Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ampuhnya Film Propaganda

Film propaganda tentara Jepang bisa lebih efektif daripada kampanye di media cetak.

15 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejarawan Jepang Aiko Kurosawa, di kediamannya, kawasan Lenteng Agung, Jakarta, 9 September 2015. Dok. TEMPO/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FILM dianggap sebagai media propaganda terpenting bagi tentara Jepang. Sebab, film bisa langsung masuk ke otak melalui sensasi audio-visual serta sangat praktis pada zaman saat komunikasi verbal antara penjajah dan yang dijajah sangat terbatas. Film juga bisa mengalahkan media cetak pada zaman ketika tingkat literasi masih rendah.

Untuk pemakaian film sebagai alat propaganda, pemerintah militer Jepang mengutus dua perusahaan ke Jawa, yaitu PT Nichiei yang menangani pembuatan film dan PT Eihai yang mengurus distribusi segala film. Eihai juga mengurus impor film Jepang. Dua PT ini ditempatkan di bawah pengawasan Sendenbu (Departemen Propaganda) dari Gunseikanbu. Nichiei mempergunakan gedung dan peralatan, termasuk tustel, serta bahan seperti film dan obat untuk mencucinya yang ditinggalkan oleh sebuah perusahaan Belanda yang bernama Multifilm.

Kualitas alat dan bahan yang disita dari perusahaan tersebut jauh lebih tinggi daripada yang dimiliki Jepang pada zaman itu. Maka staf Nichiei sangat gembira dan antusias menjalankan usaha pembuatan film. Pembuatan film propaganda dipusatkan pada jenis berita dan dokumenter. Film berita disajikan setiap dua minggu untuk memberitakan kemenangan tentara Jepang, kunjungan orang besar, perkembangan politik dalam negeri, dan sebagainya. Sukarno juga sering masuk berita dan pidatonya disiarkan utuh. Karena itu, film merupakan kesempatan baik untuk menyebarkan suara Bung Karno langsung kepada masyarakat luas.

Film dokumenter juga berguna bagi Jepang karena bisa mengandung pesan yang lebih jelas dan tepat (pinpoint). Ada yang mengandung unsur propaganda politik, seperti membangkitkan kebencian terhadap negara Barat serta menekankan keindahan dan kemurnian maksud Jepang berperang. Ada pula film dokumenter yang mengandung pesan sosial-budaya dan moral. Misalnya upaya meningkatkan kegiatan ekonomi serta memperkuat kesetiaan kepada negara dan orang tua. Juga ada yang membangkitkan pertahanan Tanah Air dengan sekaligus memberi pelajaran tentang pemakaian senapan, bambu runcing, dan sebagainya. 

Pilihan film Jepang (film cerita) yang dipertontonkan di Jawa juga sejalan dengan hal ini. Film-film ini tidak hanya dipertontonkan di bioskop yang jumlahnya terbatas (hanya ada 117 bioskop di seluruh Jawa). Film lebih sering disiarkan melalui tim keliling PT Eihai. Sebanyak 15 tim dibentuk dengan pangkalan di Jakarta, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, dan Malang. Setiap tim membawa peralatan dan pekerja di dalam truk, berkeliling dari desa ke desa. Penduduk suatu desa dan desa sekitarnya diundang untuk menonton film di alun-alun atau lapangan secara gratis.

Karena hiburan sangat sedikit pada zaman perang, penduduk senang menontonnya. Biasanya itu kesempatan pertama mereka menyaksikan tontonan yang disebut gambar hidup atau film. Kebanyakan informan yang saya wawancarai pada awal 1980-an di perdesaan mengatakan pernah menonton dan “senang”. Mereka tidak bisa mengetahui apakah ada efek propaganda atau tidak, tapi paling tidak mereka mengenal Jepang melalui pemutaran film dan bisa menghilangkan ketakutan.

Apa dampak usaha pembuatan film PT Nichiei terhadap dunia perfilman di Indonesia sesudah merdeka? Di antara pegawai lokal Nichiei, ada Raden Mas Sutarto. Dia juru foto yang sebelumnya bekerja untuk Multifilm. Pada waktu Nichiei dibentuk, dia diambil sebagai salah satu pegawai yang paling senior. Ketika perang selesai, semua fasilitas Nichiei diserahkan kepada Sutarto dan rekan-rekan juniornya. Dia lantas mendirikan PT Berita Film Indonesia memakai fasilitas Nichiei itu. Sayangnya, tatkala ibu kota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta pada November 1945, mereka tidak bisa membawa fasilitas Nichiei sepenuhnya. PT Berita Film Indonesia diambil alih oleh pemerintah RI dan Sutarto menjadi kepala biro film dan komunikasi di departemen informasi yang mewarisi Sendenbu zaman Jepang. Sutarto memiliki peran penting dalam sejarah perfilman RI.

Banyak pegawai yang dikirim ke Indonesia sebagai anggota Nichiei yang terkenal. Salah satunya Chonosuke Ise. Dia ditempatkan di Jawa saat Nichiei membuka cabang di Jakarta. Chonosuke membuat film tentang panggilan untuk romusa yang menjelaskan betapa kehidupan sebagai romusa penting dan cukup nyaman. Dia juga membuat film untuk mempromosikan pemberantasan malaria dan pemeliharaan kesehatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Aiko Kurasawa

Aiko Kurasawa

Sejarawan, profesor emeritus Keio University, Jepang

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus