DI saat dunia sedang memberlakukan hak asasi manusia sebagai primadona, Tentara Nasional Indonesia terlihat begitu buruk rupa. Dari Sabang sampai Merauke, berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia akhirnya bermuara ke aparat militer, terutama di Aceh, Timor Timur, Papua, dan sejumlah daerah bergolak lainnya. Akibatnya, hujan hujatan begitu sering dikirim ke alamat TNI dan membuat bekas Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sudrajat pernah menggerutu. "Kalau dihujat terus, lama-lama TNI bisa ragu dalam melaksanakan tugas," katanya suatu ketika.
Tapi betulkah pelanggaran hak asasi tak bisa ditolak dari pekerjaan militer? Dalam konteks Indonesia di era Orde Baru, tampaknya ya. Soalnya, doktrin yang diterapkan TNI kala itu mewajibkan tentara mendukung PUNP alias Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan, dan Pemerintah. Dalam kewajiban mendukung pemerintah inilah TNI merasa punya wewenang untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap masyarakat yang menentang program pembangunan. Maka, aparat TNI lantas terlibat dalam urusan pemilu, pembebasan tanah demi melancarkan investasi, dan mengatasi sengketa buruh demi melancarkan roda ekonomi. Itu sebabnya ekses pemaksaan dukungan kepada Golkar terjadi di sekitar jaringan aparat militer di masa lalu. Kasus Nipah di Madura dan tragedi Marsinah mencorengkan aib pada aparat TNI di Jawa Timur.
Kini, sejak TNI memberlakukan paradigma baru dalam doktrinnya, diam-diam kata pemerintah dicoret dari doktrin. "TNI hanya wajib mendukung Pancasila, UUD 1945, dan Negara Kesatuan RI," kata seorang perwira tinggi yang tak mau disebut namanya. Tapi kesalahan sejarah memang tidak bisa dihapuskan dalam sekejap. Kalaupun tugas-tugas ketertiban masyarakat kini diserahkan kepada polisi, pasukan baju cokelat itu sendiri tidak punya kemampuan yang cukup. Rasio jumlah polisi dan masyarakat saat ini adalah 1 : 1.200. Padahal, menurut PBB, idealnya perbandingan itu adalah 1 : 300.
Maka, saat ini, yang kerap dilakukan TNI adalah menggunakan sistem bawah kendali operasi (BKO). Artinya, militer diperbantukan kepada polisi untuk menyelesaikan kasus tertentu. Teknik inilah yang sekarang digunakan di Aceh dan yang dipakai untuk membendung aksi-aksi mahasiswa serta masyarakat kritis lainnya.
Namun, dalam pelaksanaannya, teknik ini pun ternyata sering "dilipat". Dalam BKO, misalnya, yang mesti memegang kendali adalah polisi. Logikanya, tentara cuma menjadi pembantu, sedangkan peluit komando berada di tangan aparat berbaju cokelat tersebut. Dalam pelaksanaannya, kejadiannya bisa sebaliknya, apalagi kalau peristiwa yang ditangani bersifat politik. Dalam kasus pengamanan Sidang Umum MPR dan pengamanan Maluku, polisi jelas-jelas underdog.
Padahal, dipegangnya komando di tangan polisi ini penting betul. Polisi, logikanya, memegang prinsip kehati-hatian sebelum timah panas perlu benar-benar dimuntahkan. "Tapi, karena prinsip komando polisi ini dilanggar, tindakan-tindakan yang mestinya polisional berubah menjadi militeristik," kata kriminolog asal Universitas Indonesia, Adrianus Meliala.
Selain itu, menurut Adrianus, prinsip permintaan BKO oleh polisi pun sering dilanggar. Akibatnya, proses BKO hanya menjadi tameng untuk menjustifikasi keterlibatan tentara. Walhasil, dalam beberapa kasus, jumlah tentara yang di-BKO-kan bisa lebih banyak daripada polisi yang di depan.
Nah, sulitnya lagi, kondisi gangguan sosial di Indonesia kadang-kadang memang payah untuk diatasi dengan pendekatan polisional. Di Aceh, misalnya, serangan bersenjata Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) tak bisa dilihat sebagai gerakan sipil biasa, tapi sudah membutuhkan operasi lawan insurgensi. Akibatnya, tentara lagi-lagi punya "paspor pembenaran" untuk main kayu. "Kondisi ini memang dilematis," kata Adrianus.
Di tengah keadaan yang merepotkan itu, ada juga beberapa aparat TNI yang mencoba menerapkan pendekatan hak asasi dalam tugas militernya. Pada 1996 lalu, misalnya, Panglima Daerah Militer VIII/Trikora, yang ketika itu dijabat Mayor Jenderal TNI Dunidja, pernah membuat buku pedoman pelaksanaan hak asasi manusia kepada jajaran. Dalam buku yang sempat mendapat pujian kalangan aktivis hak asasi itu, Dunidja menekankan bahwa atasan yang memberikan perintah yang bisa mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia kepada bawahannya bisa dikenai hukuman yang keras—bahkan lebih keras dari bawahan yang melaksanakan. Tapi, dalam kenyataannya, setelah pedoman itu disiarkan, kekerasan masih terjadi di wilayah yang menjadi daerah pengawasan Komando Daerah Militer VIII/Trikora—kendati diakui terjadi perbaikan.
Jadi, apa masalahnya? "Meski ada buku petunjuk, di lapangan, TNI dihadapkan pada pilihan hidup atau mati selain juga diberi target. Soal hak asasi jadi tidak terpikirkan," kata pengamat politik M.T. Arifin. Barangkali itu sebabnya, kendati pelajaran soal hak asasi manusia sempat diberikan di jajaran Kopassus ketika masih dipimpin Mayjen Prabowo Subianto, hal itu tak menghalangi kegiatan penculikan aktivis mahasiswa dalam operasi Mawar oleh anggota pasukan elite ini.
Lantas, bagaimana solusinya? Mengingat kegiatan polisional sering menjadi sumber pelanggaran hak asasi, sementara polisi tidak memadai jumlahnya untuk mengatasi kerawanan keamanan, ada usul bagus. Sebagian besar aparat teritorial TNI—kini jumlahnya sekitar 150 ribu—dilatih soal hukum dan dijadikan Brimob saja. Usul ini, kabarnya, sedang digarap serius di dapur TNI.
Arif Zulkifli, Arif A. Kuswardono, Purwani Dyah Prabandari (Jakarta), Dapinto Janir (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini