Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Saya Bukan Tukang Sulap

Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra mewarisi seabrek persoalan di maskapai pelat merah itu. Selain bermanuver untuk menyelamatkan bisnis perusahaan akibat sepinya penumpang di tengah pandemi Covid-19, Irfan mesti membereskan kontrak sewa 12 unit pesawat Bombardier CRJ1000 yang bermasalah. Ia mengalami langsung alotnya negosiasi dengan perusahaan pemberi sewa, Nordic Aviation Capital. Irfan juga memimpin Garuda sebagai maskapai utama dalam pendistribusian vaksin Covid-19 di Tanah Air. Berbekal pengalaman menjadi pemimpin di berbagai perusahaan, Irfan berupaya memulihkan citra Garuda Indonesia sebagai maskapai bonafide.

13 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra di Kantor Garuda Indonesia, Kebun Sirih, Jakarta, Rabu (10/2/2021). TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Garuda Indonesia menghentikan kontrak sewa 12 unit pesawat Bombardier CRJ1000.

  • Selain spesifikasi pesawat tak cocok, kondisi keuangan Garuda tak memungkinkan untuk melanjutkan pembayaran sewa.

  • Pandemi Covid-19 membuat Garuda Indonesia menambah penerbangan kargo.

DI tengah upaya mengatasi dampak pandemi Covid-19, Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra dihadapkan pada persoalan lain. Negosiasi alot dengan perusahaan Nordic Aviation Capital untuk menghentikan kontrak sewa 12 unit Bombardier CRJ1000 NextGen membuatnya mengambil keputusan tegas. “Kami grounded dan kembalikan pesawatnya. Saya putuskan secara sepihak. See you in court (kita selesaikan di pengadilan),” kata Irfan dalam wawancara khusus dengan Tempo di kantornya, Rabu, 10 Februari lalu.

Garuda Indonesia memiliki kontrak sewa pesawat dengan Nordic Aviation Capital sejak 2012 dan berakhir pada 2027. Irfan mengatakan burung besi produksi perusahaan Kanada, Bombardier Aerospace, itu memiliki kapasitas bagasi kecil sehingga tak cocok dengan perilaku penumpang pesawat Indonesia yang tidak terbiasa berkomuter. Apalagi lembaga antikorupsi Inggris, Serious Fraud Office, sedang mengusut Bombardier atas dugaan tindak pidana suap dalam kontrak penjualan pesawat kepada maskapai pelat merah yang ia pimpin.

Irfan, 56 tahun, belum genap dua bulan bergabung dengan Garuda ketika pandemi menghantam industri penerbangan. Merosotnya jumlah penumpang sempat membuat Garuda kelimpungan. Irfan mesti mengambil sejumlah keputusan berat, dari penundaan pembayaran gaji hingga pemutusan kontrak kerja ribuan karyawan. Ia bahkan ikut turun ke bandar udara untuk mempromosikan Garuda.

Kepada wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi, Nur Alfiyah, dan Yohanes Paskalis, Irfan menjelaskan kondisi Garuda, strateginya menghadapi dampak pandemi, hingga peran Garuda dalam distribusi vaksin Covid-19. Irfan tampak geram dan beberapa kali memukul meja ketika menjelaskan perihal sewa pesawat Bombardier CRJ1000.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anda mewarisi sejumlah persoalan dari manajemen sebelumnya. Salah satunya soal sewa pesawat Bombardier CRJ1000. Mengapa Anda memutuskan menghentikan sewa 12 pesawat itu?

Khusus soal CRJ ini tidak cocok saja. Itu jenis pesawat untuk keperluan commuting. Makanya tempat bagasinya kecil. Problemnya, commuting sangat tidak cocok dengan perilaku penumpang di Indonesia. Kami cari-cari dan lihat rata-rata ternyata rugi terus sampai beberapa tahun ke depan. Lalu ngapain diteruskan? Dari situlah saya bilang ini mesti diakhiri. Apalagi kemudian muncul SFO di Inggris yang mengeluarkan pernyataan mencurigai Bombardier melakukan proses suap. Saya bilang ke teman-teman direksi, saya juga lapor ke Menteri Badan Usaha Milik Negara (Erick Thohir). “Pak Menteri, pembiaran kerugian itu adalah bagian dari korupsi. We need to make tough decisions.”

Bagaimana upaya negosiasi dengan Nordic Aviation Capital?

Saya bertemu dan bernegosiasi dengan mereka. Tawaran yang mereka ajukan bukannya turun, malah makin naik.

Apa tanggapan Anda ketika itu?

Saya sampaikan bahwa Garuda ini company with respect. Kami mau menghargai komitmen yang sudah disepakati. Masalahnya, saya tidak punya cash. Saya buka situasinya. Ini kalau diteruskan (sewanya), kami minus terus. Mereka memberi proposal, memberi diskon dari total yang harus kami bayar. Saya tawar dan minta diskon lebih. Mereka menawar lagi. Yang tadinya memberi diskon sekian, malah turun diskonnya.

Berapa angka yang mereka tawar?

Angkanya jauh dibanding kerugian yang harus kami hadapi. Saya juga mengecek ke beberapa lembaga. Bisakah saya lakukan ini tanpa disalahkan suatu hari? Jawabannya, bisa. Justifikasi saya adalah mengurangi kerugian. Jadi bukan menghilangkan kerugian karena sudah pasti rugi. Akhirnya saya bilang, “That's it. Ini posisi kami.” Kami grounded dan kembalikan pesawatnya. Saya putuskan secara sepihak. See you in court.

Berapa sisa biaya sewa yang harus dibayar Garuda sesuai dengan kontrak?

Dihitung US$ 3 juta sebulan. Kalau kami jalankan, lebih rugi. Jadi total ruginya dari biaya sewa dan biaya kerugian operasi. Kontraknya menyatakan saya mesti bayar. Memang, kalau gagah perkasa, ini bisa dibilang wanprestasi. Tapi ya saya akhiri. Pasti ada konsekuensi.

Anda menyebutkan, jika sewa 12 pesawat CRJ1000 bisa diakhiri, Garuda dapat menghemat US$ 220 juta. Bagaimana perhitungannya?

Itu kerugian sampai akhir masa kontrak pada 2027.

Di luar 12 unit CRJ1000, bagaimana nasib enam unit CRJ1000 lainnya yang dibeli lewat pembiayaan Export Development Canada?

Itu financial lease. Jadi hitungannya finansial saja ke bank. Kalau yang 12 unit tadi operating lease. Kami mengajukan proposal, sisanya berapa, kami bayar sekian dan setelah itu dianggap selesai. Kalau dia ngeyel, ya sudah ambil saja (pesawatnya). Kami enggak mau bayar lagi. Saya ini lima bulan negosiasi. Saya beberapa kali bilang ke Pak Erick, “Saya ini bukan orang jahat.” Kami mesti bayar Rp 1 triliun setiap bulan ke lessor. Kami bilang penumpang cuma segini, pesawat juga enggak ada yang terbang, tapi kami mesti bayar terus berapa pun biayanya.

Anda sejak awal berdiskusi dengan Erick Thohir mengenai keputusan Garuda Indonesia perihal sewa CRJ1000?

Kami berdiskusi.

Apakah Anda dan Erick Thohir sempat membicarakan opsi lain?

Pak Erick cuma bilang tolong diefisienkan. Kami komunikasikan beberapa kemungkinannya. Terlepas apa pun sikap pemegang saham, ini keputusan direksi. Kami informasikan situasinya, proses negosiasinya. Tapi saya enggak perlu cerita bahwa saya dihina-hina di dalam perjalanannya. Saya dibayar salah satunya untuk menyelesaikan persoalan, termasuk dihina. Saya masuk, terima kondisi, saya beresin. Ada pandemi juga saya beresin bersama teman-teman di Garuda.

Penghematan dari sisi pesawat, seperti renegosiasi sewa, sudah mencapai US$ 12 juta per bulan dan akan digenjot jadi US$ 15 juta per bulan. Selain CRJ 1000, apakah evaluasi urusan sewa akan menyasar jenis pesawat lain?

Akan menyusul untuk jenis pesawat lain. Kebetulan pesawat-pesawat lain cocok dengan kebutuhan kita. Hanya, mungkin belum diterbangkan. Tapi itu soal cost. Mayoritas pesawat kami sewa. Hampir 120 pesawat. Ada enam unit CRJ100 yang kami miliki dengan skema financial lease. Masih ada beberapa pesawat Airbus 200 dan 300 serta Boeing 737 yang juga jadi milik kami.

Berapa pesawat yang sampai hari ini masih beroperasi?

Ada 142 pesawat. Sebenarnya semua klasifikasinya beroperasi. Statusnya bisa kami operasikan. Tapi, karena jumlah penumpang belum pulih, ada beberapa pesawat yang belum kami terbangkan.

Anda memimpin Garuda Indonesia di tengah lesunya bisnis penerbangan akibat pandemi Covid-19. Sejauh mana dampak pandemi terhadap kondisi Garuda?

Pandemi memukul kami. Industri penerbangan paling terpukul karena basis industri kami adalah mobilitas. Ketika mobilitas itu sangat tidak dianjurkan, orang jadi tidak mau keluar rumah dan menghindari pergi ke mal, apalagi terbang. Kedua, industri ini capital intensive, pendapatannya miliaran dolar. Tapi profitabilitas single digit. Ini terjadi di semua maskapai di dunia meskipun ada beberapa yang low double digit.

Bagaimana dengan Garuda Indonesia?

Garuda dalam kondisi normal low single digit, he-he-he. Problem yang kami hadapi adalah penurunan jumlah penumpang hampir 90 persen dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Kapan penurunan tajam jumlah penumpang terjadi?

Penurunan paling menukik menjelang Lebaran tahun lalu, sebelum pembatasan sosial berskala besar. Waktu itu masih klasifikasi dilarang mudik. Semua orang bingung mesti ngapain. Belum ada aturan rapid test dan segala macam. Kami juga belum tahu mesti bagaimana menghadapinya.

Seberapa parah penurunan jumlah penumpang saat itu?

Dalam kondisi normal kami bisa 450-500 penerbangan per hari. Total 50 ribuan penumpang. Sewaktu kondisi paling parah hanya 10-12 penerbangan per hari. Sewaktu menjelang liburan Natal dan tahun baru kembali naik sampai 300 penerbangan. Anda bisa membandingkan magnitude-nya. Penumpangnya bisa sampai 24 ribu per hari. Tapi Januari lalu turun lagi jadi 140-160 penerbangan.

Apakah karena dampak penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat?

Agak sulit mendefinisikan penyebab utamanya. Tapi kelihatannya ada tiga faktor. Pertama, Januari memang secara tradisional low season di seluruh dunia. Orang jarang bepergian, tidak ada libur. Kedua, ada pengaruh PPKM. Kami melihatnya bukan pembatasan. Kami anggap PPKM meningkatkan kepastian hanya orang-orang sehat yang terbang, untuk kepentingan bersama. Ketiga, situasi yang terjadi dengan Sriwijaya Air.

Jatuhnya pesawat Sriwijaya Air berpengaruh besar?

Terbang bukan persoalan saya butuh atau tidak butuh. Saya pasti butuh terbang. Tapi terbang ini kan, setelah kami amati beberapa saat selama pandemi, adalah persoalan keyakinan, kepercayaan diri.

Anda mengatakan dana talangan tahap pertama dari pemerintah untuk Garuda Indonesia senilai Rp 1 triliun sudah mulai mengucur pekan lalu. Apa perbaikan yang dilakukan dengan dana talangan itu?

Kesepakatan Rp 1 triliun tahap pertama ini adalah bagian dari total Rp 8,5 triliun selama tujuh tahun. Dana ini digunakan untuk kebutuhan operasional ke depan, terutama pembayaran ke vendor-vendor BUMN, khususnya Pertamina.

Mengapa berfokus ke vendor BUMN?

Kami punya banyak utang ke BUMN-BUMN tersebut sepanjang 2020 yang sudah direstrukturisasi. Pertamina utamanya untuk avtur. Kami berterima kasih selama ini Pertamina sangat suportif terhadap kami dalam kondisi susah.

Berapa utang Garuda ke Pertamina sepanjang 2020?

Gede bangetlah pokoknya. Saya malu ngomongnya. Kalau ditanya ke Pertamina, “Gila nih Garuda.” Kelasnya T (triliunan).

Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra saat menjadi narasumber diskusi bertema Semangat Baru Garuda di Kementerian BUMN, Jakarta, Jumat (24/1/2020). ANTARA/Sigid Kurniawan

Terobosan apa saja yang Anda siapkan untuk membuat Garuda Indonesia bertahan?

Mayoritas pengeluaran kami bersifat fixed. Ada beberapa yang variabel, avtur misalnya. Beberapa yang non-avtur itu mayoritas fixed. Inilah yang selama beberapa bulan terakhir ini kami bereskan.

Apa saja itu?

Dua biaya yang tetap adalah sewa pesawat dan sumber daya manusia. Sewa pesawat kami negosiasikan. Alhamdulillah kami bisa turunkan sampai level US$ 12 juta per bulan. Dalam waktu dekat, ini berpeluang mencapai US$ 15 juta per bulan. Penghematannya cukup signifikan karena mencapai US$ 170 juta setahun. Rp 2 triliun lebih. Artinya, kalau jumlah penumpang berbalik ke keadaan sebelum pandemi, kami sudah untung lebih dari Rp 2 triliun.

Bagaimana dengan pengeluaran Garuda untuk karyawan?

Sumber daya manusia ini agak tricky karena mereka teman-teman kami sendiri. Situasi ini tidak menyenangkan buat semua pihak. Kami juga tidak mengharapkan ada implikasi sosial. Apalagi kami BUMN. Tapi kami mesti mengambil tindakan yang diperlukan. Dalam perjalanannya, kami mengeluarkan kebijakan untuk memastikan hak-hak mereka dipenuhi.

Manajemen akhirnya memutuskan mengakhiri kontrak karyawan?

Orang-orang selalu melihat (pemutusan) kontrak. Yang tidak banyak diketahui adalah saya menunda gaji saya sebesar 50 persen sejak April 2020. Semua karyawan gajinya kami potong dan kami tunda pembayarannya sampai akhir Desember 2020. Tentu kami bayarkan jika kondisi membaik. Kami memproyeksikan pendapatan tahun ini 50 persen dibanding 2019 saat kondisi normal. Saat itu, kami meraup hampir US$ 3 miliar. Jadi kami targetkan pendapatan US$ 1,5 miliar.

Semua level karyawan terkena pemangkasan gaji 50 persen?

Enggak dong. Yang paling besar direksi, yaitu 50 persen. Yang lain makin turun. Kami juga enggak boleh zalim. Kalau gaji Anda Rp 5 juta, masak dipotong 50 persen? Saya cuma menikmati gaji penuh satu atau dua bulan.

Adakah kebijakan lain seputar penataan karyawan?

Teman-teman dengan perjanjian kerja waktu tertentu, kontrak, akhirnya kami akhiri. Kami percepat penyelesaian kontrak mereka dan semua kewajiban kami bayarkan. Kami juga menawarkan pensiun dini.

Berapa jumlah keseluruhannya?

Total semua karyawan kontrak, PKWT, dan pensiun dini itu lebih dari 1.500-an. Sampai akhir Desember lalu mungkin hampir 2.000 orang.

Saat ini Garuda Indonesia beroperasi dengan berapa karyawan?

Sekitar 6.000 karyawan. Tentu kami terus melihat opsi-opsi lain. Kami berharap tidak dalam waktu lama lagi bisa menghemat total sewa pesawat, sumber daya manusia, dan item lain yang kecil-kecil di angka US$ 20 juta per bulan dibanding biaya pada 2019.

Ketika Anda pertama kali bergabung sebagai Direktur Utama Garuda Indonesia, apa saja pekerjaan rumah yang harus Anda bereskan?

Pada waktu saya diminta Pak Erick, salah satu poin yang disampaikannya dalam diskusi adalah, “Mas, tolong balikin lagi Garuda menjadi perusahaan yang membanggakan masyarakat.” Itu yang saya pegang selama memimpin setahun lebih ini. Tapi saya bukan tukang sulap. Dalam perkenalan pertama dengan teman-teman di Garuda, saya sampaikan, “Saya bukan ahli airlines, enggak sekolah airlines, enggak pernah kerja di airlines. Tapi yang jelas saya sangat paham keinginan dan kebiasaan orang yang naik pesawat, karena saya sudah naik pesawat sejak umur dua bulan.” Jadi saya tantang semuanya, adakah yang pernah terbang lebih lama dari saya?

Apa yang Anda lakukan untuk mendongkrak pendapatan Garuda?

Kami menambah penerbangan kargo. Kami mengubah dua pesawat Airbus menjadi hybrid freighter. Kemampuan angkutnya bisa meningkat sampai 50-an ton. Semoga bulan depan sudah selesai dan bisa dioperasikan untuk kargo.

Hanya dua pesawat?

Sementara baru dua. Tapi banyak pesawat penumpang yang beberapa waktu terakhir diterbangkan hanya untuk kargo. Beberapa kali kami membawa vaksin. Pernah juga pesawat Airbus digunakan untuk kargo berisi ikan dari Manado dan Makassar. Lalu ada pesawat untuk mengangkut manggis dari Padang ke Guangzhou. Sekali angkut bisa mencapai 32 ton. Ada pula beberapa carteran pada masa awal pandemi untuk membawa alat-alat kesehatan.

Seperti apa peran Garuda dalam pendistribusian vaksin Covid-19?

Vaksin kan untuk kepentingan kita bersama. Saya bilang harusnya dibawa Garuda, dong. Kami enggak hitungan. Kami juga memaksimalkan Citilink. Saya tidak mau Garuda hanya diam menunggu perintah jika ada situasi seperti ini.

Anda berkomunikasi dengan Kementerian BUMN atau Kementerian Kesehatan?

Saya sudah dari dulu ngomong dengan Pak Ones (Honesti Basyir, Direktur Utama PT Bio Farma), Pak Erick, Pak Tiko (Kartika Wirjoatmodjo, Wakil Menteri BUMN), juga Pak Budi (Gunadi Sadikin) sebelum dan setelah jadi Menteri Kesehatan. Saya ngomong dengan semua orang-lah. Ya, memang pantasnya yang membawa vaksin adalah Garuda karena kami national flag carrier.

Garuda sudah mendistribusikan vaksin ke berapa daerah?

Kami sudah ke 15-16 kota. Kami ikuti jalur yang sudah ada. Kami berkomitmen mengirimkan ke mana saja. Hanya Garuda yang mendapat lisensi dan sertifikat untuk membawa barang-barang farmasi, seperti vaksin.


IRFAN SETIAPUTRA | Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 24 Oktober 1964 | Pendidikan: S-1 Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung | Karier: PT Bank Niaga, Jakarta (1989-1996); Account Manager & Team Leader-Industri Perbankan IBM Indonesia, Jakarta (1996-2000); Managing Director PT Linknet Internet Access (2000-2002); Country Manager/Managing Director PT Cisco Systems Indonesia (2002-2009); CEO PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Persero) (2009-2012); CEO PT Titan Mining Indonesia (2012-2014); CEO PT Cipta Kridatama (2014-2017); Chief Operating Officer PT ABM Investama (2015-2017); CEO PT Reswara Minergi Hartama (2017); CEO Sigfox Indonesia-PT Kirana Solusi Utama (2019-2020)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus