Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Subsidi untuk Rakyat Miskin

7 Juli 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEANDAINYA ada kompetisi mencari menteri dengan gebrakan tercepat dan paling berdampak pada masyarakat, mungkin Chatib Basri bakal menjadi juaranya. Baru sebulan bekerja sebagai Menteri Keuangan—setelah Mei lalu dilantik menggantikan Agus Martowardojo—dia sudah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Harga Premium naik dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 per liter, sementara harga solar dari Rp 4.500 menjadi Rp 5.500 per liter.

Memang, kenaikan harga BBM merupakan kebijakan pemerintah yang diparaf Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi, sebulan terakhir, Chatib sendiri yang berjuang di Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengegolkan rencana tersebut lewat pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2013. Dalam perubahan anggaran tersebut, parlemen menyetujui bantuan langsung sementara masyarakat sebesar Rp 9,32 triliun sebagai kompensasi kenaikan harga BBM.

Kebijakan kenaikan harga BBM sebenarnya bukan barang baru bagi Chatib, seperti halnya dia bukan orang baru di lingkungan kabinet perekonomian. Sepuluh tahun lalu, dia berada di belakang Boediono—saat itu Menteri Keuangan, era Presiden Megawati—ketika pemerintah menaikkan harga Premium dari Rp 1.500 menjadi Rp 1.810 per liter. Selama bertahun-tahun kemudian Chatib terus berada di Lapangan Banteng—sebutan kantor Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian Keuangan—sebagai penasihat Boediono dan anggota staf ahli Sri Mulyani Indrawati. Selama itu, Presiden Yudhoyono tercatat tujuh kali menaikkan dan menurunkan harga BBM.

Itulah sebabnya Chatib mengaku dengan sepenuh hati merealisasi kebijakan tersebut. Baginya, selain membebani anggaran, subsidi BBM mencederai keadilan dan bisa mengganggu kelangsungan energi masa depan. "Selama ini, struktur subsidi sama sekali tidak adil. Banyak orang kaya bermobil menikmatinya," katanya.

Meski begitu, Chatib paham masa tugasnya yang cuma setahun tidak hanya untuk mengurus subsidi BBM. Berbagai persoalan di Kementerian Keuangan menunggu untuk dibenahi, dari penerimaan perpajakan yang terus tak mencapai target, pencairan anggaran kementerian dan lembaga yang selalu telat, hingga reformasi birokrasi yang dianggap banyak orang gagal. Belum lagi untuk sementara waktu dia juga tetap menukangi jabatan lamanya sebagai Pelaksana Tugas Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. "Setelah kenaikan harga BBM, saya ingin memperbaiki bea dan cukai di Tanjung Priok, menyederhanakan prosedur anggaran dan pajak," ujarnya. "Harus ada prioritas. Waktunya tidak cukup."

Di tengah kesibukannya, Kamis dua pekan lalu, Chatib menerima wartawan Tempo Agoeng Wijaya, Tomi Aryanto, Taufiqurohman, dan Angga Sukma Wijaya serta fotografer Dwianto Wibowo di kantornya, di lantai 3 Gedung Juanda, Kompleks Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat. Siang itu, dia baru saja kembali ke kantor setelah sejak pagi mengikuti rapat di kantor Wakil Presiden Boediono. Wawancara pun harus berakhir karena Presiden Yudhoyono memanggilnya.

Beberapa tahun terakhir, pemerintah telah merencanakan kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi, tapi selalu gagal. Mengapa sekarang harus naik?

Kenaikan harga BBM bersubsidi memang harus diberlakukan sekarang. Saya tak bisa mengontrol situasi perekonomian global. Saya juga tidak punya kuasa melarang Ben Bernanke (Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat) menerapkan quantitative easing—pelonggaran moneter dengan membeli aset-aset keuangan untuk menyuntik dana segar ke dalam perekonomian. Tapi setidaknya pekerjaan rumah domestik bisa terselesaikan, yaitu persoalan BBM bersubsidi.

Apakah subsidi BBM sudah sangat membebani anggaran?

Bagi saya, kenaikan harga BBM bukan semata-mata karena anggaran. Pemerintah sebenarnya punya banyak akal untuk mencari uang dengan segala macam cara. Misalnya lewat perpajakan. Tapi bukan itu intinya. Saya menyebut kebijakan ini triple win. Alasan utamanya adalah untuk rasa keadilan, ketahanan energi, dan terakhir baru untuk ruang fiskal.

Apa yang Anda maksud dengan kenaikan harga minyak ini untuk keadilan?

Selama ini, struktur subsidi sama sekali tidak adil. Banyak orang kaya bermobil menikmatinya. Harga BBM di pasar internasional Rp 9.000 per liter, sedangkan selama ini BBM bersubsidi dijual Rp 4.500 per liter. Jadi satu mobil disubsidi Rp 4.500 per liter. Jika mengkonsumsi 10 liter per hari saja, mobil itu setiap hari dibantu negara Rp 45 ribu, atau Rp 1,35 juta per bulan. Bagaimana ini tidak Anda anggap masalah? Dengan kenaikan ini, justru akan ada redistribusi pendapatan dari yang kaya ke masyarakat miskin.

Lalu apa urusannya dengan ketahanan energi? Bukankah dengan harga berapa pun pemilik mobil akan membelinya?

Cadangan minyak kita saat ini hanya 4 miliar barel. Dengan konsumsi sebesar saat ini, dalam 20-40 tahun ke depan Indonesia tak hanya akan menjadi net oil importer (lebih banyak mengimpor minyak ketimbang memproduksinya), tapi betul-betul tak bisa lagi berproduksi. Artinya, pemerintah harus benar-benar berpikir agar harga energi terbarukan cukup atraktif menarik investasi. Konversi gas juga harus terwujud. Kalau harga BBM masih Rp 4.500 per liter, siapa yang mau berinvestasi? Siapa yang mau beralih mengkonsumsi gas?

Anda menyebut kenaikan harga BBM bersubsidi akan mendistribusikan pendapatan dari yang kaya kepada yang miskin. Apakah yang dimaksud itu lewat bantuan langsung sementara masyarakat?

Ya. BLSM diberikan untuk mengantisipasi potensi bertambahnya jumlah penduduk miskin akibat kenaikan harga. Menurut perhitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, kalau harga BBM dinaikkan sebesar 44 persen seperti sekarang ini, ada kemungkinan jumlah penduduk miskin naik dari 10,5 persen menjadi 12,1 persen. Artinya, penduduk paling miskin akan bertambah sekitar 4 juta jiwa.

Mengapa BLSM hanya diberikan sebesar Rp 150 ribu per bulan? Itu pun hanya selama empat bulan.

Secara empiris, dampak inflasi itu terasa dalam tiga-empat bulan, kemudian mengalami penurunan. Jadi, ketika inflasi naik, masyarakat miskin tetap punya uang, yaitu tambahan Rp 150 ribu per bulan atau sekitar 30 persen dari pendapatan orang yang berada di garis kemiskinan, Rp 450 ribu per bulan. Tambahan duit itu cukup untuk menjaga konsumsi mereka, tapi tidak cukup besar untuk membuat mereka malas. Kalau bantuannya terlalu besar, nanti mereka malah tidak bekerja.

Tapi kini di daerah banyak unjuk rasa menganggap BLSM tak tepat sasaran.

Sebenarnya yang menangani penyalurannya adalah Kementerian Sosial. Saya mau bilang membuat target yang perfect, 100 persen tepat, itu memang susah dilakukan. Namun saya juga ingin mengatakan ada upaya pemerintah agar target penyalurannya lebih baik dibanding sebelumnya.

Banyak kalangan bahkan mencurigai BLSM hanya ajang pencitraan.

Saya menilai kucuran BLSM ini harus dilihat dalam paket yang lengkap. Sebab, anggarannya tidak hanya berupa BLSM, tapi ada juga infrastruktur dasar untuk 7.000 desa sebesar Rp 250 juta per desa, air bersih, dan program keluarga harapan. Nah, sebelum bekerja, masyarakat miskin harus tetap bisa makan ketika harga-harga naik akibat kenaikan harga BBM.

Mengapa pemerintah tak bisa menjelaskan alasan-alasan tersebut dengan baik sehingga muncul penolakan keras dari sebagian kelompok masyarakat?

Ya, begitulah public relations pemerintah, sangat senang berbicara dalam bahasa-bahasa yang tak dipahami masyarakat, menyebutkan peraturan nomor sekian dan singkatan-singkatan. Padahal, faktanya, subsidi selama ini dinikmati orang kaya, dan itu harus dialihkan kepada yang miskin. Saya mengakui kelemahan ini, dan kami akan mencoba memperbaikinya.

Apakah Anda yakin orang-orang kaya bermobil tak akan mengkonsumsi BBM bersubsidi lagi jika harganya dinaikkan?

Tingginya konsumsi BBM sebagian besar disebabkan oleh migrasi dari konsumsi BBM nonsubsidi ke yang bersubsidi karena selisih harganya selama ini sangat jauh. Sekarang, dengan naiknya harga, selisihnya berkurang, sehingga setidaknya migrasi sedikit bisa direm.

Jika memang sukar mengontrol konsumsi BBM bersubsidi, mengapa pemerintah tidak menerapkan subsidi dalam besaran yang tetap, sehingga harga BBM dapat secara fleksibel naik atau turun sesuai dengan harga minyak internasional?

Saya setuju. Pada waktu pembahasan di parlemen, saya sudah mencoba mengangkat isu tersebut. Komisi Keuangan DPR menanggapinya secara positif sehingga nanti akan kami follow up. Jadi, misalnya subsidi BBM ditetapkan Rp 2.500 per liter, ketika harga minyak internasional Rp 9.000 per liter, masyarakat membeli Rp 6.500 per liter. Begitu harga minyak dunia turun menjadi Rp 7.500 per liter, orang cukup membayar Rp 5.000 per liter.

Bukankah dengan begitu pemerintah akan lebih mudah merancang anggaran….

Pemerintah bisa memastikan subsidi yang harus disediakan, berapa pun harga minyak internasional. Nanti isu utamanya tinggal berapa banyak konsumsi yang dibutuhkan masyarakat. Karena itu, konversi ke energi terbarukan dan gas juga harus dilakukan. Kalau ini semua dilakukan, pemerintah menangani persoalan subsidi dan konsumsi minyak dengan strategi jangka panjang, tidak menaikkan harga sekarang lalu nanti diulang lagi.

Seandainya pemerintah menerapkan fixed subsidy, berapa besar belanja anggaran yang bisa dihemat?

Tinggal kalikan saja. Misalnya subsidi ditetapkan fix Rp 2.500 per liter dengan konsumsi saat ini 48 juta kiloliter. Saya yakin belanja subsidi akan turun signifikan (jika dikalkulasi dana yang dibutuhkan sebesar Rp 120 triliun dari subsidi BBM saat ini Rp 199 triliun). Nanti selisihnya bisa dipakai untuk memperbaiki jalan dan fasilitas kesehatan. Kan, aneh kalau harga BBM naik tapi kualitas infrastruktur tidak meningkat.

Dari tadi Anda menyebut energi terbarukan. Selain menaikkan harga BBM bersubsidi, apa yang dibutuhkan untuk mendorong pengembangan sektor tersebut?

Pemerintah juga harus menyiapkan insentif. Karena itu, saya ingin mendorong proyek-proyek energi terbarukan memperoleh tax holiday.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral beberapa waktu lalu malah mengusulkan kontraktor migas mendapat insentif pajak. Bagaimana menurut Anda?

Harus saya kasih prinsip umum bahwa dari awal sangat penting menyadari anggaran terbatas, sehingga pemerintah harus masuk ke hal-hal yang nonkomersial, yakni sektor-sektor yang tidak ada untungnya. Misalnya pengembangan rute-rute perintis, air bersih, dan infrastruktur di pedesaan. Tapi sektor-sektor yang swastanya sudah bisa mencari profit besar, ya, biarkan saja. Mengapa saya harus menambah profit mereka? Saya tak keberatan jika memang fiscal incentive diberikan untuk menaikkan produksi minyak. Tapi itu semua harus terukur. Dengan begitu, alokasi anggaran bisa difokuskan pada kepentingan umum.

Bukankah sejak 2011 sudah ada ketentuan untuk sektor industri penerima insentif pajak?

Betul. Tapi, untuk bisa begitu, susahnya setengah mati. Sudah dua tahun aturan itu berjalan, cuma dua perusahaan yang bisa memperoleh fasilitas insentif. Contohnya, yang bisa memperoleh tax holiday adalah perusahaan yang baru beroperasi 12 bulan dan melakukan inovasi. Perusahaan baru, belum bisa capture market, enggak bakal bisa bikin inovasi. Akibatnya, tak ada yang bisa memperoleh insentif pajak.

Jadi Anda akan mengubah aturan tax holiday?

Aturannya tak perlu diubah, hanya prosedurnya disederhanakan agar lebih efektif. Saya sudah berbicara kepada Presiden agar insentif fiskal diberikan kepada kegiatan-kegiatan yang bisa mendukung Indonesia pada masa depan, seperti research and development dan pelatihan. Jangan sampai insentif diberikan berdasarkan perusahaan. Kalau seperti itu, nanti akan menjadi ekonomi rente, banyak calonya.

Mengapa research and development penting mendapat insentif pajak?

Sejarah ekonomi pembangunan mencatat, pada 1980-an ada tiga negara middle income dengan jumlah kelas menengah cukup tinggi seperti kita saat ini, yaitu Brasil, Afrika Selatan, dan Korea Selatan. Tapi cuma Korea Selatan yang sekarang berhasil menjadi negara industri. Brasil dan Afrika Selatan tetap bertahan mengandalkan natural resources. Mengapa? Mereka tidak menerapkan apa yang dilakukan Korea Selatan: mendorong inovasi dan teknologi. Indonesia harus menyiapkan kedua hal tersebut.

Persoalannya, banyak yang menganggap tax holiday hanya akan menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi perusahaan multinasional.

Fasilitas tax holiday kan berlaku untuk semua, baik asing maupun domestik. Kalau ingin orang kita sendiri yang memanfaatkan fasilitas tersebut, lakukanlah yang terbaik. Saya juga tahu keberpihakan harus dilakukan, misalnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) harus diproteksi. Atau untuk sektor retail, asing hanya boleh masuk jika tokonya lebih besar dari 2.000 meter persegi, sehingga tak membunuh kios-kios di pasar. Kalau tokonya sebesar itu, mereka akan bertarung dengan pengusaha retail kita yang kaya. Biarkan saja orang kaya lawan orang kaya.

Soal melindungi UMKM, kok Anda malah akan menerapkan pajak satu persen kepada mereka?

Yang terpenting dengan penerapan pajak ini, UMKM bisa menjadi kegiatan usaha yang formal. Selama ini, mereka susah mendapat pinjaman bank karena tidak terdaftar. Dengan kewajiban membayar pajak, kami ingin membuat mereka menjadi terdaftar. Dengan begitu, dia menjadi eligible.

Tapi penerimaan pajak dua tahun terakhir memang terus tak mencapai target.

Jangan melihat UMKM sebagai sumber penerimaan negara. Sebenarnya pertumbuhan ekonomi kita tahun lalu hanya turun 0,2 persen, tapi penerimaan pajak anjlok hampir Rp 50 triliun. Ini menunjukkan penerimaan pajak kita didominasi oleh ekspor serta komoditas tambang dan energi. Jadi, ketika kedua hal tersebut terganggu, penerimaan pajak bermasalah. Saya sudah berbicara dengan Direktur Jenderal Pajak agar memperluas penerimaan pajak. Salah satunya pada sektor properti.

Anda sudah menaikkan harga BBM, lalu sekarang berpikir memperlonggar tax holiday. Apakah tidak semakin memojokkan Anda yang selama ini dituding sebagai agen neoliberal?

Kalau orang punya persepsi seperti itu terhadap saya, tak ada yang melarang. Silakan saja. Tapi, yang terpenting, apakah efek kebijakan saya bermanfaat untuk masyarakat atau tidak. Kenaikan harga BBM bersubsidi, misalnya. Kalau orang mau berbicara pendekatan pasar, paham liberal tak akan setuju dengan adanya subsidi. Namun yang terjadi di sini adalah subsidi tidak dihapus, tapi dipindahkan dari yang punya mobil kepada masyarakat miskin. Saya juga berpikir pemerintah harus masuk di sektor-sektor nonkomersial. Jadi, kalau dari sisi ini, saya tidak tahu, mungkin orang mendefinisikan neoliberal itu lebih pada suka-suka dia saja. Ini kan soal stigma.

Kalau Anda sendiri mendefinisikan diri sebagai ekonom berpaham apa?

Saya tidak pernah melihat isu ideologi dalam proses kebijakan. Saya pragmatis saja. Jangan dibayangkan di dalam sidang kabinet itu diputuskan berdasarkan Milton Friedman—ekonom Amerika Serikat yang sering dianggap sebagai tokoh neoliberal. Pemerintah berpikir sederhana saja, ada atau tidak duitnya.

Mungkin kita memang belum cukup pintar untuk membuat kebijakan berdasarkan sebuah ideologi….

Ya, bahkan jika kita berbicara tentang Mafia Berkeley, yang dianggap proliberal. Pada 1970-an, semua kebijakan pemerintah sangat pronegara lewat puskesmas, sekolah inpres, dan pendirian badan usaha milik negara. Baru pada medio 1980-an semua dibuka untuk swasta. Mau tahu alasannya? Pemerintah saat itu tidak punya uang gara-gara harga minyak jatuh. Sesederhana itu. Jadi ideologi adalah akibat, bukan sebab. Hanya, kita orang sekolahan kan paling senang mengkaji kejadian-kejadian itu dengan alasan ideologi. Dicocok-cocokkan. l

Muhamad Chatib Basri
Tempat dan tanggal lahir l Jakarta, 22 Agustus 1965 Pendidikan l Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia l Pascasarjana Ekonomi Pembangunan Australian National University (1996) l PhD bidang ekonomi Australian National University (2001) Karier l Menteri Keuangan (Mei 2013-sekarang) l Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (2012-sekarang, sebagai pelaksana tugas) l Wakil Ketua Komite Ekonomi Nasional (2010-2012) l Staf Khusus Menteri Keuangan (2006-2010) l Deputi Menteri Keuangan untuk G-20 (2006-2010) l Penasihat Menteri Koordinator Perekonomian (2004-2005) l Asisten Peneliti Department of Economics, Research School of Pacific and Asian Studies (1994-2001)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus