Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kami Harus Pegang Netralitas TNI

Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono mengenai bursa calon Panglima TNI dan keamanan laut?

2 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Potensi titik panas dan konflik yang melibatkan Amerika Serikat berada di Laut Cina Selatan.

  • Kekuatan pokok minimum Angkatan Laut tahun ini baru mencapai 59 persen.

  • TNI diharapkan tetap menjaga netralitas di tahun politik.

ANCAMAN keamanan laut Indonesia saat ini masih berasal dari daerah perbatasan. Bentuknya berupa penyelundupan, pencurian ikan, dan survei ilegal. Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono mengakui postur TNI AL memang belum ideal untuk menjaga laut yang sangat luas. Pada tahun ini Angkatan Laut baru memenuhi 59 persen dari kekuatan pokok minimum yang ditargetkan mencapai 80 persen pada 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski demikian, Yudo menilai kekuatan TNI Angkatan Laut kini cukup memadai untuk diprioritaskan dalam pengamanan perbatasan. “Kita kan mempunyai 10 perbatasan laut dengan negara asing,” katanya. Untuk itu, mantan Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I ini telah membentuk “tim reaksi cepat” di semua pangkalan agar dapat bergerak cepat ke lokasi terdekat tanpa perlu mengerahkan kapal dari Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Laut, nama Yudo Margono disebut-sebut dalam bursa calon Panglima TNI pengganti Jenderal Andika Perkasa, yang akan pensiun pada Desember mendatang. Nama lain adalah Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Dudung Abdurachman dan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Fadjar Prasetyo. Namun Yudo terlihat enggan menjawab saat ditanyai seputar pergantian Panglima TNI. “Itu hak prerogatif presiden,” tuturnya dalam wawancara dengan wartawan Tempo, Setri Yasra, Abdul Manan, Iwan Kurniawan, dan Tara Reysa, di Wisma Elang Laut, Menteng, Jakarta Pusat, Senin, 26 September lalu.

Dalam perbincangan sekitar satu jam, pria kelahiran Madiun, Jawa Timur, 26 November 1965, ini menjelaskan titik panas Laut Cina Selatan dan kemungkinan konflik yang melibatkan Amerika Serikat dan Cina. Ia juga memaparkan kesiagaan persenjataan TNI Angkatan Laut, pengadaan kapal, pandangannya tentang tantangan TNI ke depan, serta upayanya mencegah perdagangan satwa langka yang menggunakan kapal perang RI terulang.

Apa ancaman terbesar dari laut dan bagaimana kesiapan kita?

Kalau dalam kondisi damai seperti saat ini ancamannya khususnya di daerah perbatasan laut. Ancaman dari pelanggaran wilayah, penyelundupan, dan pencurian sumber daya alam, seperti pencurian ikan dan survei-survei ilegal. Kita tahu bahwa konstelasi geografi kita dipakai untuk pelayaran bebas. Kita mempunyai tiga jalur alur laut kepulauan Indonesia (ALKI). Indonesia sebagai negara kepulauan juga memiliki tanggung jawab mengamankan pelayaran tersebut sebagai risiko memberikan tiga jalur ALKI ini. Kita harus bertanggung jawab terhadap keamanan mereka, keamanan navigasi, serta keamanan dari pembajakan dan perompakan.

Sebelumnya perompakan kerap terjadi di Selat Malaka.

Saya sudah perintahkan harus zero. Tidak ada lagi perompakan. Sekarang teknologi juga sudah berkembang sehingga ketika terjadi sesuatu sudah saling memberi tahu, berkomunikasi. Kami sudah siapkan tim untuk bergerak cepat.

Apakah sumber daya TNI Angkatan Laut kini sudah cukup?

Dengan wilayah seluas ini, kalau kami bicara jujur, enggak cukup. Tapi, kondisi sekarang ini kan damai, maka kami prioritaskan (pengamanan) di laut-laut perbatasan. Kita kan mempunyai 10 perbatasan laut dengan negara asing. Nah, ini yang kami pusatkan dalam operasi kami. Semua pangkalan yang tergelar dari Sabang sampai Merauke ini juga kami gerakkan untuk standby. Saya bentuk tim, seperti tim reaksi cepat, lah, istilahnya, untuk sewaktu-waktu siap digerakkan. Jadi, enggak perlu lagi, umpamanya terjadi tindak pidana di Sabang, saya kerahkan kapal dari sini (Jakarta). Waktunya enggak cukup.

Sekarang sudah ideal?

Belum. Kami kan punya patokan kekuatan pokok minimum (MEF) yang sudah disepakati pemerintah sampai 2024. Waktu itu jumlah kapalnya harus sekian, pesawat sekian, tank sekian, prajurit sekian. Saat ini baru terlaksana 59 persen.

Masih kurang 41 persen lagi?

Ya. Sampai 2024, lah (untuk memenuhi semuanya). Saat ini kan masih banyak pembangunan kapal dan pesawat di PT Dirgantara Indonesia.

Targetnya 2024 bisa 80 persen MEF?

Harapannya, ya. Membangun kapal itu kan enggak bisa setahun-dua tahun. Bisa sampai tiga tahun. Perkiraan saya, dengan pembangunan kapal-kapal ini, harapannya pada 2024 nanti bisa 80 persen.

Permintaan Presiden untuk pembuatan peralatan di dalam negeri sudah dilakukan?

Sudah. Kami dari dulu sudah menggunakan produk dalam negeri karena memang galangan dalam negeri ini sudah mampu.

Yang dibikin kapal jenis apa?

Sementara ini banyak kapal patroli.

Kalau kapal perang?

Kalau yang fregat, itu yang bangun Kementerian Pertahanan. Dua di PT PAL, dua di PT Daya Radar Utama, satu kapal cepat roda di Babelan, Bekasi. Kalau yang fregat di PT PAL.

Berapa yang akan dibuat sampai 2024?

Sebanyak 12.

Adakah alat utama sistem persenjataan TNI AL yang belum bisa dibuat di dalam negeri?

Kapal selam. Kan kemarin kerja sama dengan Korea. Itu yang tiga kapal dengan pabrik DSME (Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering). Sekarang perintahnya harus (diproduksi) di dalam negeri dengan melaksanakan ToT (transfer teknologi) sekaligus. Memang ada yang kita tidak mampu sama sekali. (Misalnya) kapal ranjau yang dari Jerman. Kapal ranjau ini belum bisa dibuat di dalam negeri. Seperti yang lalu, kapal survei juga beli dari Prancis. Tapi, dengan teknologi sekarang ini, kami buat kapal di Batam, kemudian tinggal beli alat-alatnya untuk memenuhi (kemampuan) surveinya.

Untuk negara kepulauan, apakah kekuatan TNI Angkatan Laut sudah memadai?

Begitu saya jadi Kepala Staf TNI Angkatan Laut memang punya cita-cita membangun Angkatan Laut yang besar karena konstelasi geografi tadi. Nah, Angkatan Laut kan mengemban dua fungsi. Sebagai TNI, juga sebagai Angkatan Laut yang universal. Universal itu Angkatan Laut harus setara dengan angkatan laut di luar negeri dan itu sudah kami penuhi.

Apa indikator kita sudah setara dengan angkatan laut negara lain?

Di dalam (kerja sama) multilateral kami dipercaya untuk memimpin suatu (latihan) peperangan. Umpamanya ada (latihan) peperangan kan dibuat grup-grup. Nah, kami dijadikan salah satu kapal yang dipercaya untuk memimpin grup tersebut. Ini kan menandakan mereka sudah percaya.

Kalau tiba-tiba kita diserang dari laut, apakah kita siap?

Kan enggak mungkin ujug-ujug langsung diserang. Salah apa Indonesia ini? Ukraina sama Rusia kan ada perang dingin sebelumnya. Kita contohkan saja waktu Trikora. Sebelum Trikora, Indonesia punya apa? Enggak punya apa-apa. Tapi, begitu Trikora, waktu itu Pak Karno (Presiden Sukarno) berusaha keras menghadirkan peralatan perang. Waktu itu (kekuatannya) besar sekali. Kapal selamnya jadi 12, kemudian kapal fregat, kapal LST (kapal pendarat tank). Kita seperti itu. (Indonesia termasuk) negara yang bukan negara penginvasi. Kita kan bebas aktif. Nah, negara penginvasi mungkin perlu memperkuat (persenjataannya) karena memang mempunyai rival. Kita kan enggak. Tapi bukan berarti bila kita enggak perang, terus biasa aja. Dengan kondisi yang ada, dengan kemampuan anggaran yang ada, ya kita tingkatkan profesionalisme anggota, menjaga kesiapsiagaan unsur-unsurnya, kapal, pesawat, dan sebagainya.

Potensi konflik saat ini masih di Laut Cina Selatan?

Ya, sejak Cina mengklaim nine-dash line, kemudian negara-negara lain, seperti Filipina dan sebagainya, juga ada klaim, masalah itu. Mulai ramai kan Natuna. Sebelumnya biasa-biasa saja. Kami juga berpatroli biasa. Ada penangkapan kapal ikan Vietnam. Dulu malah kapal Thailand juga ada di situ. Saat di-blow up, kemudian menjadi isu nasional dan internasional, rivalitas Cina dan Amerika makin meruncinglah di situ.

Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Yudo Margono (kiri) berbincang dengan Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 26 September 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis

Ketegangan di sana karena Cina membangun pangkalan di pulau barunya?

Ia memperluas wilayahnya. Itu jauh sebenarnya dari wilayah kita. Kita kan juga punya pangkalan di Ranai. Di situ juga ada satuan TNI terintegrasi. Tentunya di Natuna banyak sekali potensi konfliknya. Yang jelas, konflik Amerika, kalau nanti pecah, mungkin akan di situ. Kemudian, ini perbatasan dengan Malaysia, Cina, Vietnam, dan Singapura. Terus di situ merupakan lintasan kapal yang mau masuk ke Selat Malaka ataupun kapal yang keluar. Jadi betapa ramainya Laut Natuna itu. Belum lagi potensi sumber alam, ikan, kemudian mungkin minyak dan sebagainya. Nah, waktu itu sempat ramai waktu Cina mengerahkan kapal ikannya menuju selatan, belum sampai teritori zona ekonomi eksklusif (ZEE) kita. Saya perintahkan penghadangan untuk mengusir mereka.

Apakah ada perubahan paradigma dalam pertahanan laut kita?

Strategi pertahanan laut kita ini strategi pertahanan laut Nusantara. Jadi pertahanan yang menyerang musuh di pangkalannya, kemudian berperang di ZEE, kemudian di daerah perlawanan pada 12 mil (dari garis pantai). Kalau enggak bisa, ya sampai ke darat, memakai perang semesta.

Angkatan Laut bertugas menghadang di laut sebelum mencapai darat?

Iya. Tapi semaksimal mungkin musuh bisa kami hancurkan di daerah musuh. Kalau enggak bisa, harus di luar wilayah perairan kita, di laut bebas tadi atau di ZEE tadi. Diharapkan musuh jangan sampai masuk.

Apa yang bisa dipelajari dari perang Rusia-Ukraina?

Mereka kan juga banyak didukung oleh negara lain. Kalau di sana kan melihat perangnya sudah tidak lagi memakai hukum-hukum perang. Enggak peduli malam atau siang, langsung hancur-hancuran. Enggak peduli ini fasilitas umum, rumah sakit. Ya, mungkin akan begitulah perang itu, hancur-hancuran. Ada juga kemarin kapal Rusia diserang menggunakan rudal dari pantai. Mereka kan berbatasan langsung, artinya lebih banyak pada perang darat. Nah, kita yang berbatasan darat kan hanya di Kalimantan, Papua, dan Kupang.

Kalau Anda punya dana tidak terbatas, apa yang ingin segera Anda lengkapi di Angkatan Laut?

Kalau Angkatan Laut kan pasti kapal. Kapal perang dengan persenjataannya. Otomatis dengan (kondisi) sekarang ini kan mau enggak mau pasti melengkapi rudal, rudal jarak jauh, pesawat. Pesawat TNI Angkatan Udara harus kuat. Kalau pesawat kami kan hanya pesawat intai maritim, bukan pesawat tempur.

Soal Australia membangun kapal selam nuklir, seberapa signifikan dampaknya bagi Indonesia?

Sampai sekarang kan belum juga (jadi kapalnya), toh. Tapi, sebagai negara pantai, ya kita harus protes bahwa kita tidak menghendaki ada nuklir. Kalau terjadi perang nuklir, ya dampaknya akan terjadi pencemaran nuklir yang membahayakan kehidupan manusia. Perangnya pasti akan melalui tempat kita. Sekarang kan kita bisa mengira-ngira Australia ini memperkuat angkatan lautnya untuk apa. Musuhnya mana. Kan, begitu. Mau enggak mau kan pasti akan ke wilayah kita sehingga kita harus protes.

Apa komentar Anda soal kapal perang RI Teluk Lada yang dipakai untuk menyelundupkan satwa yang dilindungi?

Berkaitan dengan kasus pelanggaran tersebut, apabila ada kesalahan, pasti akan ada proses hukum terhadap pelaku. Secara institusi TNI AL melakukan pelestarian lingkungan melalui penanaman mangrove dan terumbu karang. Kegiatan ini secara otomatis akan berdampak pada pelestarian satwa di dalamnya.

Apa mitigasinya agar kasus serupa tak terulang?

Ada pengawasan setiap ada unsur yang melaksanakan operasi di daerah-daerah endemis binatang yang dilindungi. Saat kembali ke pangkalan, selesai melaksanakan operasi, dilaksanakan pemeriksaan secara fisik di kapal. Selalu ada peringatan melalui telegram kepada semua personel untuk tidak melakukan perdagangan atau memelihara satwa yang dilindungi. Apabila terjadi pelanggaran, pasti akan dilaksanakan pemeriksaan dan penyidikan serta proses hukum lebih lanjut.


Yudo Margono

Tempat dan tanggal lahir: Madiun, Jawa Timur, 26 November 1965

Pendidikan Sipil
• S-1 Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana, 2013
• S-2 Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana, 2015

Pendidikan Militer
• Akademi Angkatan Laut, 1988
• Sekolah Staf Komando AL, 2003
• Sekolah Staf Komando Tentara Nasional Indonesia, 2011
• Program Pendidikan Reguler Lembaga Ketahanan Nasional, 2014

Karier Militer
• Komandan kapal perang Republik Indonesia (KRI) Pandrong-801
• Komandan KRI Sutanto-877
• Komandan KRI Ahmad Yani-351
• Komandan Pangkalan Angkatan Laut Tual (2004-2008)
• Komandan Pangkalan Angkatan Laut Sorong (2008-2010)
• Komandan Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut I Belawan (2015-2016)
• Kepala Staf Komando Armada RI Wilayah Barat (2016-2017)
• Panglima Komando Lintas Laut Militer (2017-2018)
• Panglima Armada Barat (2018)
• Panglima Armada I (2018-2019)
• Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I (2019-2020)
• Kepala Staf TNI Angkatan Laut (2020-sekarang)


Bagaimana supaya ada efek jera?

Personel yang terbukti melanggar selalu kami berikan sanksi agar menjadi peringatan sehingga tidak diulangi personel lain. Demikian juga pada kapal-kapal angkutan barang atau penumpang yang rutenya daerah endemis satwa dilindungi.

Ini pertanyaan tentang pergantian panglima TNI....

Enggak mau.

Panglima TNI kan akan berakhir masa jabatannya pada Desember tahun ini. Kandidatnya, menurut Undang-Undang TNI, ya tiga kepala staf TNI. Bagaimana kesiapan Anda?

Bahwa (jabatan) Panglima TNI kan enggak ada pendaftarannya. Itu hak prerogatif presiden. Tentunya kalau diberikan tanggung jawab ke saya, ya kami laksanakan. Tugas Panglima TNI kan sudah jelas. Sesuai dengan Undang-Undang TNI kan sudah jelas apa saja yang harus dikerjakan. Kami melaksanakan tugas sesuai dengan perintah undang-undang dengan melaksanakan operasi TNI dan membina kekuatan TNI. Membina kekuatan TNI bukan hanya matra, kan. Matra tugasnya kepala staf. TNI berarti tiga-tiganya harus dibina bersama-sama sehingga, tentunya, menjadi TNI yang solid.

Apa tantangan TNI ke depan dengan kondisi geopolitik saat ini?

Kita tahu semua bahwa daerah rawan yang menjadi perhatian sekarang ini Papua. Itu kan pasti akan menjadi fokus. Kemudian di laut kita tidak boleh juga meninggalkan Natuna. Isu politiknya sangat tinggi sehingga kita selalu harus hadir di sana.

Bagaimana dengan pendekatan TNI agar lebih humanis?

Ya, tentunya sesuai dengan imbauan atau perintah Panglima Tertinggi TNI. Kami harus loyal melaksanakan itu. Artinya, humanis untuk yang ke dalam. Tapi, untuk di luar, menghadapi ancaman, ya jangan humanis. Selama ini pengalaman TNI humanis kan berhasil melaksanakan tugas itu. Hal ini yang harus kami teruskan. Profesionalitas harus. Itu yang perlu dikuatkan. Kami ini kan memenuhi doktrin operasi gabungan TNI. Nah, operasi gabungan ini yang harus betul-betul (ditingkatkan) karena kami tidak bisa mengantisipasi atau menghadapi ancaman dengan (satu) matra. Pasti harus tiga matra. Nah, menyatukan tiga matra dalam satu doktrin ini kan enggak mudah sehingga harus sering ada latihan operasi gabungan. Dengan begitu, setiap kegiatan ya lebih baik kalau TNI ini selalu bersama-sama. TNI Angkatan Laut, Angkatan Darat, Angkatan Udara, selain juga dengan Kepolisian RI.

Bagaimana Anda melihat peran TNI pada tahun politik tahun depan?

Kita kan sampai saat ini mengharuskan TNI netral. Ya, harus kami pegang netralitas TNI. Kalau enggak netral, bahaya jika TNI dibawa ke mana-mana. Makanya (TNI) harus solid. TNI jangan sampai bisa dibawa ke mana-mana.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus