Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di Tengah Kota Mencari Ketenangan Jiwa

29 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Spiritualisme memang tidak pernah mati. Bukan hanya karena ia terus diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya dari kalangan masyarakat yang masih memegang tradisi ini. Tapi, ia ternyata justru muncul di pusat budaya yang sesungguhnya sedang kencang menuju ke arah yang sama sekali berbeda dengannya. Ya, seraya tidak kehilangan appeal-nya di ekonomi subsistem pedesaan, ia justru secara tak terduga menyembul di sana-sini di tengah-tengah materialisme modern perkotaan.

Meski gejalanya sudah tampak sejak tahun 1960-an bersama dengan berkembangnya counter culture di Eropa dan AS-yakni wilayah-wilayah pusat budaya baru ini-adalah Alvin Toffler yang mencatat di bukunya yang amat terkenal, Future Shock (1974), betapa di AS saja pada waktu itu telah bermunculan tak kurang dari 4.000 paguyuban spiritualisme. Pada saat hampir bersamaan, di negeri yang sama muncul suatu gagasan kontroversial yang dikenal dengan nama Aquarian frontier, suatu nama yang juga menjadi judul karya kontroversial Marylin Ferguson (1980). Di sekitar tahun yang sama, lahir gerakan re-enchantment of the universe, yang antara lain diartikulasikan dalam sebuah buku terkenal karya Morris Berman, lagi-lagi berjudul sama.

Gerakan-gerakan ini menandai kelahiran sebuah gerakan yang ingin mengembalikan kecenderungan parsialistik rasionalisme Cartesian dan sains Newtonian kepada paradigma holisme yang irasional (intuitif) dan kontrasains. Selain itu, sejalan dengan kecenderungan New Age yang juga menerpa wilayah-wilayah yang sama, gerakan Aquarian ini memperkenalkan kembali kepada masyarakat modern berbagai tradisi dan budaya pramodern seperti penyembuhan holistik, biofeedback, meditasi, dan yoga.

Kalau dilacak lebih jauh, ketiga gerakan ini sedikit banyak bersumber dari suatu gerakan yang lebih dini, yakni Teosofi, yang diprakarsai oleh seorang Madame Blavatsky pada 1830. Gerakan ini berkembang ke seluruh dunia dan melahirkan kecenderungan kepada spiritualisme, perenialisme-yakni kepercayaan kepada sumber-tunggal semua agama dan kebenaran-bahkan kesatuan agama-agama, serta kepercayaan dan praktek-praktek esoteristik (kebatinan).

Di sisi lain, peradaban manusia, khususnya di perkotaan, bergerak ke arah kehidupan modern dengan segala konsekuensinya-baik dan buruk. Kemakmuran, kemajuan teknologi, kemudahan dalam penyelenggaraan kehidupan sehari-hari, tapi juga kompetisi makin ketat yang melahirkan pressure yang terkadang tidak tertahankan, gaya hidup instant dan serba cepat-termasuk hal konsumsi makanan-yang tidak sehat dan menimbulkan stres, kekurangan waktu untuk memelihara kebersamaan dalam keluarga dan bersosialisasi, kerusakan ekologis, dan sebagainya.

Pada gilirannya, semua ekses itu menggoyahkan sendi-sendi kehidupan keluarga dan masyarakat. Sebagaimana dicatat oleh Tim American Psychological Association (APA), ketika mengajukan proposal mengenai perlunya dikembangkan psikologi perkotaan (urban psychology), kemajuan di perkotaan ternyata telah membawa juga bersamanya alienasi manusia modern dari dirinya sendiri. Pada puncaknya, hal ini meningkatkan anxiety, depresi, dan problem-problem mental-psikologis lainnya.

Lepas dari itu, kekosongan yang dirasakan justru ketika manusia telah mencapai kemakmuran material, seolah mengajarkan betapa kebahagiaan sesungguhnya tidak terletak di sana, melainkan di bagian yang lebih bersifat rohani (spiritual).

Memang, di samping maraknya berbagai respons yang bersifat deviatif-termasuk penyalahgunaan obat bius dan bunuh diri-manusia modern mengembangkan apa yang oleh Naisbitt disebut sebagai gejala high tech-high touch. Dalam konteks ini, arus balik itu mengambil bentuk menjamurnya paguyuban spiritual seperti tersebut di atas. Dan di antara berbagai orientasi spiritualisme, tak urung sufisme juga mendapatkan pengikutnya sendiri di kota-kota besar, bukan hanya di negara bermayoritas muslim, melainkan juga di negara Barat. Termasuk juga kelompok yang dipimpin Javad Nurbaksh, Idries Shah (dan saudaranya, Omar Shah), Bawa Muhaiyiddin, Syekh Nizham Kabbani, Syekh Fadhlullah Ha'iri, Hazrat Inayat, Khan, Syekh Abdl Kadir al-Sufi, Syekh Kabir Helminski, Fritjof Schuon, dan masih banyak lagi lainnya.

Pertumbuhan kota dan urbanisasi di negara berkembang kiranya hanya mengikuti apa yang terjadi di negara yang lebih dahulu maju. Indonesia tidak terkecuali. Barangkali menguatnya gejala kecenderungan kepada spiritualisme perkotaan-dalam hal ini, sufisme perkotaan-di Indonesia hanya ketinggalan paling lama dua dekade dibanding gejala yang sama di negara-negara maju. Pertama tentu akibat perkembangan komunikasi dan globalisasi di antara berbagai bagian dunia, yang menjadikan apa yang terjadi di suatu bagian dunia selalu memberikan pengaruh kepada bagian dunia lainnya.

Selain itu, di Indonesia sendiri muncul penyebab-penyebab yang sama, yang telah menghasilkan kecenderungan kepada spiritualisme seperti yang telah lebih dulu berkembang di negara maju. Itulah menguatnya kelas menengah kota sebagai hasil peningkatan secara pesat kemakmuran masyarakat berkat keberhasilan pembangunan ekonomi Orde Baru. Maka berkembangnya apa yang kemudian disebut urban sufism (sufisme perkotaan) adalah hampir-hampir bersifat alami. Kita ingat betapa sejak awal 1980-an buku tasawuf amat digandrungi oleh pembaca muslim perkotaan. Kegandrungan ini terbukti tidak hanya terbatas pada kelompok masyarakat kelas menengah yang memang berasal dari kalangan yang biasa disebut santri, melainkan-meminjam Geertz-juga dari sebagian kalangan priayi dan abangan yang mengalami gejala born-again muslims.

Akhirnya, ada satu hal penting yang-untuk keperluan akademis maupun praktis-perlu dijernihkan. Banyak orang, termasuk peneliti lokal dan asing, cenderung menggunakan (baca: merancukan) istilah sufisme (tasawuf) untuk beberapa hal yang sebetulnya tak sama persis. Mereka kadang memahami dan menggunakan istilah sufisme untuk menyatakan aspek teoretis dan filosofis dari esoterisme Islam, yang sesungguhnya paling tepat disebut sebagai 'irfan (gnostisime). Terkadang mereka mengidentikkannya dengan aspek lebih praktis dari tasawuf, yakni suluk (disiplin spiritual)-yang bisa diselenggarakan baik secara individual maupun berkelompok. Yang belakangan lebih berhubungan dengan manifestasi sosiologis dalam bentuk orde tasawuf (tarekat). Bahkan terkadang hanya dengan akhlak ataupun kesalehan (pietisme) yang bisa dilakukan oleh setiap muslim yang baik, tak peduli apakah mereka memiliki kecenderungan kepada sufisme ataupun tidak (termasuk kelompok ini bahkan kaum Wahhabi yang amat antitasawuf, ataupun Jamaah Tabligh yang menekankan pada kesalehan semata).

Memang, terkadang orang-dalam hal ini orang kota-bertasawuf dengan bergabung bersama kelompok menekankan pada 'irfan sebagaimana dipromosikan oleh kelompok seperti Paramadina, IIMaN, Tazkiya Sejati (dulu), atau Ibn Arabi Society di mancanegara. Terkadang juga mereka lebih tertarik pada tarekat yang lebih tradisional, baik yang berkembang di perkotaan maupun di wilayah yang lebih tradisional, seperti Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah yang berpusat di Suryalaya (Abah Anom). Ada juga yang merupakan kombinasi antara 'irfan dan tarekat, seperti Padepokan Thaha, ataupun yang dianggap sebagai lebih superfisial seperti Tarekat Kadirun Yahya. Ada juga yang cenderung kepada kelompok-baik lokal maupun impor-yang lebih dekat kepada New Age (perenialistik), semacam kelompok Beshara. Bahkan ada yang memasukkan kelompok yang mungkin lebih tepat disebut sempalan-bagi sementara orang, aliran sesat-seperti aliran Salamullah Lia Eden.

Penjernihan ini kiranya perlu demi menghindarkan pemahaman yang tidak fair kepada sufisme, yang hanya dapat memperpanjang berabad-abad sikap permusuhan dan penyesatan sebagian kelompok muslim kepada gerakan atau aliran tasawuf, yang sempat menghalangi tasawuf dari mendapatkan pengakuan kembali oleh mainstream muslim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus