Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font color=#FF0000>Berzikir</font> Memecah Batu

Pondok Pesantren Suryalaya penganut tarekat ortodoks Qadiriyah Naqsabandiyah. Tasawuf konservatif yang tak lekang oleh zaman.

29 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selasa pekan lalu, pagi baru tiba di Desa Tanjungkerta, Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya. Kokok ayam jantan masih bersahut-sahutan, tapi Pondok Pesantren Abah Anom, Suryalaya, sudah sejak tiga jam lalu penuh dengan aktivitas. Salah satunya yang dilakukan para santri di Masjid Nurul Asror itu.

Kiai Sandisi adalah salah seorang mursyid, artinya yang mencerdaskan, istilah untuk guru sufi. Apa yang tengah dilakukan para santri itu, kata Sandisi, disebut sebagai talqin, yang berarti belajar. Talqin diumpamakan menanam tunas baru yang harus dirawat. Tunas itu, kata Sandisi, dipagari oleh zikir berupa kalimat la ilaha ilallah yang diucapkan setiap usai salat lima waktu. ”Kemudian harus disiram dengan khataman dua kali seminggu setiap Senin-Kamis, lalu dipupuk dengan manaqib atau pengajian bulanan,” katanya. Khataman sendiri berarti penu­tup atau kumpulan dari semua doa.

Inilah sebagian dari tradisi tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah yang menjadi ”nyawa” pesantren yang berdiri sejak 1905 ini. Berasal dari Abdul Qadir Jaelani, guru sufi Iran pada abad ke-12, pengikutnya diperkirakan berjumlah sekitar 10 juta orang. Cabang-cabangnya antara lain ada di Jakarta, Bandung, Pontianak, Medan, hingga ke Sarawak, Terengganu, Kedah, dan Singapura. Masing-masing cabang memiliki wakil talqin, alias sang guru yang punya kuasa mengajar sekaligus membaiat—memberikan inisiasi kepada anak murid.

Dijelaskan Kiai Zaenal Abidin Anwar, salah seorang wakil talqin yang ada, tasawuf di situ diartikan sebagai upaya menggapai Allah sebagai S ang Pencipta; mencapai mardhatilah (keridaan Allah), makrifat (siapa Allah), dan mahabah (cinta Allah). ”Kalau kita belum berhasil mencapai tujuan itu, berarti masih ada kendala dalam hati yang harus dibersihkan, seperti musyrik, akhlak jelek, atau penyakit hati lainnya,” ujar Zaenal.

Pondok ini menjadi bagian dari 45 kelompok di sekitar Nahdlatul Ulama yang disebut muktabaroh, yakni kelompok-kelompok yang ajarannya tidak menyimpang dari syariah dan gurunya mendapat turunan langsung dari Nabi Muhammad. Landasannya Al-Quran, hadis Nabi, dan qiyas. ”Pelaksanaannya sahih, menggunakan Islam, iman, dan ihsan,” katanya.

Metode ini intinya bertumpu pada dua macam zikir: Qadiriyah dan Naqsabandiyah. Untuk mengamalkan zikir yang pertama, setiap santri harus mengucapkan la ilaha illalah paling sedikit 165 seusai salat lima waktu. Kalau tidak sempat, boleh diucapkan tiga kali saja, meski tetap harus di-qodho, diganti, pada waktu senggang. Pun bisa ditu­naikan pada salat sunat. Yang jelas, jumlahnya tak boleh kurang dari 165 kali, lebih banyak lebih baik.

Sebelum melantunkan zikir la ilaha ilallah ini, kata dia, ada tiga syarat yang harus dipenuhi para ikhwan. Pertama, tak boleh batal berwudu. Kedua, kata Sandisi, suara harus jelas dan kuat serta tidak boleh ditambah atau dikurangi. Dia mencontohkan, ada zikir mengucapkan la ilaha illalah yang dientakkan pada saat kata la pertama. ”Seolah menambah hu­ruf alif atau hamzah,” katanya.

Yang benar, kata dia, pelafalan kata la itu harus lurus atau datar. Entakan baru dilakukan saat mengucapkan ilallah. Alasannya, kata dia, karena hati, seperti digambarkan oleh Nabi, keras seperti batu. ”Karena itu, berzikir dengan menekankan kata ilallah bagaikan memecah batu dengan martil,” katanya.

Yang ketiga, tak cukup diucapkan dengan lisan, tapi juga ditanamkan ke dalam roh secara fisik. Untuk mencapai­nya, ada tiga tahap. Pertama, saat meng­ucapkan kata la, ikhwan harus merasakannya hingga terbentang di tengah dada. ”Tarik dari bawah pusar, melin­tang melalui dada, hingga ke tengah otak,” ujarnya.

Saat mengucapkan kata ini, kepala ditarik dari posisi yang semula menunduk menjadi menengadah. Kedua, ­mengucapkan ilaha seraya menundukkan kepala ke arah rusuk kanan. Setelah itu, tahap ketiga, mengentakkan kata ilallah seraya memalingkan kepala ke arah rusuk kiri.

Ini semua bukan khayalan pesantren saja, kata dia, tapi murni berdasarkan Al-Quran, surat Al-Araf ayat 16 dan 17. Ayat itu menyebutkan ihwal iblis yang bersumpah akan menghalangi manusia yang akan beribadah kepada Allah. ”Jika tidak bisa, iblis akan masuk ke dalam tubuh manusia melalui pintu depan, belakang, kanan, dan kiri,” katanya.

Karena itulah metode zikir ini akan menjadi benteng di empat pintu tubuh manusia. Manfaatnya, hati menjadi lembut. ”Kalau ada yang menghina, kita tidak akan sakit hati. Tapi kita harus membalasnya dengan kasih sayang,” katanya.

KS, Rana Akbar Fitriawan (Suryalaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus