Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MONSINYUR Ignatius Suharyo terkejut oleh pertanyaan seorang wartawan di Kantor Wilayah Kementerian Agama DKI Jakarta, Rabu, 5 Juni 2024. Hari itu ia baru saja berdiskusi dengan pejabat kementerian soal moderasi beragama di Indonesia. Pewarta itu datang dengan pertanyaan soal sikap Gereja Katolik terhadap rencana pemerintah memberikan izin tambang untuk organisasi kemasyarakatan dan organisasi keagamaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ignatius, Uskup Agung Jakarta, meresponsnya dengan menyebutkan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tak akan memanfaatkan kesempatan mengelola tambang yang diberikan pemerintah. Jawaban Ignatius itu menjadi pernyataan sikap Gereja. "Bisnis tambang bukan wilayah kami. Wilayah kami adalah iman dan moral," kata Suharyo di Wisma Keuskupan Agung Jakarta, Pasar Baru, Jakarta Pusat, pada Kamis, 13 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah berencana membagikan izin usaha pertambangan kepada organisasi kemasyarakatan dan organisasi keagamaan. Rencana itu termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Sejauh ini, baru Nahdlatul Ulama yang berminat mengelola tambang.
Menurut Suharyo, bisnis tambang pasti menghancurkan lingkungan. Dampak itu tak sejalan dengan keberpihakan Gereja Katolik pada perawatan dan pelestarian alam. "Bisnis tambang itu ruwet dan menyimpan bahaya besar," ujarnya.
Selama dua jam, Suharyo menjelaskan kepada wartawan Tempo, Raymundus Rikang, Sunudyantoro, dan Yosea Arga Pramudita, soal alasan Gereja Katolik menolak pemberian izin tambang. Dia juga mengungkapkan upaya komunikasi yang dijalin dengan para uskup serta pemuka organisasi keagamaan lain soal rencana pemberian konsesi tambang.
Mengapa Anda menolak pemberian izin tambang untuk organisasi keagamaan?
Rumusan organisasi kemasyarakatan adalah perkumpulan yang didirikan masyarakat dengan tujuan dan maksud tertentu. Gereja Katolik tidak didirikan masyarakat. Gereja dengan huruf "G" kapital berarti sebuah entitas jati diri dengan wilayah yang jelas, yakni iman dan moral. Jadi bisnis tambang bukan wilayah Gereja Katolik.
Latar belakangnya apa?
Keadaban publik disangga tiga pilar, yakni negara, bisnis, dan masyarakat. Negara bertugas memastikan kebaikan bersama. Sedangkan bisnis harus dijalankan dengan fair. Masyarakat hidup dalam sebuah ruang publik dengan modal kepercayaan. Posisi Gereja jelas tidak berada dalam negara ataupun bisnis, melainkan dalam masyarakat.
Apakah seketat itu kedudukannya?
Ada kelompok awam dalam Gereja Katolik. Jumlahnya paling besar. Saya masuk kelompok hierarki bersama pastor dan diakon. Kelompok awam itu bisa masuk ke bisnis, tapi bukan atas nama agama. Tanggung jawab awam Katolik dalam konteks bisnis adalah menjaga agar bisnisnya dilaksanakan dengan adil.
Bagaimana jika kaum awam masuk ke bisnis tambang?
Bisnis pertambangan itu ruwet. Ada godaan dan bahaya besar jika tak dikelola dengan baik. Bisnis tambang menghancurkan lingkungan. Padahal Gereja Katolik sangat menaruh perhatian agar semua kelompok tak ikut merusak lingkungan hidup. Hari ini kita mendengar kasus korupsi tambang timah yang kerugian ekologisnya mencapai ratusan triliun rupiah. Masak, mau masuk ke praktik seperti itu?
Gereja mungkin tak masuk ke sana, tapi orang Katolik juga dilarang berbisnis tambang?
Kalau sampai ikut berbisnis, ditaruh mana wajah Gereja? Masuk wilayah bisnis yang berisiko besar itu pertimbangan moralnya berat. Silakan orang Katolik berbisnis tambang. Tapi, kalau sudah masuk ke wilayah bisnis, jangan membawa bendera Katolik. Jalankan bisnis itu dengan prinsip menjaga lingkungan. Ia harus memenuhi banyak syarat.
Nyaris mustahil bisnis tambang dijalankan tanpa merusak lingkungan.
Bukankah ada eksplorasi yang terkendali? Kalau sudah mulai bicara beking, itulah yang jelas merusak.
Apakah ada kaitan penolakan ini dengan kaul kemiskinan para padri?
Kami menjadi "miskin" karena pilihan. Yang dipertahankan adalah nilai dan itu dipilih dengan sengaja. Kalau ada komentar nyinyir seperti itu juga tak ada masalah. Kuncinya adalah mempertahankan jati diri.
Di mana Anda memposisikan umat dalam pertimbangan menolak konsesi tambang ini?
Sikap itu merupakan wujud menjaga moralitas dan etik. Kalau keduanya tak dijaga, bagaimana kami mendapat kepercayaan dari umat? Yang dipertaruhkan adalah kepercayaan umat. Kalau kami keluar dari pegangan dan anjuran Gereja Katolik, di mana kami akan menyembunyikan wajah Gereja? Pemahaman Gereja Katolik dengan komunitas beragama lain mungkin berbeda. Yang pasti, kami tak akan ke mana-mana. Jalannya lurus.
Sudah ada yang melobi setelah penolakan Anda?
Saya sudah bertanya kepada Ketua Konferensi Waligereja Indonesia Monsinyur Antonius Subianto Bunjamin. Kata dia, tak ada tawaran atau lobi.
Bagaimana dengan kolega di organisasi lain?
Saya juga bertanya kepada Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia. Mereka pun bilang tak ada. Saya kira Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia juga demikian.
Anda mencoba berdialog dengan kolega di Nahdlatul Ulama agar batal mengambil jatah konsesi mereka?
Sangat sulit dijalankan. Jika mereka sudah memutuskan menerima, kami mau bagaimana? Kembali pada prinsip bahwa paham tentang agama berbeda-beda. Kalau memang pahamnya memberi tempat terhadap aktivitas itu, ya monggo. Saya dengar dari seorang kiai NU bahwa ada anjuran mempertimbangkan lokasi tambang serta tak mengambil konsesi kalau berada di tanah rakyat dan merusak lingkungan. Saudara-saudara kami ini pasti akan berdiskusi mengenai sikapnya.
Monsinyur Ignatius Suharyo
Tempat dan tanggal lahir:
- Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 9 Juli 1950
Pendidikan:
- Sarjana teologi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Sanata Dharma, Yogyakarta (1976)
- Doktor teologi biblis Pontificia Università Urbaniana, Roma, Italia (1981)
Jabatan:
- Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (2012-2022)
- Wakil Ketua I Konferensi Waligereja Indonesia (2006-2012)
Tahbisan:
- Imam (26 Januari 1976)
- Konsekrasi Uskup (22 Agustus 1997)
- Kardinal (5 Oktober 2019)
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia berdalih pemberian izin tambang merupakan kompensasi atas jasa memperjuangkan kemerdekaan. Anda sepakat?
Kami tak membutuhkan balas budi dalam konteks perjuangan kemerdekaan. Itu tanggung jawab semua warga negara.
Alasan kompensasi untuk organisasi keagamaan terkesan dicari-cari?
Orang Katolik punya semboyan 100 persen Katolik dan 100 persen Indonesia. Artinya, berjuang bersama sebagai warga negara dengan iman Katolik. Tak perlu memakai bendera Katolik. Kalau ingin berbuat baik untuk masyarakat dengan membawa bendera Katolik, nanti dibilang kristenisasi. Atribut itu tak perlu.
Apakah patut label keagamaan dilekatkan pada kompensasi izin tambang?
Saya tak tahu di agama lain karena pemahamannya berbeda-beda. Namun di Gereja Katolik jelas tak patut. Pimpinan jangan berpikir memberikan kompensasi. Kompensasi yang diharapkan Gereja adalah negara menjalankan perannya dengan baik, yakni memastikan kesejahteraan bersama terwujud. Jadi bisnis tambang jangan bawa-bawa agama.
Bagaimana jika tawaran yang konkret datang kepada Gereja atau KWI?
Yang saya tahu, tak ada tawaran itu. Kalaupun ada tawaran, tak akan berhasil menawari kami. Saya berdiskusi dengan teman-teman di KWI. Mereka bilang berpikir mengenai hal itu saja sama sekali tidak pernah.
Sampai kapan bertahan dengan sikap ini?
KWI yang berisi konferensi para uskup solid karena pegangan kami sama. Jika ada uskup yang berpikir bahwa ini adalah kesempatan besar untuk Gereja Katolik, pasti dia di-bully. Wilayah bisnis, ya bisnis. Jangan menyeret agama ke sana.
Pemerintah belakangan mengatakan izin tambang akan diberikan kepada badan usaha milik organisasi keagamaan. Respons Anda?
Gereja Katolik tak punya badan usaha. Kalau sudah menjadi badan usaha, tak perlu diberi nama Katolik. Tak ada yang namanya tambang Katolik.
Anda tak takut disebut naif karena penolakan ini?
Kami tak takut karena hanya boleh takut sama Allah, ha-ha-ha....
Atau dicap berseberangan dengan pemerintah?
Gereja sudah biasa dicap macam-macam. Para martir menerima cap seperti itu dulu. Dicap apa pun, posisi kami tak berubah. Pemerintah mungkin punya niat baik ingin membantu komunitas agama tertentu. Namun paham komunitas beragama berbeda-beda, kan?
Uskup Agung Monsinyur Ignatius Suharyo saat wawancara dengan Tempo di Gereja Katedral, Jakarta, 13 Juni 2024. Tempo/Tony Hartawan
Bantuan apa yang diharapkan Gereja dari negara?
Kalau memang pemerintah ingin membantu, semestinya komunitas itu ditanya dulu membutuhkan bantuan apa. Jangan tiba-tiba membuat peraturan sehingga memberikan ini dan itu.
Anda dan pimpinan komunitas keagamaan tak diajak berbicara ketika regulasi izin tambang ini disusun?
Sama sekali tak diajak. Saya bertanya kepada Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, mereka juga tak diajak apa-apa. Tiba-tiba saja ada pengumuman seperti itu.
Mana yang Anda pilih, mendapat hadiah izin tambang atau izin mendirikan gereja?
Saya tak memilih keduanya. Saya memilih negara menjalankan fungsinya dengan baik. Mendirikan gereja itu belum tentu hasilnya baik-baik saja. Maksud saya adalah tanggung jawab utama negara adalah mewujudkan kebaikan bersama sesuai dengan tujuan kemerdekaan.
Anda tampak begitu peduli pada persoalan lingkungan. Beberapa kali pesan gembala Anda mengutip ensiklik Laudato si’ yang ditulis Paus Fransiskus soal pertobatan ekologis. Seberapa genting masalah lingkungan hari ini?
Menilai kegentingan itu pasti membutuhkan data. Namun itu mudah saja dirasakan. Hari ini suhu udara panas sangat luar biasa. Banyak informasi beredar bahwa Jakarta akan tenggelam. Itu tanda yang amat jelas. Situasi hari ini salah satunya akibat pengelolaan tambang yang tak profesional dan merusak lingkungan. Inilah yang saya sebut ada bahaya besar di balik bisnis tambang.
Apa upaya konkret Gereja mencegah laju kerusakan lingkungan?
Masih kecil-kecil dan pasti tak akan menyelesaikan masalah. Saya tahu banyak sekolah sudah mengajari anak-anak tak minum air dalam kemasan. Mereka diminta mendaur ulang plastik. Semestinya yang membuat keputusan itu adalah pemimpin politik atau menteri. Ini masalah global sehingga perlu solusi dari pemimpin lintas negara.
Muncul kampanye "All Eyes on Papua" yang memprotes perambahan hutan adat. Gejala apa ini?
Dalam peristiwa seperti itu, negara semestinya hadir. Dalam rangka memastikan ada kebaikan bersama, pemerintah mesti menjamin hak setiap warga negara. Namun yang terjadi adalah kembalinya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Gejala KKN itu masif saat proses Pemilihan Umum 2024, di antaranya penggunaan aparat dan akrobat hukum di Mahkamah Konstitusi untuk melanggengkan kekuasaan. Kenapa Gereja tak bersuara?
KWI bersidang pada November 2023 dan mengeluarkan pesan. Memang ada batasannya karena kami berada di wilayah iman dan moral. Jika para uskup berbicara tentang itu, nanti kami kena kartu kuning.
Apa argumentasinya?
Itu wilayah praktis. Wilayah para kaum awam. Perjuangan di pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat merupakan wilayah kaum awam. Orang seperti saya tak boleh sampai di situ, kalau situasinya tidak keterlaluan.
Seperti apa situasi yang dapat mendorong Gereja turun tangan?
Saya ingat betul ketika krisis moneter 1998. KWI diminta mengumpulkan emas oleh pemerintah untuk membantu perekonomian. Perwakilan KWI menyebutkan tak punya uang dan emas untuk dikumpulkan. Penolakan itu disampaikan di depan presiden.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bisnis Tambang Jangan Bawa-bawa Agama"