Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Bagaimana Cara Stella Christie Memperbaiki Ekosistem Riset

Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Stella Christie soal caranya memperbaiki ekosistem riset. Bagaimana?

19 Januari 2025 | 12.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Stella Christie saat berkunjung ke kantor Tempo, di Jakarta, 8 Januari 2025. TEMPO/Fardi Bestari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Stella Christie mendapat tugas membenahi ekosistem riset dan membangun budaya ilmiah.

  • Menurut Stella Christie, dosen seharusnya tidak sibuk dengan urusan administratif.

  • Wakil Menteri Pendidikan Tinggi ini mendorong banyak anak Indonesia mendapat beasiswa di luar negeri.

KESIBUKAN pertama Stella Christie setelah dilantik menjadi Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi oleh Presiden Prabowo Subianto pada akhir Oktober 2024 adalah berkeliling ke semua direktorat jenderal di kantornya. Guru besar dari Tsinghua University, Beijing, Cina, ini merasa perlu bertemu dengan para pejabat di kementeriannya untuk berbelanja masalah mengenai perguruan tinggi dan ekosistem riset di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Stella mendapat tugas lumayan berat dari presiden: membenahi ekosistem riset dan membangun budaya ilmiah di Tanah Air. “Saya ingin tahu kondisi riset di sini seperti apa,” ujarnya saat berkunjung ke kantor Tempo, Rabu, 8 Januari 2025. Menurut dia, hal yang perlu dilakukan untuk membenahi ekosistem riset di Indonesia adalah menggenjot kualitas publikasi ilmiah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Publikasi hasil riset atau karya ilmiah, kata dia, merupakan salah satu cara untuk mengkomunikasikan berbagai temuan dan hasil penelitian yang bisa jadi memunculkan berbagai inovasi. "Tugas kami di kementerian ini adalah menjadi jembatan antara para problem solver (peneliti) dan problem owner (pelaku industri atau praktisi)." Karena itu, ia berharap banyak akademikus atau ilmuwan Indonesia yang mempublikasikan karya-karyanya. "Siapa tahu, dari hasil penelitian itu, kita menemukan solusi atas berbagai persoalan yang kita hadapi."

Namun alangkah terkejutnya Stella saat anak buahnya menginformasikan bahwa, di Indonesia, saat ini tercatat ada setidaknya 22 ribu jurnal ilmiah. “Ini jumlah yang banyak sekali.” Sepengetahuan Stella, di Amerika Serikat dan Cina saja, yang ekosistem risetnya sudah sangat maju, jumlah jurnal ilmiah tempat para peneliti mempublikasikan karyanya hanya 4.000-5000 jurnal.

Nah, rupanya, kata Stella, dari 22 ribu jurnal ilmiah yang ada di Indonesia, cuma 11 di antaranya yang masuk indeks Q1 di Scopus. Hal ini menunjukkan bahwa hanya segelintir jurnal ilmiah di Indonesia yang bereputasi. Indeks Scopus memang penting bagi kalangan akademikus. Indeks ini merupakan salah satu sumber bibliografi bagi peneliti di berbagai bidang ilmu. Jurnal-jurnal yang terindeks Scopus dianggap memiliki kualitas tinggi dan reputasi internasional karena berbagai karya ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal tersebut telah melalui proses peer review.

Jumlah jurnal ilmiah yang begitu banyak itu nyatanya tak berbanding lurus dengan kualitas penelitian di Indonesia. Hal ini, menurut Stella, disebabkan ekosistem riset dan sistem pendidikan tinggi yang malah mendorong orang-orang untuk berbuat curang. Salah satunya adalah tuntutan bagi para dosen untuk mempublikasikan karya ilmiah mereka dalam jumlah banyak. Syarat kuantitas inilah yang juga menjadi salah satu unsur penilaian untuk kenaikan jabatan dosen menjadi guru besar. Tak mengherankan jika banyak dosen yang memanfaatkan jurnal predator untuk memenuhi syarat itu—seperti investigasi Tempo pada 2024.

Akibat adanya tuntutan tinggi itu, para akademikus pun berlomba-lomba menerbitkan karya ilmiah tanpa mempedulikan kualitas hasil riset mereka. Hal ini diperparah dengan penggunaan jurnal predator atau jurnal abal-abal untuk memenuhi indikator penilaian kinerja mereka. “Padahal, sebagai ilmuwan, saya tahu betul melakukan riset dan membuat publikasi itu susah. Bisa setahun sekali saja sudah hebat.”

Untuk mengurai aneka persoalan itu, Stella mengatakan, saat ini ia dan anak buahnya di Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi sedang mengkaji berbagai indikator penilaian dosen. Menurut dia, perbaikan sistem penilaian kinerja dosen ini pada akhirnya juga akan berujung pada peningkatan kualitas kampus. “Dosen seharusnya tidak disibukkan dengan urusan administratif dan malah melupakan kualitas pengajaran dan penelitian mereka.”

Penelitian dan riset memang jadi makanan sehari-hari Stella selama menjadi akademikus. Perempuan kelahiran Medan, 11 Januari, 46 tahun lalu, ini punya perjalanan akademik dan karier cukup mentereng di dunia akademik. Semasa duduk di bangku sekolah menengah atas di SMA Santa Ursula Jakarta, Stella pernah mendapat beasiswa dari pemerintah Singapura dan United World College yang membawanya melanjutkan studi di Red Cross Nordic United World College, Norwegia.

Pada 1999, ia mendapat beasiswa penuh dari Harvard University, Amerika Serikat, dan lulus dengan predikat magna cum laude pada 2004. Stella memperoleh gelar doktor dari Northwestern University pada 2010, yang dilanjutkan dengan studi postdoctoral di University of British Columbia, Kanada, sampai 2012.

Kariernya di kampus dimulai dengan menjadi asisten profesor di Swarthmore College, Amerika Serikat. Pada 2018, ia menjalani proses menjadi profesor tetap di kampus yang sama. Namun Stella mendapat tawaran dari sejumlah universitas, sampai akhirnya ia pindah ke Tsinghua University, Cina. Pada 2022, ia diangkat menjadi guru besar tetap bidang ilmu kognitif di kampus tersebut.

Puluhan tahun hidup di lingkungan akademik di kampus, Stella mengaku mengalami gegar budaya setelah ia masuk birokrasi dengan menjadi wakil menteri. “Justru buat saya, hidup itu harus selalu menarik, dan masuk ke pemerintahan membuat hidup saya menarik,” ujar Stella seraya tertawa. Ia menganggap latar belakangnya sebagai ilmuwan akan bermanfaat bagi pekerjaannya sekarang. “Ilmuwan itu kerjanya juga seperti wartawan, menginvestigasi. Dan bagi saya, birokrasi ini bidang yang menarik untuk diinvestigasi, untuk mencari sumber masalah dan mengurai aneka persoalan untuk mencari solusinya.”

Stella tampaknya juga masih terbiasa menjalani keseharian seperti semasa ia bekerja di kampus. Saat berkunjung ke kantor Tempo, misalnya, ia datang tanpa pengawalan dan protokoler ketat layaknya pejabat pemerintahan kebanyakan. Sore itu, ibu seorang anak laki-laki ini hanya ditemani dua stafnya.

Penampilannya juga mencolok. Memakai batik hijau beraksen merah, ia menggendong sendiri ransel kerjanya yang berwarna hitam. “Prof Stella memang biasa membawa tasnya sendiri, tidak pernah mau dibawakan,” kata Yanti Manurung, salah satu staf yang mendampingi. Selain alat kerja seperti komputer jinjing, buku catatan, dan perlengkapan pribadi, di tas itu, menurut Yanti, Stella kerap membawa perlengkapan pertolongan pertama. “Sudah jadi kebiasaan.” Berikut petikan perbincangan wawancaranya.

Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Stella Christie saat berkunjung ke kantor Tempo, di Jakarta, 8 Januari 2025. TEMPO/Fardi Bestari

Anda mendapat tugas cukup banyak sebagai Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Bagaimana pembagian tugas dengan Menteri Satryo Soemantri Brodjonegoro?

Saya diminta Pak Prabowo langsung untuk membantu dalam bidang sains dan teknologi. Jadi, segala sesuatu yang berhubungan dengan hal itu saya yang tangani. Misi kami di Kementerian adalah meningkatkan riset di daerah untuk membangun ekonomi daerah, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan sebagainya.

Dengan latar belakang keilmuan Anda, apa yang bisa diimplementasikan di pekerjaan baru ini?

Yang paling berguna bagi saya adalah pengalaman soal manajemen. Sebagai ilmuwan, kan pekerjaan saya tak hanya sibuk di laboratorium, tapi juga harus mengatur banyak hal, termasuk membuat perhitungan ekonomi sebuah riset dan melakukan pemetaan masalah. Pengalaman ini berguna untuk menghadapi berbagai persoalan di kementerian.

Apa tantangan bekerja di Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi?

Kami harus bisa melihat masalah dari sudut pandang yang sangat luas, tapi juga memperhatikan detail. Sebagai ilmuwan, kan saya terbiasa membuat pertanyaan, merancang hipotesis, dan menguji hipotesis itu. Proses ini sama saja dengan pekerjaan di birokrasi. Untuk menyelesaikan suatu persoalan, saya harus membuat hipotesis, tapi saya harus menguji dulu apakah hipotesis itu benar.

Lalu apa yang membedakan bekerja sebagai ilmuwan dengan bekerja sebagai wakil menteri?

Bedanya, kami tidak bisa bebas melakukan eksperimen karena waktunya terbatas. Yang bisa kami lakukan adalah melihat contoh dari tempat lain sebelum membuat kebijakan. Itulah yang disebut evidence based policy. Pasti ada riset mengenai topik yang terkait dengan kebijakan tertentu. Inilah yang harus kami cari dan lihat. Saya cukup beruntung karena para direktur jenderal di Kementerian semuanya berasal dari perguruan tinggi. Jadi nyambung.

Anda sempat dikritik karena gencar mempromosikan kuliah di luar negeri, alih-alih mendorong peningkatan kualitas perguruan tinggi lokal. Apa penjelasan Anda?

Saya bukan mempromosikan kuliah di luar negeri, melainkan mempromosikan program Beasiswa Indonesia Maju (BIM), meski berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Namun kami saling mendukung. Program BIM ini sudah berjalan empat tahun dan harus kami optimalkan.

Apa yang perlu dioptimalkan dari program ini?

Kami mendorong agar makin banyak anak Indonesia yang diterima di perguruan tinggi paling top dunia. Sewaktu saya berkuliah di Harvard, banyak sekali mahasiswa yang berasal dari negara lain, tapi dari Indonesia sangat sedikit. Kami ingin mendorong agar pemberian beasiswa bagi anak Indonesia itu diperbanyak.

Jadi, bukan karena Anda lulusan luar negeri, ya?

Sebaliknya, saya mempromosikan Indonesia supaya lebih banyak beasiswa bagi anak-anak kita.

Stella Christie

Tempat dan tanggal lahir

  • Medan, Sumatera Utara, 11 Januari 1979

Pendidikan

  • SMA Internasional Baccalaureate (IB, setingkat SMA), Norwegia
  • S-1 BA Harvard University (1999-2004)
  • S-2 dan S-3 Universitas Northwestern, Amerika Serikat (lulus 2010)

Karier

  • Peneliti Pascadoktoral The University of British Columbia, Kanada (2010-2012)
  • Profesor di Universitas Swarthmore, Pennsylvania, Amerika Serikat (2012-2018)
  • Profesor di Tsinghua University, Cina (2018-sekarang)
  • Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (2024-sekarang)

Laporan Harta Kekayaan

  • Belum tersedia

Apa saran Anda bagi anak-anak Indonesia yang ingin berkuliah di luar negeri?

Bukan hanya untuk yang mau berkuliah di luar negeri, yang terpenting adalah kita harus tahu bahwa masa kuliah adalah masa yang sangat istimewa. Di masa inilah kita bisa mencari dan menemukan hal-hal yang sungguh kita sukai. Kita bisa memfokuskan semua hal untuk diri kita sendiri karena mungkin belum banyak tuntutan dan beban. Carilah apa yang sesungguhnya kita suka, apa yang membuat kita rela mengerjakan hal tersebut sampai berlama-lama.

Bisa dibilang, masa kuliah adalah masa bereksperimen?

Iya, karena konsekuensinya masih bisa kita tanggung sendiri. Kalau mau coba-coba, yang rugi diri kita sendiri. Tapi kita harus bijak dan pintar melakukan eksperimen, menyeimbangkan antara eksplorasi dan eksploitasi agar punya pengetahuan dan pengalaman baru.

Omong-omong, sewaktu berkuliah, Anda termasuk mahasiswa yang senang jalan-jalan atau kutu buku?

Saya sangat suka membaca buku, tapi tidak kutu buku.

Lalu apa?

Ha-ha-ha. Kalau kutu buku itu identik dengan sering diam di perpustakaan. Saya di perpustakaan kalau sedang ada tugas saja. Meski mendapat beasiswa, saya harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bersenang-senang.

Apa saja pekerjaan Anda waktu itu?

Macam-macam. Saya jadi pembersih toilet dan bekerja di perpustakaan. Paling enak bekerja di perpustakaan, tapi pesaingnya banyak, ha-ha-ha. Baru di tahun keempat saya dapat pekerjaan di perpustakaan. Sebelumnya jadi pembersih toilet terus, ha-ha-ha.

Apa yang Anda lakukan untuk bersenang-senang?

Saya sangat sering traveling. Jadi, semua uangnya itu, kalau saya dapat dari kerja, untuk traveling

Sebagai seorang ilmuwan, apakah Anda mempunyai laku disiplin tertentu? Bangun pagi dan membaca buku, misalnya?

Saya bukan seorang morning person, ha-ha-ha. Namun, setelah menjadi ibu dan sekarang menjadi wakil menteri, mau tak mau harus bangun pagi. Saya tidak punya kebiasaan tertentu. Tapi mungkin kecenderungan saya adalah selalu melakukan perbandingan sebelum membuat keputusan. Mencari berbagai alternatif ketika harus memecahkan masalah.

Sebagai seorang ilmuwan, bagaimana cara Anda menyiapkan pendidikan anak Anda?

Tanggung jawab saya untuk memberikan persiapan supaya anak saya nanti bisa punya dan membuat pilihan. Persiapan itu kami lakukan sejak dini, misalnya dengan mengajarkan kemampuan berbahasa. Saya tidak menargetkan nanti anak saya kuliah di mana karena dunia akan terus berubah.

Sudah mengajarkan bahasa apa saja kepada anak Anda?

Saya dan suami mengutamakan agar dia bisa berbahasa ibu, bahasa Indonesia. Sampai saat ini anak saya sudah bisa empat bahasa: Indonesia, Inggris, Polandia, dan Spanyol.

Anda menguasai berapa bahasa?

Lima: bahasa Indonesia, Inggris, Polandia, Mandarin, dan Spanyol.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Yosea Arga Pramudita

Yosea Arga Pramudita

Lulus dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah pada 2017. Bergabung dengan Tempo pada Februari 2023 di desk gaya hidup. Kini menulis untuk desk wawancara dan investigasi. Chapbook puisinya berjudul yang papa dalam 35mm diterbitkan Penerbit Ramu pada Oktober 2023.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus