Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK dilantik sebagai Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada Oktober 2019, Bambang Brodjonegoro seperti bekerja di lembaga swadaya masyarakat. Sebagian besar pejabat eselon I di kantornya belum dilantik resmi sampai sekarang. “Semua pelaksana tugas, atau lebih tepatnya relawan,” kata Bambang, lalu tertawa. Hal itu tak terelakkan karena peraturan presiden soal pembentukan BRIN tak kunjung diundangkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam wawancara selama dua jam, Jumat, 12 Februari lalu, mantan Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan ini blakblakan mengungkap berbagai kesulitan yang ia hadapi. Perbedaan pandangan di dalam kabinet soal struktur dan posisi BRIN membuat mimpi besar Bambang memperbaiki ekosistem riset di negeri ini sedikit terhambat. “Saya sudah berusaha menyelesaikan secara internal, tapi belum berhasil,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berikut ini petikan wawancara Bambang Brodjonegoro dengan sejumlah wartawan Tempo via konferensi video online.
Mengapa kisruh seputar peraturan presiden soal pembentukan BRIN penting diselesaikan?
Inovasi adalah kunci untuk keberhasilan kita di masa depan. Untuk mencapai itu, perlu perjalanan panjang dan fondasinya perlu dibikin dari sekarang. Inovasi harus jadi arus utama, bukan sekadar pelengkap.
Pembentukan organisasi BRIN adalah bagian dari fondasi itu. Kalau sampai sekarang struktur BRIN belum lengkap, sebenarnya itu menunjukkan di mana prioritas kita. Secara implisit, ini menyiratkan bahwa riset dan inovasi bukan sektor strategis.
Bagaimana riset dan inovasi bisa mempercepat pembangunan Indonesia?
Awalnya adalah kegundahan Presiden Joko Widodo melihat riset kita ada di mana-mana, banyak, tapi terserak dan tidak kelihatan hasilnya. Kegiatan penelitian dan pengembangan ada di semua kementerian, tapi terabaikan. Ada inefisiensi, replikasi, dan duplikasi. BRIN dirancang untuk menyatukan semuanya.
Fungsi BRIN adalah membangun ekosistem riset yang sehat agar pembangunan ekonomi kita berbasis inovasi. Kami ingin investasi yang masuk ke Indonesia ditemani oleh inovasi, sehingga produknya pun menjadi nilai lebih Indonesia. Itu yang dilakukan Cina dan Korea. Jangan lagi investor masuk ke Indonesia hanya demi buruh murah atau tanah gratis.
Lalu apa isu mendasar yang menghambat pengesahan peraturan presiden soal BRIN?
Ada pihak-pihak yang punya persepsi dan interpretasi berbeda soal struktur dan kelembagaan BRIN. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jadi kewenangannya ada pada Presiden.
Kalau ada yang menilai BRIN lebih baik dipisahkan dari Kementerian Riset dan Teknologi, itu bukan kewenangan saya lagi. Saya hanya menjalankan keputusan presiden yang mengangkat saya sebagai Menristek/Kepala BRIN. Kalau organisasinya dipisahkan, perlu ada reshuffle kabinet.
Benarkah Anda tidak mengakomodasi usul pembentukan Dewan Pengarah BRIN dan struktur kedeputian yang diminta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara?
Memang sempat ada gesekan antara saya dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Pak Tjahjo Kumolo, pada akhir 2019 soal format lembaga ini. Saat itu saya tekankan bahwa yang punya organisasi ini saya, jadi jangan memaksakan ide orang lain untuk saya jalankan.
Keberadaan Dewan Pengarah BRIN ini tidak ada landasannya di undang-undang. Sesuai dengan keputusan presiden, BRIN adalah badan yang dijalankan kementerian. Sama seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Badan Pertanahan Nasional.
Lalu apa solusinya?
Kami berdua lalu menghadap Presiden Joko Widodo untuk mencari jalan keluar. Dari pertemuan itu disepakati bahwa saya diminta tetap jalan.
Saya lalu membuat beberapa penyesuaian. Saya mengurangi beberapa posisi deputi yang semula direncanakan. Pada Maret 2020, draf peraturan presiden soal BRIN disepakati antara Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Kemenristek/BRIN. Draf itu lalu dikirim ke Sekretariat Negara untuk ditandatangani Presiden.
Yang saya ketahui, perpres itu sudah diserahkan Sekretariat Negara kepada Kemenkumham (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia). Menkumham semestinya tidak dalam posisi menentukan karena keputusan itu sudah selesai ketika Presiden menandatangani perpres.
Anda sempat bertanya kepada Menteri Hukum dan HAM soal ini?
Saya tanyakan berkali-kali. Saya memahami beliau tidak dalam posisi bebas membuat keputusan. Beliau sempat mengusulkan agar kami mencari solusi bentuk baru BRIN. Tapi itu tentu bukan saya yang memutuskan. Kalau mau ada solusi berbeda, jalurnya mesti lewat presiden.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo