu ada orang main silat-silatan pada jarak 3,5 kilometer dari Gunung Sinabung, berfoto, lalu mengunggahnya di Facebook. Akhirnya orang lain melihat, lalu ingin seperti itu juga. Aduh....

Banyak orang sepertinya tak acuh melakukan sesuatu meski tahu berbahaya.…

Seperti Mbah Maridjan (penjaga Gunung Merapi) saat saya minta mundur dari rumahnya pada 2010 itu, kan beliau enggak mau, sampai akhirnya meninggal. Saya menghormati beliau, tapi itu salah karena rumahnya masuk radius bahaya. Saya juga pernah putus kerja sama dengan profesor peneliti gunung api dari Belgia karena dia maksa masuk ke radius bahaya gunung kita. Pertanyaan saya, kalau saya di negaranya, apakah saya boleh masuk radius bahayanya? Enggak, kan. Garis lingkar itu bukan garisnya Surono, melainkan pemerintah.

Barangkali profesor itu yakin dengan bekal ilmunya.

Profesor Belgia itu ingin masuk radius bahaya karena merasa tahu soal gunung api. Padahal ilmu pengetahuan terjadi karena empiris alam. Makanya jangan sombong, merasa punya ilmu pengetahuan dan teknologi lalu bisa mengerti alam. Sebab, kepastian dalam ilmu pengetahuan adalah ketidakpastian itu sendiri. Jadi, kalau sebuah daerah dinyatakan berbahaya, lebih baik tidak ke sana. Mungkin ke sana tidak apa-apa, tapi daripada terjadi sesuatu? Dalam hal nyawa, saya mengambil risiko tertinggi.

Bisakah itu disebut kesombongan intelektual?

Ada semacam itu. Padahal mendekati alam harus dengan hati. Yang harus muncul adalah kecintaan dan logika, bukan kesombongan. Jangan mentang-mentang Anda ilmuwan dan merasa tahu soal gunung, lalu Anda nekat melewati batas. Ada harga sangat mahal yang harus dibayar untuk pelanggaran-pelanggaran.

Mbah Maridjan dulu memilih bertahan. Bagaimana Anda melihatnya?

Bapak saya itu menggunakan pengalamannya soal gunung api, tapi ilmu dasarnya tidak kuat. Padahal ilmu dasar yang kuat bisa mengantisipasi perubahan. Seharusnya Indonesia, yang punya gunung api terbanyak di dunia, penduduknya jadi pendaki yang arif.

Apakah ada perbedaan prosedur pendakian antara gunung api aktif dan tidak?

Sebenarnya semua gunung api di Indonesia sedang naik aktivitasnya. Pemerintah sudah punya kategori peringatan bahaya gunung api dari waspada, siaga, sampai awas. Itu bukan untuk meramal kapan dan berapa besar letusan, melainkan merupakan pemenuhan hak gunung berapi untuk melakukan aktivitasnya dan hak masyarakat untuk mendapat peringatan. Hal yang matematis itu urusan saya, tapi bahwa Anda dilarang masuk area bahaya gunung api, itu bentuk perlindungan.

Sejauh mana pengalaman mendaki berguna untuk menghadapi alam?

Pengalaman bermanfaat untuk diterapkan ke peristiwa selanjutnya. Tapi ilmu pengetahuan diperlukan ketika terjadi perubahan mendasar pada sebuah peristiwa. Kalau saya mau ngomong soal episentrum, spektrum gempa, itu gampang. Tapi bagaimana menyampaikan itu agar dipahami masyarakat, susah.

Peran kearifan lokal dalam menyelaraskan hubungan antara manusia dan alam seperti apa bentuknya?

Kearifan lokal itu bukan mistik, melainkan respek pada alam, yang kemudian diterapkan dalam keseharian. Saat saya kecil, di kampung ada yang namanya sedekah bumi. Itu bentuk kearifan lokal untuk mensyukuri alam atas hasil bumi yang melimpah. Sekarang tidak ada kegiatan semacam itu lagi karena bisa dianggap musyrik. Padahal tujuannya bagus, lho. Kalau saya tidak berkomunikasi dengan gunung, bagaimana saya bisa membaca sinyal dari dia?

Saya salut terhadap kearifan lokal di Merapi dan Kelud. Masyarakat di sana juga cepat sekali turun evakuasi, juga menormalkan kembali kehidupan pasca-letusan gunung. Kadang kita harus mengorbankan sesuatu untuk menang. Alam tidak bisa dilawan, pun dengan bunker yang tahan panas. Kasus Erry dan Mbah Maridjan itu pelajaran yang terlalu mahal.

Bagaimana sikap masyarakat kita jika dibandingkan dengan orang luar negeri?

Sejak kecil, kita sering menggambar dua gunung. Itu menunjukkan bagaimana banyaknya gunung api di Indonesia sudah melekat pada diri kita. Apalagi daerah gunung berapi biasanya subur dan nyaman ditinggali. Lembang punya kualitas sayuran yang baik, Malang tanpa Gunung Kelud tidak bakal punya apel Malang, dan Cianjur punya beras bermutu baik karena ada Gunung Gede.

Tapi kita masih merasa bukan tamu di bumi ini. Padahal, sebagai tamu, ya, harus menghormati yang punya rumah, dong. Kalau Anda sebagai tamu kurang ajar kepada empunya rumah, terusir, kan? Ini beda dengan Jepang, yang masyarakatnya sudah belajar bersikap arif terhadap buminya.

Apakah Anda merasa sudah ada perbaikan sistem mitigasi di Indonesia?

Peringatan dini sudah ada. Kalau urusan matematis, serahkan kepada saya. Urusan masyarakat adalah mematuhi peringatan. Biarlah alam berantem dengan alam, toh nanti akan ada pemulihan. Coba lihat Gunung Merapi, setelah pada 2010 terbakar habis, tanaman sudah kembali tumbuh.

Tapi sebaiknya ada persiapan yang baik. Sebab, sejak tahun 2000 sampai sekarang, ada 13 gempa bumi di dunia yang korbannya lebih dari 1.000 orang. Empat di antaranya ada di Indonesia, yakni tsunami Aceh (2004), Nias (2005), Yogyakarta (2006), dan Padang (2009). Kalau di luar negeri, gunung apinya sudah meletus ribuan tahun lalu, di Indonesia, Gunung Tambora baru meletus pada 1815. Jangan lupa juga bahwa jumlah gunung berapi di Indonesia terbanyak di dunia, dengan 4 juta penduduk tinggal di daerah rawan bencana gunung api. Kalau penanganan dan persiapannya tidak bagus, bagaimana dong?

Peta rawan bencana di Indonesia bermanfaat banyak untuk antisipasi?

Biasanya peta rawan bencana menganut peta masa lalu. Makanya, begitu terjadi letusan Gunung Merapi pada 2010, peta rawan bencana tidak terpakai karena perhitungannya sudah lewat. Pemantauan yang terus-menerus membuat kita menyadari anomali. Nah, setelah 2010, kami bikin peta baru rawan bencana. Jadi jangan lihat Merapi seperti kamus masa lalu. Lihatlah Merapi yang tidak pakai topi, karena kini tak ditutup kubah. Erupsi selanjutnya dia akan berbuat apa, kita tidak tahu.

Gunung berapi mana lagi di Indonesia yang potensial letusannya seperti Sinabung belakangan tahun ini?

Kita pakai strategi orang yang tidak punya duit saja. Kalau di Jepang, klasifikasinya hanya gunung api aktif. Sedangkan di Indonesia ada tiga: tipe A yang aktif, paling tidak sekali meletus setelah tahun 1600 atau setelah Belanda datang dan mulai mencatat. Tipe A seperti di Garut dan Tangkuban Perahu dipantau intens karena punya pengalaman meletus. Apalagi penduduk di situ padat karena daerahnya subur.

Tipe B, yang letusannya tidak dikenali sejak 1600 tapi aktivitasnya dapat dikenali dengan adanya asam solfatara dan lainnya. Gunung Sinabung, Pusuk Bukit, dan Merbabu tergolong tipe B. Sedangkan tipe C adalah gunung yang letusannya tidak dikenali sejak 1600 tapi aktivitasnya dikenali lewat air panas dan lainnya.

Apakah nanti bakal ada letusan sehebat Tambora lagi di Indonesia?

Kalau tidak salah, letusan yang seperti itu terjadi sekali dalam seribu tahun. Tapi entah terjadi di mana di dunia ini. Indonesia punya gunung laut terbanyak di dunia, nah yang bisa saya jawab, ya kenapa tidak dipersiapkan saja sejak sekarang.

Tidak bisa diprediksi dari aktivitas gunung?

Bisa dari pergerakan kantong fluida magmanya. Kalau letusan seperti Tambora dalam waktu dekat tidak mungkin. Kantong fluida untuk letusan sebesar itu kan sudah ambruk sekarang. Padahal, untuk bikin letusan sebesar Tambora, butuh kantong fluida magma dan tubuh gunung yang besar untuk memungkinkan transfer magma yang meledak tak hanya pucuk, tapi juga badan. Tapi alam tidak bisa dibuat jadi rumus ilmu pengetahuan. Sebab, alam akan berubah sesuai dengan hukumnya sendiri, tidak bisa dihadapi dengan "biasanya, biasanya".

Gunung-gunung mana yang patut dicemaskan?

Gunung api besar. Seperti Semeru, tapi kantong fluida magmanya belum mencukupi. Kalau Merapi, itu butuh sekitar seratus tahun untuk meletus seperti 2010. Sedangkan Krakatau seperti anak muda yang harus energetik untuk membentuk tubuhnya. Sejak 1930, ketika pertama muncul, Krakatau meletus tiap tahun. Gunung kan membentuk tubuh dari letusannya. Seperti Gunung Slamet, yang badannya semok begitu. Tapi gunung api yang galak itu bentuknya justru enggak tinggi-tinggi amat, karena puncaknya kan rusak terus.

Kalau gunung api di Sumatera dan Sulawesi?

Kalau di Sumatera, gunungnya enggak begitu nakal dibanding gempanya. Sedangkan untuk Sulawesi, tiga dari empat gunung api siaga di Indonesia ada di Sulawesi Utara. Tiga adalah Lokon, Soputan, dan Karangetan. Sayangnya, di sana tidak ada peringatan soal itu. Walau Lokon sudah masuk status siaga, masih banyak orang mendakinya, dan itu tak ada yang mengontrol. Kami tahu keberadaan para pendaki itu dari alat yang terganggu karena orang-orang naik ke puncak.

Kenapa sampai belum ada peringatan dari pemerintah daerah setempat?

Mungkin peringatannya baru nanti kalau sudah ada korban. Kami sudah menyampaikan ke pemerintah daerah bahwa radius bahayanya sampai 6,5 kilometer. Pemdalah yang seharusnya bertanggung jawab.

Kok, sepertinya belum banyak pemda yang tanggap soal ini?

Dulu pemerintah di era Presiden Soeharto sangat ketat soal gunung. Dulu ada pulau tak layak huni, seperti Pulau Unauna di Teluk Tomini, Sulawesi Tengah. Fasum (fasilitas umum) langsung ditiadakan di sana. Kalau sekarang, aturan kalah oleh tekanan.

Kami mengamati, Anda dari tadi berbicara soal gunung seperti sedang menceritakan seorang kawan....

Belajar gunung berapi itu seperti mempelajari istri. Anda merasa tahu dia, tapi sebenarnya Anda tidak tahu apa-apa. Semakin Anda ingin mengetahui, semakin Anda tidak tahu. Kalau Anda bilang tahu segalanya, Anda sebenarnya tidak tahu apa-apa. Kalau dia sudah marah, ya, biarkan saja dulu. Kita mengalah sedikit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus