Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dokter spesialis jantung Felix Partono memberi kejutan kepada peserta diskusi di Mercantile Athletic Club, Jakarta, akhir Mei lalu. Dalam perbincangan bertajuk "Ketakutan Cholesterol, Obesitas dan Penyakit Jantung", Felix mengatakan kolesterol tinggi tidak meningkatkan risiko penyakit jantung. Bahkan kolesterol rendah bisa memicu sejumlah penyakit, seperti kanker dan infeksi. Kesimpulan dia cukup provokatif: kolesterol rendah berbahaya dan kolesterol tinggi bermanfaat.
Apa yang diungkapkan Felix ini tentu bertolak belakang dengan pendapat yang umum diketahui bahwa kolesterol tinggi merupakan salah satu pemicu penyakit jantung dan stroke. Felix tentu saja tidak asal berpendapat. Dia memang tidak melakukan sendiri penelitian yang membuatnya berpendapat seperti itu. Tapi pendapatnya tersebut didasari pada sejumlah penelitian yang dilakukan lembaga-lembaga yang kredibel.
Studi Henry Ford Heart and Vascular Institute (2009) menunjukkan bahwa 50 persen serangan jantung terjadi pada mereka yang kolesterol jahatnya (low-density lipoprotein/LDL) rendah. Survei melibatkan 500 pasien serangan jantung dan LDL-nya diperiksa dalam waktu 24 jam pasca-serangan. Tiga tahun kemudian, tercatat ada 38 kematian: 26 orang dari kelompok LDL rendah dan 12 orang dari kelompok LDL tinggi.
Felix juga mengungkapkan penelitian yang dilakukan Sachdeva dan kawan-kawannya dari University of California Los Angeles. Penelitian yang dimuat di American Heart Journal (2009) itu meneliti 137 ribu kasus serangan jantung di 541 rumah sakit di Amerika Serikat. LDL pasien diperiksa dalam 24 jam setelah serangan. Dari situ diketahui bahwa 75 persen mereka yang terkena serangan jantung memiliki LDL normal dan rendah, dan hanya 25 persen yang LDL-nya tinggi.
"Semua ada referensinya. Kalau tidak percaya, tinggal lihat sumber aslinya," ujar Felix, "Mengubah mindset memang tidak gampang. Begitu acara selesai, orang tetap saja takut pada kolesterol tinggi, he-he-he...." Ia juga siap jika koleganya, para ahli jantung, tidak percaya pada pendapatnya.
Lalu kenapa selama ini kolesterol dituding sebagai salah satu penyebab penyakit jantung? Kolesterol adalah senyawa lemak kompleks berwarna kuning dan lunak. Sebagian besar zat ini dibuat di hati (80 persen), sedangkan sisanya (20 persen) bersumber dari makanan. Sumber kolesterol dari makanan, antara lain, daging merah (sapi, kambing, babi, dan binatang berkaki empat lainnya), jeroan (otak, paru, hati, dan usus), serta kuning telur dan binatang laut (udang, kepiting, kerang). Kadar normal kolesterol adalah di bawah 200 miligram per desiliter.
Dalam aliran darah, kolesterol bergabung dengan asam lemak dan membentuk LDL, yang kerap disebut sebagai kolesterol jahat. Sebab, kolesterol ini membentuk timbunan plak di dinding pembuluh darah dan menyebabkan akumulasi kolesterol (aterosklerosis). Timbunan inilah yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah hingga suplai darah ke jantung atau otak terhambat.
Di sisi lain, kolesterol juga bisa bergabung dengan asam lemak dan membentuk lipoprotein berkepadatan tinggi (high-density lipoprotein/HDL), yang kerap disebut kolesterol baik. Maklum, HDL mencegah kolesterol mengendap di pembuluh darah agar tak terjadi aterosklerosis.
Literatur menyatakan, semakin tinggi kadar LDL, otomatis akan mendongkrak risiko penyakit jantung, stroke, dan penyakit pembuluh darah lainnya. Sebaliknya, semakin tinggi kadar HDL, semua risiko tersebut akan semakin rendah. Teori bahwa kolesterol tinggi, termasuk LDL tinggi, berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit jantung itulah yang digugat Felix.
Teori ini, kata Felix, tak punya dasar ilmiah. Menurut dokter yang pernah meneliti penyakit kardiovaskular di Bolivia bersama tim University of Southern California pada 2010-2011 ini, teori itu tak lepas dari Seven Countries Study oleh Ancel Keys. Pada 1953, ilmuwan Amerika ini melansir teori "lebih banyak konsumsi lemak, maka lebih tinggi kematian akibat penyakit jantung". Teori ini dinilai cacat karena Keys hanya memilih data dari tujuh negara yang sesuai dengan teorinya. Padahal data konsumsi lemak dan kematian akibat penyakit jantung tersedia dari 22 negara.
Setelah seluruh data digabungkan, diketahui bahwa grafik konsumsi lemak dan kematian akibat penyakit jantung semrawut. Di Belanda dan Prancis, yang penduduknya mengkonsumsi lemak tinggi, angka kematian akibat penyakit jantung rendah. Sedangkan di Australia dan Finlandia, yang konsumsi lemaknya rendah, justru angka kematian akibat penyakit jantungnya tinggi.
Sejumlah hasil penelitian digeber Felix untuk menguatkan gugatannya, antara lain dari WHO Monica Project 1998. Survei yang melibatkan 10 juta penduduk dari 21 negara itu juga tidak menemukan hubungan konsumsi lemak jenuh yang berpotensi mendongkrak kolesterol dengan kematian akibat penyakit jantung. Sekadar contoh, di Azerbaijan, yang konsumsi lemak jenuhnya sebesar 5,5 persen, angka kematian akibat penyakit jantung mencapai 700 per 100 ribu penduduk. Bandingkan dengan Prancis, yang konsumsi lemak jenuhnya 15,5 persen, angka kematian akibat penyakit jantung cuma 90 per 100 ribu penduduk. "Sekali lagi, makan lemak dan kematian akibat penyakit jantung tidak ada korelasi," ujarnya.
Dengan berbagai data penelitian itu, Felix berpendapat bahwa kolesterol tinggi itu baik, sedangkan kolesterol rendah justru tidak baik. Jadi, orang tak perlu empot-empotan jantungnya jika kolesterolnya tinggi. Namun, soal tinggi atau rendah, orang tak perlu ribut. Sebab, semua diatur sendiri oleh tubuh. Ada faktor genetik di dalamnya. "Penurunan dengan obat antikolesterol, yakni statin, itu artifisial," katanya, "Efeknya ada, tapi tidak terlalu bagus."
Tentu saja pendapat Felix ini banyak digugat koleganya. Profesor Harmani Kalim, dokter spesialis jantung dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, tak sepakat dengan pandangan Felix. "Kalau ada dokter yang menyatakan kolesterol tinggi tidak berbahaya bagi jantung, itu berbahaya," ucapnya di FKUI, Selasa pekan lalu. "Itu bertentangan dengan teori aliran utama para kardiolog."
Menurut Harmani, penyebab serangan jantung multifaktor, dan kolesterol tinggi merupakan salah satu penyebab utama. Faktor lain, misalnya, tekanan darah tinggi, gula darah tinggi, obesitas, usia, dan jenis kelamin. Toh, ia tak kaget dengan munculnya pendapat dan gugatan terhadap teori kolesterol yang sudah mapan, yakni kolesterol tinggi meningkatkan risiko penyakit jantung. Gugatan itu sudah muncul pada 1950-an.
Namanya risiko, Harmani menegaskan, tak semua pasti terjadi. Itu sebabnya ada orang dengan kolesterol tinggi tapi tak terkena penyakit jantung. Sebaliknya, orang yang kolesterolnya rendah justru terkena gangguan jantung. Sama halnya dengan kasus perokok aktif yang bisa mencapai umur 80 tahun. "Itu namanya hoki dia bagus," ucapnya.
Anwar Santoso, dokter spesialis jantung RS Puri Indah, Jakarta, mengiyakan Harmani. Hasil sejumlah meta-analisis—yakni analisis dari kumpulan berbagi penelitian—menunjukkan bahwa kolesterol tinggi meningkatkan risiko terjadinya gangguan jantung. Risiko itu bisa ditekan dengan pemberian obat antikolesterol, yakni statin. Meta-analisis itu, antara lain, dilansir Physicians Academy for Continuing Education pada Mei lalu dan The Cochrane Collaboration pada 2011. "Jadi, ada hubungan linear bahwa kolesterol tinggi akan meningkatkan risiko terkena serangan jantung," kata Anwar.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo