Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla: Saya Harus Menjaga Presiden

DUGAAN keterlibatan Setya Novanto dalam megakorupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) mengusik Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla.

26 November 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUGAAN keterlibatan Setya Novanto dalam megakorupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) mengusik Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Dia berulang kali meminta Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan Partai Golkar itu tunduk pada hukum. Pria berdarah Bugis ini meradang saat Setya mensyaratkan izin Presiden Joko Widodo kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memeriksanya. "Saya tidak mau Presiden dijual-jual. Seakan-akan Presiden menghalangi," kata Kalla, 75 tahun.

Lewat sejumlah pengurus yang sowan kepadanya, Kalla meminta Golkar, yang dia geluti sejak 1965, memilih ketua baru. Ketua Umum Partai Golkar periode 2004-2009 tersebut mengatakan kasus Setya bakal menggerus perolehan suara mereka dalam pemilihan umum mendatang. Dia menilai Golkar harus segera direhabilitasi.

Bertarung di setiap pemilihan presiden sejak 2004, Kalla berikrar menjadi penonton pada 2019. Dia mengatakan akan menikmati waktu tua bersama cucu-cucunya setelah masa tugasnya berakhir. Namun dengan tegas dia mengatakan akan mendukung Jokowi di pemilihan presiden mendatang. "Masak, kita mendukung yang lain, padahal ada teman di situ? Lima tahun kami bersama," ujarnya.

Kalla menerima wartawan Tempo Arif Zulkifli, Wahyu Dhyatmika, Rusman Paraqbueq, Istman Musaharun, dan Reza Maulana di ruang kerjanya di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu siang pekan lalu. Dalam pertemuan satu jam itu, Kalla juga bercerita tentang hubungan Presiden dengan Setya dan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Mengapa Anda selalu berkomentar pedas soal Setya Novanto?

Saya cuma menyampaikan kebenaran. Memang begitu keadaannya.
Sikap keras ini semata karena kasus e-KTP?
Sejak dulu. Sewaktu menjadi Ketua Umum Partai Golkar, saya tidak pernah kasih dia fungsi di partai. Orang-orang yang saya yakin bisa merusak image partai tidak saya pakai.
Apa tindakan Setya sehingga waktu itu Anda pinggirkan?
Sudahlah. Beliau sudah menghadapi hukum. Nanti tambah berat hukuman dia.
Sejumlah politikus takut keterangan Setya bisa menyeret tersangka lain. Ada kekhawatiran serupa?
Ndak apa-apa. Sama dengan nyanyian Nazaruddin (terpidana korupsi wisma atlet yang membeberkan keterlibatan rekan-rekannya di DPR dan lembaga lain). Baguslah, ada duet di dalam tahanan, he-he-he.... Kita tidak bisa menghalangi pemeriksaan. Itulah keadilan. You menikmati, you dapat baik-buruknya.
Bagaimana soal surat Setya yang menolak lengser di DPR dan Partai Golkar?
Namanya usaha, boleh saja. Ini sebagai usaha terakhir dia. Novanto juga minta tolong ke Presiden, Kepala Kepolisian RI, ke mana-mana untuk dilindungi. Tapi tidak ke saya.
Kabarnya sejumlah pengurus Golkar menemui Anda terkait dengan kasus ini?
Ya, mereka meminta pertimbangan saya sebagai salah satu senior di partai. Tapi mereka juga meminta pertimbangan ke senior lain, seperti Akbar Tandjung, Aburizal Bakrie, dan Agung Laksono.
Siapa saja mereka itu?
Wah, tidak usah saya sebut. Yang jelas, banyak.
Apa saran Anda?
Solusi terbaik mengatasi kisruh ini adalah lewat aturan. Kalau ketua tidak berfungsi, ya, harus diganti. Itu saja. Tidak ada cara lain. Menurut aturan, pergantian ketua lewat musyawarah nasional luar biasa.
Pergantian itu terkait dengan Pemilihan Umum 2019?
Semua partai ingin (jumlah) pemilihnya naik. Kalau ketua umum masuk penjara, isunya negatif, otomatis kurang pemilih yang diperoleh. Keadaan Golkar ini harus segera direhabilitasi.
Jabatan pelaksana tugas ketua umum tidak cukup?
Untuk jangka pendek, cukup. Tapi, untuk seterusnya, tidak boleh pelaksana tugas. Undang-undang menyatakan hal-hal terkait dengan pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden harus ditandatangani ketua umum dan sekretaris jenderal. Kalau nanti dianggap tidak sah, kan susah.
Figur ideal Ketua Umum Golkar seperti apa?
Siapa yang paling kurang masalahnya. Kalau ada masalah, nanti ribut lagi. Baru syarat lain, yang ada di anggaran dasar dan anggaran rumah tangga seperti pengalaman minimum lima tahun.
Di antara nama yang mencuat, Ade Komarudin, Titiek Soeharto, Airlangga Hartarto, mana yang menurut Anda terbaik?
Belum. Saya tidak berpikir tentang orang per orang.
Ada yang menyebut saran dan komentar Anda sebagai intervensi terhadap partai....
Tidaklah. Umur saya sudah 75. Tidak ada urusan lagi dengan politik praktis. Ketika orang datang minta nasihat, itu karena mereka yang datang. Bukan saya yang minta bicara.
Anda berkonsultasi dengan Presiden Joko Widodo saat menyatakan KPK tidak butuh izin presiden untuk memeriksa Setya?
Tidak. Tugas wakil presiden kan membantu presiden, diminta atau tidak diminta. Saya tidak mau Presiden dijual-jual. Isu soal izin Presiden itu digoreng terus, sementara Presiden tidak kasih izin, sehingga seakan-akan Presiden menghalangi. Saya harus menjaga. Kalau enggak, nanti kasihan Presiden.
Ada kritik yang menyebutkan pemerintah tidak serius menangani kasus e-KTP. Misalnya mengacu pada pertemuan Presiden Jokowi dan Setya. Tanggapan Anda?
Tidak bisa dihindari Presiden bertemu dan menerima Novanto, karena dia Ketua DPR. Presiden juga tidak menerimanya sebagai Ketua Golkar. Sikap Presiden selalu sama, kembalikan ke hukum. Kami tidak bisa bertindak lebih dari itu, karena kasus ini ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pimpinan KPK kerap menemui Presiden dan Anda?
Ya, saya sering ketemu pimpinan KPK dalam banyak kegiatan.
Membahas kasus e-KTP?
Kadang-kadang mereka bertanya, kadang-kadang saya bertanya. Dalam tindakan penting, KPK selalu melapor kepada presiden dan wakil presiden. Contohnya, baru saya terima. (Kalla menunjukkan amplop cokelat dan selembar surat berkop KPK). Tulisannya "Rahasia", tapi isinya bukan rahasia. Perihal penahanan Novanto. Kita semua juga sudah tahu, he-he-he.... Ini pemberitahuan resmi ke Presiden, tembusan ke saya. Jadi komunikasi antara KPK dan presiden-wakil merupakan hal biasa.
Oktober lalu, majalah Tempo menulis Presiden meminta KPK tidak membuat gaduh soal kasus Setya. Pandangan Anda?
Yang bikin gaduh bukan KPK. Itu karena Novanto menghindar terus. Kalau saat diminta datang, dia datang, akan senyap-senyap saja. KPK hanya menjalankan tugasnya.
Anda setuju dengan pandangan bahwa Jokowi membutuhkan dukungan Setya dan Golkar untuk pemilihan presiden 2019?
Ya, wajar saja bilang begitu. Tapi bukan hanya Novanto yang bisa kasih dukungan. Semua di Golkar juga. Tidak ada pengurus yang katakan, "Jangan pilih Jokowi." Coba Anda tanya Idrus Marham, pelaksana tugas ketua umum. Idrus malah bikin Keutamaan Jokowi (buku yang terbit pada 30 Agustus lalu). Tanya pengurus lain, seperti Enggartiasto Lukita. Pasti jawabannya sama.
Dukungan itu sesuai dengan budaya Golkar yang pro-pemerintah?
Ya, jarang jadi oposisi. Kalau awalnya oposisi, besok-besok gabung pemerintah lagi, he-he-he.... Golkar selalu ada di dalam pemerintahan. Jadi ini bukan keputusan Novanto secara pribadi. Siapa pun ketuanya, akan dukung presiden. Apalagi, dari penilaian saya, tidak ada kader Golkar yang bisa jadi calon presiden. Tidak ada figur yang kuat.
Anda mendukung Jokowi pada 2019?
Oh, pastilah itu. Otomatis. Masak, kita mendukung yang lain, padahal ada teman di situ? Lima tahun kami bersama.
Sudah membahas calon wakil presiden dengan Jokowi?
Ndak. Saya tidak ingin mencampuri.
Menurut Anda, pasangan ideal Jokowi seperti apa?
Yang bisa membuat presidennya mudah terpilih. Kalau berhasil dalam pembangunan, khususnya bidang ekonomi, itu mudah. Kedua, bisa saling melengkapi. Boleh saja non-Jawa, militer, dan lainnya.
Lebih baik dari kalangan profesional atau politikus?
Dua-duanya boleh. Orang kalau sudah jadi capres dan cawapres tidak dilihat lagi orang politik atau profesional, tapi dilihat kesanggupannya.
Apakah sisi kedekatan dengan pemilih Islam masuk perhitungan?
Saya kira, sewaktu Ibu Mega dan Pak Jokowi meminta saya jadi wakil presiden pada 2014, itu salah satu pertimbangannya. Saya kan sejak dulu bergerak di pengembangan agama, jadi Ketua Dewan Masjid dan sebagainya. Juga faktor luar Jawa.
Anda melihat ada jarak antara Jokowi dan kelompok Islam?
Ya, kelihatannya ada pihak yang mempertentangkan. Tapi jarak itu makin lama makin dekat. Sebab, Pak Jokowi rajin mengunjungi pusat kegiatan Islam, pesantren, dan acara keagamaan. Saya ingin katakan secara pribadi, tidak seperti pandangan orang bahwa dia sekuler, Pak Jokowi sangat agamis. Setiap kami rapat, lalu masuk waktu asar, dia lebih cepat pergi salat daripada saya. Itu tidak dibuat-buat. Saya tahu, tanpa dilihat orang, dia begitu azan langsung salat. Entah mengapa citra yang terbentuk sebaliknya.
Mungkin karena Presiden dianggap mendukung Basuki Tjahaja Purnama, yang ditentang banyak organisasi Islam, pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017?
Saya kira juga begitu. Tapi saya berani mengatakan orang yang paling dekat dengan Pak Jokowi adalah Anies (Baswedan, Gubernur DKI Jakarta 2017-2022). Sewaktu pemilihan presiden 2014, Anies 24 jam di sisi Jokowi, kecuali waktu tidur. Dari pidato sampai naik bajaj saat mendaftar di Komisi Pemilihan Umum, Anies di sampingnya. Jadi saya yakin dia juga bersimpati kepada Anies. Tapi, ya, masyarakat mendengar rumor yang susah kami batasi. Itu hak masyarakat.
Bagaimana mengatasi pertentangan publik yang merupakan efek pemilihan kepala daerah DKI?
Itu tidak benar. Saya luruskan soal pendapat pilkada Jakarta penuh isu suku, agama, ras, antargolongan. SARA apa? Persentase nonmuslim di DKI 21 persen. Yang pilih Basuki 43 persen. Artinya, lebih banyak orang Islam yang pilih Basuki daripada yang non-Islam. Jadi enggak benar masyarakat terbelah.
Salahkah memilih berdasarkan identitas?
Tidak. Butuh 185 tahun bagi orang Katolik jadi Presiden Amerika Serikat. Sebelumnya, Kristen terus. Butuh 233 tahun untuk orang Afro Amerika jadi presiden. Presiden Trump berkampanye mengusir orang Islam dan Meksiko. Kita tidak pernah ada seperti itu. Jadi siapa yang rasialis?
Anda ikut meningkatkan tensi saat menjamu Zakir Naik, dai asal India yang melarang memilih calon pemimpin nonmuslim, di masa pilkada....
Saya tidak undang, hanya terima, seperti ulama lain. Saya tertarik cara dia menghafal semua ayat Al-Quran dan Injil. Otaknya seperti apa? Tapi, terus terang, saya tidak suka dialog membanding-bandingkan agama seperti itu. Lakum diinukum waliyadiin. Bagimu agamamu, bagi saya agama saya.
Perdebatan kembali mencuat karena Gubernur Anies menyinggung soal pribumi dalam pidato pengukuhannya....
Tidak menjadi masalah. Pemerintah juga menyebut pribumi, misalnya dengan mengakui Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia. Bahwa Anies memberikan prioritas, itu wajar-wajar saja, justru demi kebaikan kedua belah pihak.
Prioritas seperti apa?
Misalnya membantu usaha kecil supaya tercipta keseimbangan ekonomi. Jangan lupa, tragedi 1998 terjadi karena keseimbangan itu terganggu. Malaysia juga melakukannya. Di Amerika Serikat, ada keutamaan kepada orang Afro Amerika lewat affirmative action dan ada undang-undangnya. Hanya, di Indonesia terbalik. Justru mayoritas yang perlu dibantu. Kami ingin golongan yang di bawah bergerak naik. Bukan yang di atas jadi turun. Saya melihat konteks pidato Anies seperti itu.
Jadi penggunaan istilah pribumi oleh Gubernur tidak menjadi masalah?
Mungkin dia menulis pidatonya dalam kondisi bagaimana, tapi ndak ada yang harus dipersoalkan. Isu pribumi-nonpribumi memang ada dan tak usah kita sembunyikan. Rasio Gini kita tinggi, 0,38 persen secara rata-rata (0 berarti pemerataan sempurna, 1 berarti ketimpangan sempurna). Tapi di Jakarta bisa 0,50. Itu dihitung dari pengeluaran. Kalau dari pendapatan, bisa lebih tinggi lagi.
Namun hal-hal seperti itu bisa dipolitisasi....
Di Jakarta apa sih yang tidak "digoreng"? Salah ngomong sedikit digoreng. Salah baju digoreng. Pak Gatot (Nurmantyo, Panglima Tentara Nasional Indonesia) pakai kopiah putih (saat Aksi Bela Islam 2 Desember 2016) digoreng. Semua digoreng.
l l l
Banyak kritik soal keputusan pemerintah mengandalkan utang untuk membangun infrastruktur. Pembelaan Anda?
Pemerintah mana pun, kalau ingin membangun lebih cepat dari kemampuannya, harus berutang. Soal utang itu biasa. Apalagi kita dibatasi, maksimum 3 persen dari produk domestik bruto. Bandingkan dengan Malaysia yang sampai 5 persen. Bahkan Jepang berutang sampai 100 persen, tapi dari lingkup internal. Negara kita tidak bisa begitu, maka keluarkan surat berharga dan surat utang negara.
Presiden Jokowi juga disebut kerap berpikir terlalu jauh dalam membangun infrastruktur, sementara mengabaikan perencanaan jangka pendek dan menengah....
Tidak juga. Malah ada yang bilang berpikir terlalu cepat. Misalnya, belum rampung perencanaan, proyek sudah berjalan. Itu kan berpikir jangka pendek. Itulah beda negarawan dan politikus. Negarawan berpikir satu generasi ke depan. Politikus hanya lima tahunan.
Betulkah percepatan pembangunan infrastruktur demi mengejar momentum kampanye 2019?
Siapa pun presidennya, pasti ingin ada prestasi. Harus ada bukti kerjanya. Pencapaian memang meningkatkan citra. Itu wajar. Efek baik pasti dihargai.
Menyesal tidak meresmikan berbagai proyek infrastruktur yang Anda dan Jokowi bangun?
Tidak merasa begitu. Yang menikmati pembangunan adalah rakyat. Lagi pula, pemerintahan itu tersambung. Misalnya, jalan tol Cipali, Jawa Barat, dibangun sejak 2011 di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tapi yang gunting pita Jokowi. Sebaliknya, apa yang dikerjakan pemerintah sekarang mungkin diresmikan tiga tahun lagi oleh siapa pun presiden selanjutnya.
Apa rencana Anda setelah masa tugas berakhir?
Saya ingin istirahat. Tetap dekat dengan anak-cucu. Urus pendidikan-sosial, urus masjid.
Kembali ke bisnis?
Ndak. Saya sudah 17 tahun tinggalkan bisnis. Buat apa ada anak-anak dan adik-adik yang profesional kalau umur segini masih terlibat usaha? Bahwa kita tetap memberikan nasihat-nasihat, itu pasti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus