Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah pesan pendek masuk ke telepon seluler saya, Kamis pekan lalu, mengabarkan mantan hakim Benjamin Mangkoedilaga meninggal. Oh, saya terdiam sejenak mengenang orang yang saya kenal lebih dari 30 tahun itu. Dia lelaki sederhana. Ia bukan hanya seorang hakim, melainkan juga guru, aktivis sosial, dan konsultan hukum.
Sekitar pukul 22.00, saya melayat ke rumahnya yang tak begitu besar, tapi asri, di Jakarta Selatan. Di ruang tamu, terbaring almarhum dikelilingi keluarga dan kawan-kawannya. Semua merasa kehilangan sosok yang sederhana, jujur, dan berani ini. Orang tak melihat lelaki ini berharta berlebihan karena memang dia tidak memperdagangkan posisinya. Dari wajahnya, terpancar rasa syukur telah bisa mengabdi sebagai hakim dan berbagai posisi lain, seperti anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Dewan Pers. Dia juga pernah duduk di Komisi Kebenaran dan Persahabatan.
Saya mengenal Benjamin ketika dia menjadi Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dalam perkara pembredelan majalah Tempo. Dia bertindak sebagai ketua majelis hakim dan saya salah satu kuasa hukum majalah Tempo yang menggugat pencabutan surat izin usaha penerbitan pers oleh Menteri Penerangan Harmoko. Di tengah kuatnya kekuasaan Soeharto saat itu, kepercayaan terhadap independensi dan imparsialitas pengadilan tipis sekali. Pengadilan sering dijadikan sebagai forum pro forma, yang mengadili tapi sesungguhnya tak mengadili. Sebab, hukuman sudah ada di saku majelis hakim. Proses peradilan akhirnya dilihat sebagai public relations exercise kepada dunia luar bahwa ada supremasi hukum di Indonesia.
Saya masih ingat, pemerintah waktu itu mengatakan Tempo sudah diberi peringatan berkali-kali, tapi tak pernah ada perbaikan. Tempo dituduh terus membuat berita tendensius, insinuatif, dan tak melakukan check and recheck. Pemberitaan Tempo mengenai pembelian kapal bekas Jerman yang sarat bau komisi dianggap berita bohong dan sengaja mendiskreditkan pemerintah. Konon Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie, yang mengotaki pembelian kapal bekas tersebut, marah besar, dan itu menjadi pintu mengumpulkan dosa majalah Tempo dalam pemberitaan lainnya.
Dalam hati, saya berpikir bahwa Tempo akan kalah. Tapi saya salah. Putusan PTUN Jakarta ternyata memenangkan Tempo. Selama persidangan, saya terkesan oleh langgam kepemimpinan hakim Benjamin. Dia memberikan kebebasan kepada kedua pihak. Saya juga menangkap simpati Benjamin kepada pers. Dia percaya kebebasan pers itu penting. Dalam negara otoriter, kebebasan pers akan bisa mengerem terjadinya abuse of power. Saya tak tahu apakah konsep malicious intent dan reckless disregard dimengerti olehnya. Tapi, ketika putusan dibacakan, saya paham bahwa hakim Benjamin menerapkan konsep kebebasan pers yang tak boleh dihukum kalau pemberitaannya tak didasarkan pada malicious intent dan reckless disregard.
Atas putusan itu, saya terharu. Hakim Benjamin seperti memberikan nyala api di ujung terowongan. Rupanya, masih ada sosok yang memeriksa perkara dengan hati bersih, jujur, obyektif, dan visioner. Putusan Benjamin itu merupakan awal bangkitnya sejarah perjuangan kebebasan pers di Indonesia. Lelaki yang tak banyak bicara ini telah memberikan sumbangsih tak ternilai kepada kebebasan pers. Menariknya, hal itu dilakukan dalam sistem yang sangat otoriter. Pers Indonesia berutang kepada Benjamin.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara menguatkan putusan PTUN Jakarta. Tapi, di tingkat Mahkamah Agung, Tempo dikalahkan. Semua pertimbangan hukum Benjamin dijungkirbalikkan. Saya melihat tangan-tangan kekuasaan menjalar ke lembar-lembar putusan. Tempo dikalahkan, tapi bukan kalah. Maka semangat perlawanan tidak bisa dikalahkan. Ikhtiar menegakkan demokrasi menguat.
Suatu hari, saya bertanya mengapa dia memenangkan majalah Tempo. Benjamin mengatakan bahwa ia percaya kebebasan pers adalah pilar utama negara hukum. Tanpa kebebasan pers, tak pernah ada negara hukum. Dia menyatakan mengalami tekanan hebat dari kekuasaan, tapi hati nuraninya melawan. Dia memenangkan majalah Tempo seraya siap menerima risiko apa pun. Benjamin memang dipindahkan dari PTUN Jakarta setelah itu. Namun dia tak melihat itu sebagai hukuman. Ia justru lega dan tak merasa ada beban.
Sekarang hakim sederhana itu telah pergi menghadap Yang Kuasa. Saya percaya bahwa dia sangat lega telah meninggalkan warisan kepada pers dan kebebasan pers. Terima kasih, Bung. Selamat jalan.
Todung Mulya Lubis, Pengacara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo