Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Berita Tempo Plus

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu: Jurnalis Tak Boleh Memikirkan Perutnya

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menjelaskan polemik Hari Pers Nasional dan kebebasan media di bawah pemerintahan Prabowo.

23 Februari 2025 | 08.30 WIB

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu seusai wawancara dengan Tempo di Gedung Dewan Pers, Jakarta, 14 Februari 2025. Tempo/Ilham Balindra
Perbesar
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu seusai wawancara dengan Tempo di Gedung Dewan Pers, Jakarta, 14 Februari 2025. Tempo/Ilham Balindra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Ninik Rahayu menyebutkan tugas pers untuk mengawasi demokrasi tak boleh hilang.

  • Ia mendorong ruang redaksi independen dengan memisahkan antara agenda pemberitaan dan kepentingan bisnis.

  • Ninik mengakui kekerasan terhadap jurnalis masih marak, khususnya di daerah.

POLEMIK peringatan Hari Pers Nasional mengemuka kembali tahun ini. Nama dan perayaan bagi awak pers yang digelar setiap 9 Februari itu dipertanyakan organisasi jurnalis di Indonesia. Tanggal perayaan hari pers selama ini mengikuti waktu terbentuknya Persatuan Wartawan Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sebelumnya menggelar diskusi mengenai perumusan hari pers pada Senin, 10 Februari 2025, di Jakarta. Dalam forum itu, AJI mendorong pemilihan tanggal perayaan hari pers lebih inklusif dan tak menjadi monopoli satu organisasi wartawan. Misalnya, peringatan setiap 23 September yang bertepatan dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Nama perayaannya pun diubah menjadi Hari Kemerdekaan Pers Nasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu terbuka terhadap ide perumusan kembali peringatan hari pers. Dewan Pers dan sebelas konstituennya pernah membahas rencana mengubah tanggal dan penamaan hari pers. Menurut Ninik, peringatan Hari Pers Nasional setiap 9 Februari didasarkan pada surat keputusan presiden. “Kemerdekaan pers tak boleh dihambat oleh surat keputusan itu,” ujarnya.

Opsi yang muncul antara lain mengambil waktu pengesahan Undang-Undang Pers sebagaimana yang didiskusikan AJI. Ada pula yang mengusulkan hari lahir surat kabar berbahasa Melayu, Medan Prijaji, yang dikelola Tirto Adhi Soerjo pada 1 Januari 1907 sebagai tonggak lahirnya pers Indonesia. Ide lain, disamakan dengan selebrasi Hari Kebebasan Pers Sedunia setiap 3 Mei. “Mana yang paling tepat, silakan disepakati,” kata Ninik.

Ninik, 61 tahun, akan mengakhiri masa kepemimpinannya tiga bulan lagi atau pada Mei 2025. Ia tak mencalonkan diri lagi kendati baru satu periode memimpin Dewan Pers. Kepada wartawan Tempo, Sunudyantoro, yang mewawancarainya, Ninik bercerita sudah punya rencana mengembangkan pers kampus setelah masa kerjanya di Dewan Pers rampung.

Perempuan yang lahir di Lamongan, Jawa Timur, itu menyebutkan mahasiswa merupakan bibit jurnalis yang mesti ditempa. Mereka selama ini belum dilatih secara sistematis. “Karena itu, saya tetap membutuhkan Dewan Pers sebagai mitra kerja sama,” tuturnya.

Selama lebih dari satu jam, Ninik menerima wawancara khusus Tempo di gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Ia mengulas situasi kebebasan pers dan kesejahteraan para wartawan lembaga penyiaran publik yang dipecat karena pemangkasan anggaran yang diterapkan pemerintahan Prabowo Subianto.

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu di kantor Tempo, Palmerah, Jakarta, 6 Maret 2024. Dok. Tempo/Febri Angga Palguna


Polemik Hari Pers Nasional muncul lagi tahun ini. Apa jalan keluar dari Dewan Pers?

Saya sudah memikirkan format Hari Pers Nasional yang merepresentasikan kebutuhan pers nasional. Ini sudah dirintis pada periode sebelumnya, termasuk semua konstituen, bahkan di luar sebelas konstituen.

Apa pentingnya Hari Pers Nasional?

Saya melihat ini merupakan aktivitas strategis. Sebuah perayaan. Ini harus bisa dirasakan semua sehingga perlu digagas, dibuat, dan dinikmati bersama.

Organisasi jurnalis mempersoalkan tanggal yang merujuk pada hari jadi Persatuan Wartawan Indonesia?

Surat keputusan presiden tentang Hari Pers Nasional itu tidak menunjuk nama organisasi wartawan. Boleh juga kalau ada yang mengusulkan hari pengesahan Undang-Undang Pers sebagai peringatan hari pers di Indonesia. Kita sebelumnya dipimpin rezim yang otoritarian dan kelahiran organisasi itu bisa saja dipakai sebagai tonggak peringatan. Kemerdekaan pers tak boleh dihambat oleh surat keputusan itu.

Ide lain adalah mengambil hari terbitnya surat kabar Medan Prijaji. Anda setuju?

Silakan saja. Ada juga yang mengusulkan sekalian bersamaan dengan Hari Kebebasan Pers Sedunia pada 3 Mei. Itu semua masukan. Mana yang paling tepat, silakan disepakati. Kalau mereka semua dewasa, bisa diputuskan. Situasinya akan repot kalau masih seperti kelas taman kanak-kanak, berebut dan tidak pakai akal.

Tugas pers sebagai kontrol pemerintah pada era Prabowo makin relevan ketika berbagai keputusan diambil serampangan. Bagaimana menurut Anda?

Pers adalah anak sulung Reformasi 1998. Setelah peristiwa Mei 1998, kita mereformasi tata kelola pemerintahan. Dewan Perwakilan Rakyat, akademikus, dan masyarakat sipil membuat tata kelola pemerintahan yang baik setelah lahir Undang-Undang Pers. Karena itu, pers merupakan entitas penting untuk mengawasi tegaknya demokrasi.

Apakah peran itu telah sepenuhnya dijalankan oleh media?

Pers menjadi jembatan bagi publik untuk menyalurkan suara mereka. Ia bukan saluran bagi keinginan dan kepentingan lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, bahkan segelintir elite saja. Pers mesti independen serta tak menjadi corong pemerintah dan DPR.

Pada praktiknya, masih banyak ruang redaksi yang tak independen karena faktor bisnis dan afiliasi politik….

Reformasi 1998 mampu mendudukkan fungsi pers sebagai entitas independen. Pers hanya berpihak kepada kebenaran, hal-hal yang sifatnya faktual, dan berorientasi kepada kebutuhan publik. Pers memberdayakan intelektual publik dan memberi daya kontrol sosial kalau masyarakat bungkam.

Bagaimana menjalankan peran ideal itu ketika redaksi masih berkutat pada bisnis medianya?

Pak Joko Widodo pernah mengatakan pers sedang tak baik-baik saja dalam konteks bisnis. Saya yakin pers akan tetap hidup karena merupakan panggilan nurani untuk melayani publik. Sama halnya dalam konteks bisnis, media tak boleh mati. Jurnalis tak boleh lagi memikirkan perutnya agar ruang redaksi tetap independen.

Banyak kasus jurnalis merangkap pencari iklan demi membiayai perusahaan persnya….

Itulah perlunya profesionalisme jurnalis. Di satu sisi, kita menuntut pemerintah. Tapi, kalau jurnalis tidak profesional dan meminta serpihan, jadi repot juga. Dewan Pers menjaga supaya garis api antara kerja bisnis dan pemberitaan tidak tercampur. Banyak temuan bahwa wartawan tak cuma menjadi pencari berita, tapi juga pencari iklan. Itu yang membuat kami sedih. Dewan Pers harus memikirkan uji kompetensi. Negara harus ikut memikirkan. Saya mengusulkan ada dana pundi untuk menjamin kesejahteraan jurnalis.

Lantas siapa yang memikirkan kesejahteraan jurnalis?

Negara. Selama ini Undang-Undang Pers menyebutkan perusahaan pers bertanggung jawab memberikan kesejahteraan bagi jurnalis. Ini tak sinkron dengan tujuan pers yang membantu masyarakat. Pers tak akan hidup jika hanya bertumpu pada iklan dan diversifikasi bisnis. Bisa jadi ada konflik kepentingan di sana. Negara mesti memikirkan ini.

Siapa negara yang Anda maksudkan?

Konstitusi menyatakan tanggung jawab tata kelola negara ini diberikan kepada pemerintah. Apakah ada upaya pemerintah memikirkan jurnalis yang diputus hubungan kerjanya? Apakah pemerintah memikirkan jurnalis yang tak mendapat perlindungan dari perusahaannya? Apa yang dilakukan pemerintah kepada mereka yang tidak digaji atau digaji di bawah upah minimum?

Ninik Rahayu

Tempat dan tanggal lahir:

  • Lamongan, Jawa Timur, 23 September 1963

Pendidikan:               

  • Sarjana ilmu hukum Universitas Jember, Jawa Timur
  • Magister ilmu hukum Universitas Airlangga, Surabaya
  • Doktor ilmu hukum Universitas Jember

Jabatan publik:

  • Ketua Dewan Pers (2022-2025)
  • Anggota Ombudsman Republik Indonesia (2016-2021)
  • Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (2006-2014)

Apakah layak berharap kepada pemerintah ketika lembaga penyiaran publik Televisi Republik Indonesia dan Radio Republik Indonesia sebelumnya merumahkan pegawainya karena pemangkasan anggaran?

Kalau terkait langsung dengan layanan publik, jangan dipangkas anggarannya. Ada kebutuhan supaya pers profesional serta jurnalis dilatih dan diuji. Itu layanan publik bagi jurnalis. Jangan dipangkas, itu prioritas.

Apa respons Anda ketika TVRI dan RRI kembali meminta mereka bekerja?

Jangan ada pemutusan hubungan kerja (PHK) yang serta-merta begitu. Institusi mesti memperhatikan kontrak, status hukum, dan sebagainya. Jika diperlukan, mereka bisa memoratorium penerimaan pegawai baru dan mengoptimalkan pegawai yang ada.

Umumnya bisnis media juga kesulitan karena sejumlah perusahaan mesti memecat pegawainya….

Ada sekitar 8.000 pekerja media yang terkena PHK pada 2023. Mereka ingin ada transparansi. Mereka bukannya tak paham situasi media, tapi merasa tidak diajak ngobrol. Tiba-tiba saja dipotong gajinya atau dipecat tanpa komunikasi. Perusahaan tak boleh semaunya menempatkan orang dan mencari-cari kesalahannya.

Mereka yang berjuang lewat serikat pekerja pun diberangus. Apa sikap Anda?

Tak boleh ada union busting. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyebutkan hal itu merupakan penghalang-halangan. Mereka mesti diadvokasi.

Di mana peran Dewan Pers?

Kami berbasis pada aduan dan belum menjadi kewajiban. Saya terus mendorong masalah ini dibereskan karena menjadi indikator penilaian kemerdekaan pers. Kami selalu menanyakan situasi pekerja media ketika mendata media.

Keberpihakan Prabowo kepada pers diragukan. Anda masih menyimpan optimisme?

Saya membaca sambutannya pada Hari Pers Nasional dan melihatnya baik. Itu saja dulu yang kita tagih. Beliau menyebutkan pers punya peran penting dalam tata kelola pemerintah.

Apa yang bisa kita tagih dari pemerintahan Prabowo?

Seberapa besar amunisi yang beliau berikan untuk kebebasan pers. Seberapa besar atensi yang diberikan untuk pers yang independen. Mari kita lihat bersama-sama. Ada pendirian Kantor Komunikasi Presiden. Jika fungsinya sebagai kantor hubungan masyarakat, lembaga ini jangan menjadi penghalang jurnalis untuk menginvestigasi.

Grafik Indeks Kemerdekaan Pers

Kami punya pengalaman ketika Kantor Komunikasi Presiden sama sekali tak melayani permintaan wawancara soal kinerja Prabowo. Padahal kami membuka ruang yang lebar untuk penjelasan mereka....

Saya prihatin kalau kebutuhan informasi dari Istana itu hanya direpresentasikan pada satu titik serta tak memberikan ruang bagi jurnalis untuk menggali dan mewawancara. Kita tahu presiden pasti sibuk sekali. Namun kebutuhan informasi itu mesti disalurkan kepada kementerian terkait, meski tak langsung dari presiden.

Ada kecenderungan komunikasi yang terpusat seperti peran Departemen Penerangan pada Orde Baru?

Kalau komunikasi melalui satu pintu, kita akan kembali ke era sebelum peristiwa Reformasi 1998. Komunikasi yang tak transparan akan menutup transparansi publik. Perlawanan makin besar jika lubang komunikasi yang dibuka makin kecil.

Bagaimana kelanjutan manuver untuk merevisi Undang-Undang Penyiaran yang melarang jurnalisme investigasi?

Mereka seharusnya memahami Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Ada unsur pemberitaan di sana. Jika ada konflik pemberitaan di televisi, penyelesaian etiknya mesti di Dewan Pers.

Mengapa ke Dewan Pers?

Dalam konteks penyiaran, pemberitaan tidak hanya mencari, mengolah, dan memproduksi. Mendistribusikan siaran menjadi urusan Dewan Pers. Sesuai dengan Undang-Undang Pers, kami punya kepentingan dalam distribusi berita. Salah satunya melalui saluran televisi. Kami tak dilibatkan dalam perancangan revisi Undang-Undang Penyiaran. Pada masa pemerintahan Pak Jokowi sudah ada pembahasan dan dalam drafnya tak disebutkan bahwa ada peran Dewan Pers di situ.

Peran Dewan Pers akan dipangkas?

Ini tidak hanya terjadi pada periode Presiden Prabowo. Ini sejak era Pak Jokowi. Mereka berargumentasi bahwa revisi Undang-Undang Penyiaran sudah lama dan tidak berlangsung sekarang saja. Kami tidak takut pada revisi, tapi kita mesti mengkajinya secara komprehensif.

Mengapa indeks kebebasan pers turun?

Saya juga khawatir. Orang jadi menilai, ketika saya memimpin Dewan Pers, indeks kebebasan pers turun terus, he-he-he.... Saya menduga ini terjadi karena masih ada efek pandemi Covid-19, ketika situasi ekonomi dan politik belum pulih sepenuhnya. Serangkaian pemilihan kepala daerah serentak ikut berpengaruh ketika kekerasan terhadap jurnalis di daerah masih terjadi. Tata kelola pemerintahan juga tak terbuka kepada pers. Ini menjadi keluhan yang membuat indeks kebebasan pers menurun.

Mengapa angka kekerasan terhadap jurnalis masih tinggi?

Kami memang ada kekurangan dalam mekanisme penerimaan aduan dan penyelesaian di Dewan Pers perihal kekerasan terhadap jurnalis. Meski sudah membentuk gugus tugas yang menangani kekerasan terhadap jurnalis pada 2015, kami belum mampu meningkatkannya menjadi role model yang komprehensif.

Bagaimana konsep perlindungan terhadap jurnalis yang Anda inginkan?

Di mana peran polisi, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dan Komisi Nasional Perlindungan Anak? Perlindungan terhadap jurnalis mesti menjadi mekanisme kolaboratif. Jika ada kekerasan terhadap jurnalis, kami meminta korban segera terlindungi dan kasusnya diinvestigasi. Mekanisme perlindungan langsung mesti ada bagi korban.

Bagaimana dengan kasus kekerasan berbasis digital?

Kekerasan digital lebih parah lagi. Kepolisian sudah punya sistem. Kasus kekerasan digital yang dilaporkan pada 2021 belum terungkap sampai sekarang. Perlindungan terhadap jurnalis yang menjadi korban juga belum ada dan baru dilayani perusahaan pers. Negara mesti bertanggung jawab dengan memberikan perlindungan kepada korban.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Sunu Dyantoro

Sunu Dyantoro

Memulai karier di Tempo sebagai koresponden Surabaya. Alumnus hubungan internasional Universitas Gadjah Mada ini menjadi penanggung jawab rubrik Wawancara dan Investigasi. Ia pernah meraih Anugerah Adiwarta 2011 dan 2102.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus