Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Habis Chevron, Terbit Siapa

Negosiasi Chevron dan Eni dalam proyek Indonesia Deepwater Development dijanjikan kelar pada triwulan I 2021. Meski transisi terlaksana, target produksi perdana diperkirakan molor. 

13 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Unit Produksi Terapung (Floating Production Unit/FPU) proyek IDD, Kalimantan, Indonesia. (https://indonesia.chevron.com)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Negosiasi Chevron dan Eni untuk kepastian peralihan operator Indonesia Deepwater Development berlanjut.

  • Bayangan SKK Migas jika Indonesia Deepwater Development beralih ke tangan Eni.

  • Dalih efisiensi di balik keputusan beruntun Chevron yang bernada balasan.

GENDALO dan Gehem masih menunggu kepastian datangnya Eni SpA, perusahaan energi multinasional asal Italia yang dikabarkan akan menjadi calon pengelola baru megaproyek Indonesia Deepwater Development (IDD). Tapi Dwi Soetjipto sudah punya angan-angan bagaimana pengembangan dua lapangan minyak dan gas bumi yang masuk proyek IDD tahap kedua tersebut jika kelak Eni jadi menggantikan Chevron Corporation, yang hengkang. “Enggak perlu investasi tambahan,” kata Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi itu kepada Tempo, Senin, 8 Februari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lapangan Gendalo merupakan bagian dari Blok Ganal. Sedangkan Gehem berada di Blok Rapak. Dua wilayah kerja kontrak bagi hasil produksi di cekungan Kutai, lepas pantai Kalimantan Timur, tersebut dikuasai Chevron, masing-masing lewat Chevron Ganal Ltd dan Chevron Rapak Ltd.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Chevron pula yang semula memimpin proyek pengeboran gas laut dalam di cekungan Kutai. Selain di Gendalo dan Gehem, megaproyek IDD ini akan merambah Lapangan Bangka, Lapangan Maha, dan Lapangan Gandang. Dengan total cadangan gas sebesar 2,32 triliun kaki kubik, IDD digadang-gadang menjadi penyumbang produksi gas terbesar di masa depan bersama proyek hulu minyak dan gas raksasa lain, seperti Blok East Natuna dan Blok Masela.  

Namun, digagas sejak 13 tahun lalu, baru proyek gas laut dalam di Lapangan Bangka yang terealisasi. Sejak 2016, lapangan gas yang juga bagian dari Blok Rapak ini tercatat menghasilkan 85 juta kaki kubik gas per hari untuk pasokan dalam negeri lewat PT Pertamina (Persero). Adapun Gendalo dan Gehem disiapkan sebagai IDD tahap kedua yang target produksinya berulang kali direvisi hingga terakhir diproyeksikan on stream pada 2025.  

Proyek Bangka di Kalimantan Timur. (https://indonesia.chevron.com)

Belakangan, persoalan baru muncul di tengah panjangnya proses revisi rencana pengembangan (POD) dan keputusan final investasi (FIC). Chevron menyatakan akan angkat kaki dari proyek IDD. Dalam rancangan awalnya, Chevron tak hanya akan mengebor Gendalo dan Gehem, tapi juga menjadikan keduanya sebagai hub fasilitas produksi lapangan-lapangan migas di sekitarnya, lengkap dengan unit pengolahan terapung (FPU).

Investasi tambahan tersebut yang dimaksud Dwi tak lagi diperlukan jika kelak Eni masuk menggantikan Chevron. Dalam bayangan Dwi, pengembangan Gendalo dan Gehem bisa dikonsolidasikan dengan fasilitas produksi milik Eni. Saat ini Eni tercatat sebagai operator wilayah kerja Muara Bakau dan telah mengoperasikan floating production unit yang mengolah hasil produksi Lapangan Jangkrik sejak 2017. Blok ini berada di satu cekungan yang sama dengan Gendalo dan Gehem. “Tapi, risikonya, produksi tidak secepat rencana semula,” tutur Dwi.

Dwi sadar semua itu belum pasti, baru ada di kepalanya. Walau begitu, peluang Eni menggantikan Chevron dalam proyek IDD sangat terbuka. “Chevron dan Eni masih melanjutkan negosiasi bisnis. Janji mereka, kuartal pertama tahun ini selesai,” ujar Dwi.

Seorang pejabat yang mengetahui proses rencana perubahan pengelola proyek IDD ini mengungkapkan, Chevron dan Eni secara terpisah telah bertemu dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif pada akhir 2020. Kepada pemerintah, Eni meminta kepastian perpanjangan kontrak Rapak dan Ganal, yang habis pada 2027 dan 2028. Selain itu, Eni berencana mengubah POD proyek IDD. “Satu bab dulu. Dari situ akan kami lihat rencana mereka selanjutnya,” ucap Dwi ketika dimintai konfirmasi tentang informasi tersebut.

•••

RENCANA Chevron melepas statusnya sebagai operator dalam megaproyek Indonesia Deepwater Development mencuat sejak 2018. Kala itu, industri migas dikejutkan oleh keputusan Chevron memperpanjang kontrak mereka di Blok Makassar Strait yang semula juga menjadi bagian dari proyek IDD.

Selentingan itu terjawab awal tahun lalu. Chevron resmi mengumumkan keputusannya melepas proyek IDD. Laporan tahunan 2019 Chevron Corporation menyebutkan portofolio IDD di cekungan Kutai tak lagi kompetitif. Meski begitu, banyak pelaku bisnis di sektor migas menghubungkan rentetan keputusan tersebut dengan sikap pemerintah yang menolak proposal perpanjangan kontrak Chevron di Blok Rokan.

Gejalanya mirip dengan yang rentetan kejadian beberapa tahun sebelumnya. Pada November 2013, pemerintah juga tak memperpanjang kontrak Chevron di Blok Siak, Riau. Belakangan, pada 2016, giliran Chevron yang mengakhiri kontraknya di Blok East Kalimantan yang semestinya habis pada 2018.

Pada Agustus 2020, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ego Syahrial pun sempat menyebutkan hubungan antara hengkangnya Chevron dari IDD dan peralihan operator Blok Rokan kepada Pertamina. “IDD sudah jelas, lah, Chevron kan satu paket dengan Rokan. Kira-kira begitu jawabannya. Kalau dia sudah ini (hengkang), artinya dia (IDD) bareng Rokan,” kata Ego, yang kala itu juga didapuk sebagai pelaksana tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi.

Seorang pejabat di lingkungan Kementerian Energi yang mengikuti detail persoalan Chevron membenarkan jawaban implisit Ego. Menurut dia, Chevron memang kecewa ketika pemerintah tidak memperpanjang kontrak mereka di Blok Rokan sehingga enggan melanjutkan proyek IDD.

Untuk meredam kekecewaan Chevron, pejabat ini mengungkapkan, Menteri Energi saat itu, Ignasius Jonan, sempat terbang ke Amerika Serikat, lokasi kantor pusat Chevron. Jonan menawarkan kepada Chevron bahwa rencana perpanjangan kontrak sejumlah blok di IDD pada 2027 dan 2028 bisa tetap menggunakan kontrak bagi hasil dengan skema cost recovery. Ketika itu, semua kontrak baru atau perpanjangan berganti menggunakan skema gross split, yang banyak ditentang kontraktor kontrak kerja sama migas. “Tapi tawaran ini tidak disambut juga sama mereka,” tutur pejabat tersebut. 

Chevron memang masih kesengsem menggarap Rokan. Pada Juli 2018, beberapa saat sebelum Kementerian Energi memutuskan mengalihkan Rokan kepada Pertamina, Managing Director Chevron IndoAsia Business Unit Charles A. “Chuck” Taylor dan President Director PT Chevron Pacific Indonesia Albert Simanjuntak bertemu dengan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.

Dalam pertemuan itu, Chevron menyatakan akan berinvestasi hingga US$ 88 miliar jika kontrak kerja sama Rokan diperpanjang hingga 2041. Mereka juga menyiapkan penggunaan teknologi enhanced oil recovery secara penuh di Rokan untuk meningkatkan cadangan minyak sebesar 1,2 miliar barel.

Pada waktu yang hampir bersamaan, Chevron juga sempat meminta perpanjangan kontrak bagi hasil untuk wilayah kerja Ganal dan Rapak, tetap dalam bentuk cost recovery. Perpanjangan kontrak dan cost recovery itu diperlukan untuk menjamin nilai keekonomian proyek IDD, yang ditaksir menelan biaya hingga US$ 7 miliar—setara dengan Rp 98 triliun menggunakan kurs saat ini.

•••

SATU per satu rencana tersebut berguguran. Toh, Manager Corporate Communications Chevron Pacific Indonesia Sonitha Poernomo berkukuh menyatakan keputusan Chevron menarik diri dari proyek IDD tidak berkaitan dengan Rokan. “IDD tidak terkait dengan wilayah kerja Rokan,” ujar Sonitha lewat pesan WhatsApp, Kamis, 11 Februari lalu. Dia tak menjawab pertanyaan Tempo tentang tawaran pemerintah memperpanjang kontrak Rapak dan Ganal dengan skema cost recovery.

Persis isi laporan tahunan 2019 Chevron Corporation, Sonitha mengatakan Chevron undur diri dari IDD tahap kedua karena pengembangannya tidak dapat bersaing dengan portofolio global lain. Walhasil, pengembangan IDD tidak mendapat modal. “Kami percaya proyek ini akan memiliki nilai untuk operator lain,” ucapnya.

Pada Maret tahun lalu, Chevron Corporation sebetulnya sudah mengumumkan sejumlah langkah penghematan gara-gara pasar minyak global terkena dampak pandemi Covid-19. Mereka antara lain berencana memangkas belanja modal sampai 20 persen, atau senilai US$ 4 miliar, pada 2020.

Chevron juga melepas sejumlah asetnya di luar Amerika Serikat. Hak partisipasi di Lapangan Malampaya, Filipina, misalnya, dijual senilai US$ 500 juta. Begitu juga hak partisipasi pada aset Chevron di Azerbaijan, yang dilego senilai US$ 1,57 miliar kepada MOL, perusahaan minyak asal Hungaria. Tapi belum ada rencana menjual hak partisipasi di IDD dalam pengumuman Maret 2020 tersebut.

Sonitha mengkonfirmasi, Chevron Rapak Ltd sudah membuka ruang data untuk memfasilitasi calon mitra potensial mendiskusikan kelanjutan blok tersebut. Namun, sampai saat ini, menurut dia, belum ada keputusan akhir dengan calon operator pengganti di IDD. “Sesuai dengan kebijakan, kami tidak dapat memberikan informasi secara rinci tentang negosiasi komersial.”

Dihubungi pada Kamis, 11 Februari lalu, juru bicara PT Eni Indonesia, Vincent Soetedja, menyatakan tidak punya informasi mengenai negosiasi yang sedang berlangsung dengan Chevron. Menurut dia, proses negosiasi ditangani langsung oleh manajemen perusahaan induk yang berbasis di Roma, Italia. “Bahkan Managing Director Eni Indonesia juga tidak bisa menjawab,” tutur Vincent lewat sambungan telepon.

Sebenarnya, Eni juga mengempit 20 persen hak partisipasi di wilayah kerja Ganal. Adapun Chevron, sebagai operator, menguasai 62 persen. Porsi 62 persen inilah yang sedang dinegosiasikan oleh Eni dan Chevron untuk pengalihan operator blok yang fasilitas produksinya berada di kedalaman 2.200-6.000 kaki tersebut. “Kalau jadi, Eni akan jadi penguasa cekungan Kutai,” kata Dwi Soetjipto.

KHAIRUL ANAM, RETNO SULISTYOWATI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus