Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Wawancara Soenarso:"Kerja Intelijen Kita Tidak Fokus, Payah"

6 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua lukisan berjejer di dinding ruang tamu sebuah rumah bergaya country di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Yang satu karya Jeihan, yang lain hasil sapuan kuas Soenarso. Yang satu pelukis tersohor, yang lain pelukis tak ternama dan dulunya adalah seorang jenderal dengan banyak peran di belakang layar. Tak banyak yang tahu, memang, bahwa Soenarso, yang tiga dasawarsa lalu berkiprah sebagai perwira intelijen, ternyata juga mahir memainkan cat dan kuas. Beberapa lukisannya tertata rapi, menghiasi rumah berdinding bata merah itu. Tak sedikit jenderal yang pandai menyanyi, tapi yang bisa melukis seperti Soenarso agaknya bisa dihitung dengan jari. Sayang sekali, ia tidak leluasa menekuni hobi ini—waktunya tersita untuk urusan dinas. Padahal, bakat melukis itu telah bersemi sejak masa kanak-kanak.

Wong Solo dan ayah tujuh anak ini lahir di Tasikmadu, Surakarta, 1 Juni 1925. Ia mengawali karir militer sebagai perwira intel di Solo (1945-1946). Dalam karirnya yang panjang, Soenarso mengisi beberapa pos penting, antara lain menjadi dosen Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad, 1961-1964), Ketua Gabungan V Komando Operasi Tertinggi (Koti/1965-1967), yang membawahkan bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya, seraya merangkap jabatan Direktur Polisi Militer (1966-1967). Pada tahun itu juga ia ditugasi sebagai Koordinator Urusan Malaysia-Singapura (1966-1967) dalam penyelesaian konfrontasi Malaysia-Indonesia.

Setelah itu, Soenarso ditarik sebagai staf pribadi Presiden Soeharto untuk bidang politik (1967-1968), di samping menjadi staf khusus urusan Cina (1967-1969). Pada awal kelahiran ASEAN, ia banyak menyumbang pikiran tentang bagaimana bangsa-bangsa Asia Tenggara harus bergandeng tangan tanpa mencampuri urusan dalam negeri masing-masing. Departemen Luar Negeri kemudian memintanya menjadi Sekretaris Umum Sekretariat Nasional ASEAN (1968-1969) di Jakarta. Dari urusan ASEAN, alumni Defense Service Staff College, Wellington, India ini pindah ke Singapura sebagai Dubes RI (1969-1972).

Soenarso juga nama penting dalam dunia intelijen Indonesia. Ia turut melahirkan Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin), dan pada 1973-1985 memimpin Badan Koordinasi Masalah Cina Bakin. Selepas tugas di Bakin, barulah kakek tujuh cucu yang pencinta anjing ini dapat lebih leluasa meluangkan waktu untuk keluarga—satu "kemewahan" yang belum sempat diraihnya selama dinas tentara. Ia juga bisa mengembangkan hobi yang lama terpendam: melukis.

Dengan pemikiran dan jasa-jasanya, Soenarso, yang selalu menjauh dari pers ini, bisa dikategorikan sebagai salah seorang arsitek politik era peralihan Orde Lama ke Orde Baru. Tatkala Bung Karno berkuasa, ia adalah orang kepercayaan Jenderal A. Yani untuk berbagai "misi khusus" dengan Bung Karno. Dan ketika Soehato naik ke kursi orang nomor satu di republik ini (1967), ia banyak membekali presiden muda itu dengan pandangan politik, terutama pada masa awal kekuasaannya. "Saya hanya ikut mengantar Pak Harto ke dalam pemerintahan baru," ujarnya.

Peristiwa tak terlupakan dalam karirnya adalah tatkala ia, selaku Direktur Polisi Militer dan Ketua Tim Pemeriksa Pusat, harus memeriksa Bung Karno. "Bung Karno adalah guru, pemimpin, juga orang tua bagi saya. Memeriksa beliau adalah tugas yang menimbulkan rasa sedih bukan main," ujarnya kepada TEMPO.

Pekan lalu, di rumahnya yang sejuk oleh hawa kebun yang rimbun, Soenarso menerima wartawan TEMPO Setiyardi, Hermien Y. Kleden, serta fotografer Fernandez Hutagalung untuk wawancara khusus. Dalam usianya yang 74 tahun—dengan postur langsing dan tutur kata yang halus—ia lebih mirip seniman ketimbang jenderal. Tubuhnya masih bugar. Dan rangkaian peristiwa masa lalu masih tersimpan baik dalam ingatan Soenarso.

Petikannya:


Mengapa Anda yang dipilih untuk memeriksa "keterlibatan" Bung Karno dalam G30S?

Saya tidak tahu. Yang jelas, tugas itu sangat berat dan menimbulkan rasa susah yang bukan main. Sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata, presiden adalah pemimpin dan komandan. Dan hubungan pribadi kami yang begitu baik membuat saya menganggapnya sebagai orang tua sendiri. Tapi saya sadar bahwa saya adalah satu-satunya orang yang bisa melakukan tugas tersebut.

Karena Anda dekat dengan Bung Karno?

Itu satu hal. Tapi juga karena mengerti politik dan menjabat Direktur Polisi Militer. Masalahnya, memeriksa Bung Karno, kan, tentu tidak bisa seperti memeriksa pesakitan. Apalagi, secara formal ketika itu Bung Karno masih presiden RI.

Bagaimana Anda memulai pemeriksaan itu?

Tiap hari saya ke istana untuk berbincang-bincang dengan Presiden. Laporan pemeriksaan itu saya buat pada Januari 1967—jadi peristiwa itu berlangsung sekitar 1966. Selama berbulan-bulan saya bolak-balik ke Istana Merdeka. Mula-mula kita ngobrol macam-macam. Dari kesehatan, lukisan, apa saja. Bung Karno bahkan sempat ngomong soal cewek, ha-ha-ha....Obrolan rutin ini perlu untuk memantau perkembangan informasi.

Apakah waktu pertemuan ini teratur?

Biasanya pagi hari, dan berlangsung sekitar satu jam. Biasanya kami minum kopi bersama sembari omong-omong. Kalau saya belum sempat makan pagi, Bung Karno biasa mengajak saya sarapan. Hidangannya roti, nasi goreng. Atau makanan Jepang, yang memang amat digemari Bung Karno.

Tapi Anda, kan, tidak bisa terus-menerus ngobrol. Jadi, bagaimana memberi tahu Bung Karno bahwa tugas Anda adalah memeriksa Presiden?

Ya, akhirnya saya katakan terus terang bahwa saya harus memeriksa Bung Karno. Beliau sempat terperangah dan bertanya, "Memeriksa apa?" Saya bilang, yang harus saya periksa adalah seberapa jauh Bung Karno tersangkut dalam soal G30S. Saya melihat perubahan wajah Bung Karno. Tapi beliau tidak marah. Bung Karno sadar bahwa G30S adalah soal yang amat penting.

Apakah teknis pemeriksaan dilakukan secara tanya-jawab?

Tidak. Dan saya juga pusing memikirkan caranya. Akhirnya, saya coba buat satu halaman surat berisi daftar pertanyaan yang harus dijawab Bung Karno.

Bagaimana cara Anda menyusun pertanyaan itu?

Saya lupa. Tapi intinya begini: surat itu disusun sedemikian rupa sehingga kalau Bung Karno menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, kita akan tahu bagaimana posisi Bung Karno dalam peristiwa tersebut. Akhirnya, Bung Karno bersedia menjawab surat itu. Ia meminta saya kembali dalam dua hari untuk mengambil jawabannya.

Apa saja pertanyaan yang diajukan?

Ada beberapa hal, seperti mengapa Omar Dhani mengerahkan pasukan untuk membantu Aidit. Mengapa ia memberikan pangkalan di Halim untuk dijadikan markas pasukan Pemuda Rakyat. Sebagai Panglima AU, Omar Dhani tidak akan berani mengambil tindakan tertentu bila tidak ada perintah dari panglima besar. Dan panglima besar hanya satu: Bung Karno.

Bagaimana jawaban Bung Karno?

Sayang, beliau tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Bung Karno memang menulis semacam "jawaban" dalam dua lembar kertas. Tapi isinya hanya soal yang sangat umum, seperti kondisi politik pada waktu itu. Singkatnya, jawaban itu tidak jelas dan tidak menjawab.

Kepada siapa jawaban itu Anda laporkan?

Pak Harto. Reaksinya tentu saja tidak puas karena Angkatan Darat tidak bisa mengambil kesimpulan apa-apa dari jawaban itu. Setelah itu, Pak Harto mendapat Supersemar, dan Angkatan Darat bisa melakukan tindakan nyata untuk menegakkan hukum. Langkah pertama yang dilakukan adalah membubarkan PKI dan menangkap para pemimpinnya. Letkol Untung dapat ditangkap, Oemar Dhani—meski sempat melarikan diri ke Bangkok—juga dipulangkan dan ditangkap untuk diadili.

Lalu apa pendapat Anda tentang Peristiwa G30S?

Waktu itu saya masih kolonel. Saya ditarik dari Seskoad, di Bandung, menjadi Kepala Seksi Keamanan dan Politik Koti. Sebagai seorang pengajar di Seskoad, saya lebih banyak melihat persoalan itu dari sudut pandang ilmiah, bukan politik. Saat itu, saya semakin tidak memahami langkah-langkah Bung Karno. Ia mengubah politik luar negeri bebas aktif hingga terbelokkan ke arah New Emerging Forces (Nefo) yang kekiri-kirian. Jadi, konsep politik yang tadinya berdasarkan dasasila Konferensi Asia-Afrika dan Amerika Latin, yang semula bebas aktif, tiba-tiba berubah. Maka, terbentuklah poros Jakarta-Phnom Penh-Peking-Pyongyang.

Menurut Anda, apakah ini memang strategi Bung Karno?

Barangkali ini hanya taktik. Pada saat tertentu, Indonesia harus mengambil sikap berbeda. Tapi perkembangan politik di dalam negeri, kok, makin ke kiri. Lagi pula, kita harus ingat bahwa PKI telah dua kali melakukan pemberontakan (1926 dan 1948).

Tapi, kan, pada pemberontakan PKI Madiun 1948, Bung Karno bisa bersikap tegas. "Pilih saya atau Muso!" kata Bung Karno. Bukankah ini berbeda dari situasi pada 1965?

Tentu saja. Dan ketika itu rakyat memilih Bung Karno. Sayangnya, saat itu terjadi agresi militer Belanda. Kita jadi repot dan tidak sempat mengambil tindakan hukum kepada para pemberontak. Akhirnya, para tawanan PKI itu dilepas begitu saja.

Kembali ke era 1965, apa peran Anda setelah ditarik ke Koti?

Kantor saya terletak di sebuah gedung di Departemen Pertahanan dan Keamanan, Jalan Merdeka Barat. Kalau ada urusan yang vital, Bung Karno selalu rapat di tempat saya. Jadi, kami seperti kabinet saja. Segala kebijakan eksekutif diambil di tempat kami. Saya sendiri heran, mengapa roda pemerintahan dijalankan dengan cara begini. Saya senang karena dipercaya dan "dipakai" oleh Bung Karno. Tapi tetap saja hal ini tidak menghilangkan rasa heran saya.

Sejauh mana "kekuasaan" Anda?

Koti itu seperti pusat kekuasaan. Semua persoalan pertahanan, sosial, politik, dan berbagai persoalan lain diputuskan di sana. Bahkan, kami bisa memberi perintah kepada para menteri. Ketika itu, saya harus memantau semua partai politik. Koti mengeluarkan rapor partai-partai politik itu. Hasilnya saya berikan ke Presiden. Kami juga memberikan masukan ke Presiden mengenai perkembangan yang terjadi di masyarakat.

Jadi, peran Koti seperti penghubung pemerintah dengan masyarakat?

Persis. Yang jelas, Koti saat itu seperti menjadi mediator antara pemerintah dan masyarakat. Dalam pada itu, peran PKI pun kian menonjol. Segala ucapan Bung Karno selalu menjadi alat bagi PKI untuk digunakan bagi kepentingan politiknya.
Bahkan, keinginan-keinginan PKI selalu dikabulkan oleh Bung Karno. Suara partai lain biasanya tidak didengar Bung Karno.

Mengapa PKI bisa begitu dekat dengan Bung Karno?

Secara prinsip, Bung Karno menghendaki agar rakyat lebih revolusioner, aktif dan dinamis. Dalam hal ini PKI klop dengan Bung Karno. Dan jangan lupa, mereka terdiri dari orang pintar dan mampu menguasai psikologi massa.
Anak buah saya yang pintar-pintar pada jadi PKI, ha-ha-ha….

Menurut Anda, apa kerugian utama dari sikap politik Bung Karno yang kekiri-kirian?

Poros Jakarta-Phnom Penh-Peking-Pyongyang benar-benar membuat kita terisolasi. Kita memusuhi negara-negara tetangga. Padahal, kalau rumah kita kebakaran, yang pertama kita mintai pertolongan pasti tetangga. Ini hal-hal yang tidak kita mengerti. Dan tidak pernah ada penjelasan dari Bung Karno. Kalau kami tanyakan, jawabannya selalu tidak memuaskan. Ketika itu Bung Karno tidak mampu mengatakan "tidak" kepada PKI.

Sebagai perwira Angkatan Darat, apa usaha Anda untuk keluar dari keadaan ini?

Kami tidak mau main politik praktis. Tapi, menurut saya, kita perlu mengerti pemikiran-pemikiran PKI. Saya kerap mengajak tokoh-tokoh mereka untuk diskusi. Saya mengundang D.N. Aidit (Ketua Komisi Sentral dan Politbiro PKI 1954-1965) untuk berbicara di Seskoad. Dengan demikian, kami jadi mengerti kerangka berpikir mereka.

Lalu seperti apa, antara lain, pemahaman Anda terhadap cara berpikir mereka?

PKI selalu berbicara tentang demokrasi. Tapi sebetulnya mereka tidak pernah bisa menerapkan demokrasi. Dan kalaupun mereka mau menggunakan demokrasi, itu pasti untuk kepentingan mereka. Waktu itu, Bung Karno sempat ingin menyatukan semua partai politik menjadi "Partai Pancasila". Kalau ini terjadi, sebetulnya semua partai ini akan jadi PKI.

Bagaimana hubungan Anda dengan Bung Karno waktu itu?

Dekat sekali. Suatu waktu, ketika Bung Karno mau kawin dengan Dewi, Jenderal Yani mengirim saya menghadap Presiden di Tokyo. Pak Yani minta saya membujuk BK agar mengurungkan niatnya. Soalnya, ketika itu orang ribut dan Pak Yani ingin mengamankan BK. Kami bicara empat mata. Bung Karno marah tapi bisa menerima. Dia bahkan sempat mengurungkan niatnya, kendati akhirnya menikah juga. Itu sekadar contoh kedekatan kami. Intinya adalah saya merasa bisa ngomong apa saja dengan BK. Tapi BK saat itu sudah sangat dipengaruhi PKI. Partai-partai politik selalu kalah jika harus berhadapan dengan PKI.

Apa keunggulan PKI dari partai politik lainnya?

Partai politik lain kalah pintar dari PKI. Dari sinilah, akhirnya, lahir Front Nasional yang kemudian membangun Sekber Golkar. Di situ tentara sudah mulai bermain. Jadi, Angkatan Darat ikut membangun Golkar dan bersama partai lain menghadapi PKI.

Mengapa Angkatan Darat begitu dominan? Apakah dominasi sudah terjadi pada masa itu?

Angkatan Udara dan Angkatan Laut lebih bersifat teknis. Jadi, mereka tidak bisa disalahkan kalau tidak terlalu dominan. Angkatan Udara, misalnya, hubungannya dengan mesin, kapal terbang, radar, ya, macam-macam persoalan yang berbau high tech. Kalau tidak mengikuti perkembangan teknologi, mereka tidak bisa berperang. Lagi pula, kalau kita melihat perkembangan sejarah, sejak dulu Angkatan Darat selalu terlibat bila timbul persoalan gawat.

Bagaimana dengan kepolisian, mengapa mereka tidak memiliki peran yang berarti?

Kalau kita tarik ke belakang, hal itu akibat politik zaman Belanda dulu. Ketika itu, polisi lebih berperan sebagai pamong praja. Urusan polisi lebih ke pemerintahan. Kalau terjadi apa-apa, mereka menunggu perintah. Akibatnya, di mata masyarakat, polisi tidak terlalu terhormat. Untuk memperbaiki citra, polisi meminta kepada Koti agar bisa dimasukkan dalam kategori "Angkatan Perang".

Siapa yang mendatangi Anda ketika itu?

Beberapa orang petinggi polisi, namanya saya lupa. Jadi, salah kalau dibilang Pak Harto yang menyatukan polisi ke dalam Angkatan Bersenjata. Sebaliknya, mereka sendiri yang minta jadi bagian dari ABRI.

Tahun berapa permintaan itu mereka lontarkan?

Sekitar 1964. Mereka melobi saya dan berkeluh kesah bahwa bila punya persoalan, rakyat lebih percaya untuk lapor ke polisi militer ketimbang polisi. Kalau dipikir-pikir, benar juga. Saya selalu dapat informasi soal keadaan rakyat dari polisi militer, bukan dari polisi.

Bagaimana mekanisme penerimaan polisi ke dalam ABRI? Kan, status polisi adalah pembantu jaksa?

Bung Karno membuat undang-undang yang membebaskan polisi dari kedudukan sebagai pembantu jaksa. Departemen Hankam juga mulai membicarakan keinginan polisi untuk bergabung. Tapi Pak Nas tidak setuju dengan ide tersebut karena karakter polisi dan tentara sangat berbeda. Ketika perdebatan masih terjadi, pecah pemberontakan PKI. Akhirnya, Pak Harto turun tangan menerima polisi ke dalam ABRI.

Mengapa Bung Karno mau membuat undang-undang yang mengubah status polisi?

Bung Karno itu orang yang terbuka. Tiap pukul 6 pagi, Bung Karno sudah menerima tamu. Biasanya, siapa yang cepat datang ke sana, bisa bertemu dan ngobrol-ngobrol dengan Bung Karno sambil sarapan pagi. Nah, rupanya kepala kepolisian juga melobi Bung Karno soal nasib polisi dalam acara sarapan.

Anda pernah dimintai pendapat oleh Bung Karno soal ini?

Tidak secara langsung. Tapi, saya sering berdiskusi dengan pimpinan polisi pada masa itu. Saya katakan bahwa bila kita perang, secara teori kita ingin perang di luar negeri, bukan di dalam negeri. Bila tidak, kita akan melakukan gerilya seperti dulu. Karena itu, polisi tetap harus melindungi rakyat. Bila polisi ikut berperang, wah, nanti tidak ada yang menjaga rakyat.

Tentang hubungan Anda dengan Pak Harto. Seberapa dekat hubungan Anda berdua?

Cukup dekat. Pada saat transisi dari Bung Karno ke Pak Harto, saya menjadi mediator kedua tokoh itu. Saya mulai renggang dengan Pak Harto karena saya tidak setuju dengan beberapa prinsip yang dia jalankan. Misalnya, terlalu banyak memberikan sesuatu yang bukan porsi tentara kepada tentara yang menjadi orang-orang dia, seperti jabatan di departemen atau badan usaha milik negara. Terus terang, saya tidak setuju dengan kebijakan seperti itu. Mengurus perusahaan minyak, misalnya, itu kan bukan tugas tentara.

Tapi Anda terlibat aktif pada awal pemerintahan Pak Harto. Apa motivasi Anda?

Kalau boleh jujur, saya merasa harus melakukan sesuatu untuk kepentingan negara. Saya tidak melihat orang, tetapi negara. Saya tidak mengharapkan apa-apa. Tentu saja, hal ini bukan tanpa risiko.

Dan setelah terjadi G30S, Anda sepertinya mendukung Pak Harto?

Sebetulnya, ini prinsip ketentaraan. Kami selalu mencari orang paling senior untuk dijadikan pemimpin. Waktu itu saya juga menjadi Direktur CPM. Saya tanya kepada anak buah saya, siapa jenderal yang selamat. Ternyata ada Pak Harto. Saya lalu datang ke Kostrad dan melaporkan keadaan kepada Pak Harto (saat itu Panglima Kostrad) Itu langkah yang wajar. Pak Harto meminta agar tidak terjadi pertempuran sesama tentara. Sebelumnya, saya merasa sangat sedih. Saya duduk di tangga kantor saya di Jalan Merdeka Timur. Begitu mengetahui jenderal-jenderal Angkatan Darat dibunuh, kepala saya seperti terpotong.

Apakah CIA (badan intelijen Amerika) terlibat dalam G30S?

Oh, kalau itu, pasti. I'm very sure. I'm positive. Mereka datang ke kantor saya di Koti dan menawarkan macam-macam, terutama soal informasi.

Omong-omong, Anda kan ikut mendirikan Bakin. Bagaimana ceritanya?

Saya ikut, tapi bukan salah satu founding fathers. Pada awal Orde Baru, Pak Harto meminta saya memegang intelijen Angkatan Darat karena selama ini saya sudah di Koti dan mengoordinasi dunia intelijen. Tapi secara formal saya tidak bisa duduk di sana karena sudah memegang jabatan lain.
Akhirnya, saya menunjuk Sutopo Yuwono untuk memimpin badan intelijen kita.

Apa pendapat Anda tentang dunia intelijen kita sekarang?

Kerja intelijen kita sudah tidak fokus. Betul-betul payah. Untuk memperbaiki keadaan ini, perlu biaya yang besar karena intelijen yang baik harus didukung peralatan canggih. Tapi, terus terang, pemerintah kita tidak punya uang cukup untuk memenuhi hal itu sekarang.

Anda sempat jadi dubes di Singapura. Apakah Anda merasa "dibuang" Pak Harto karena menempatkan Anda di jabatan itu?

Yang merasa begitu justru Pak Nas. Saat saya melapor soal pengangkatan ke Singapura, beliau sangat marah. Tapi akhirnya saya terima jabatan itu. Tahun 1972, saat pulang dari Singapura, Pak Harto masih sempat menawari berbagai jabatan, dari menteri sampai gubernur Jawa Timur. Tapi tetap saya tolak. Saya betul-betul ingin bersama keluarga. Anak-anak mulai besar dan saya ingin melewatkan waktu lebih banyak bersama mereka.

Jadi, itu sebabnya Anda menolak berbagai jabatan itu?

(Terdiam sejenak) Ya. Dan mungkin juga karena saya bosan jadi pembesar, ha-ha-ha....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus