Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font color=#FF9900>Biduk Cadangan</font> Para Kandidat

Sultan dan Prabowo menyiapkan sejumlah skenario. Hanya sudi jadi calon presiden.

2 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK pernah ada skenario tunggal dalam politik. Begitu juga bagi Sultan Hamengku Buwono X dan Prabowo Subianto, yang masuk daftar calon wakil presiden Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Pekan lalu, Prabowo mengunjungi sejumlah daerah di Nusa Tenggara Timur. Ia bertemu nelayan, petani, juga para pedagang di wilayah itu. Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra itu menyatakan siap maju sebagai calon presiden.

”Saya calon presiden Partai Gerindra,” katanya, mengomentari pelansiran namanya sebagai calon wakil presiden Megawati Soekarnoputri. Prabowo disambut sekitar seribu orang, di antaranya Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur Esthon Leyloh Foenay.

Tak main-main, sang Wakil Gubernur secara terbuka meminta warganya memilih Prabowo. ”Tanggal 9 April, pilihlah Partai Gerindra,” kata Foenay, yang bersama Frans Lebu Raya didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada pemilihan gubernur tahun lalu. ”Tanggal 8 Juli, pilihlah Prabowo sebagai presiden!”

Haryanto Taslam, mantan aktivis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang kini mengelola Media Center Gerindra, menyatakan partainya berusaha memperoleh tiket bagi Prabowo. Namun ia mengakui partainya juga memiliki skenario lain buat mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat itu. Apa skenarionya? ”Itu rahasia partai kami,” katanya.

Skenario lain itu digarap melalui lobi tingkat tinggi. Menurut sejumlah anggota tim pendukung Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo telah menjalin kontak dengan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu. Ini bukan perkara sulit, karena keduanya masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada 1970, meski Prabowo lulus setahun lebih lambat.

Dua orang ini juga banyak disokong pensiunan perwira seangkatan mereka. Sejumlah alumni Akademi Militer 1973 membentuk ”Tim Echo” untuk mendukung Yudhoyono. Digagas tahun lalu di Lapangan Golf Emerald, Cimanggis, Jawa Barat, tim ini dipimpin Marsekal (Purnawirawan) Djoko Suyanto, mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia.

Yudhoyono disokong, antara lain, oleh Mayor Jenderal (Purnawirawan) Glenny Kairupan, yang pernah menjadi Panglima Komando Daerah Militer Cenderawasih. Dalam lobi-lobi, seorang politikus pendukung Yudhoyono menyatakan kedua kubu sepakat menunggu hasil pemilihan umum legislatif.

Jika perolehan Gerindra tak cukup menopang Prabowo, mereka akan berpihak ke Yudhoyono—bukan Megawati. ”Tidak sebagai wakil presiden, tapi Prabowo akan masuk kabinet Yudhoyono,” kata sang politikus. ”Mungkin pos Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.”

Ahmad Mubarok, Wakil Ketua Partai Demokrat, menganggap informasi ini ”rumor yang bisa benar atau salah”. Ia mengatakan, kemungkinan koalisi partainya dengan Gerindra baru akan terlihat setelah pemilu legislatif.

Mubarok menduga Prabowo sebetulnya tidak benar-benar serius menjadi calon presiden. ”Dia hanya ingin menjadi tokoh yang diperhitungkan,” ujarnya. ”Posisi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan mungkin layak.”

Menurut Haryanto Taslam, partainya hanya menyiapkan Prabowo menjadi calon presiden. ”Kalau partai-partai lain menyebut Prabowo sebagai calon wakil presiden atau calon menteri, itu urusan internal mereka,” katanya.

Skenario lain juga disiapkan para pendukung Sultan Hamengku Buwono X, dengan tetap dalam posisi calon presiden. Skenario pertama, dicalonkan oleh Partai Golkar. Kedua, diajukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. ”Artinya, Megawati tidak jadi maju dan cukup menjadi kingmaker,” kata Bondan Nusantara, pendukung Sultan.

Skenario berikutnya, Sultan disokong oleh gabungan beberapa partai. Meth Kusumohadi, pendukung Sultan lainnya, mengklaim telah melobi sepuluh partai politik. ”Enam partai tegas menyatakan mendukung, empat lainnya dalam proses finalisasi mendukung,” katanya.

Menurut Meth, lobi-lobi ke partai itu dilakukan tim yang dipimpin Sukardi Rinakit. Sejauh ini, baru Partai Republikan pimpinan Muslim Abdurrahman yang terang-terangan menyatakan mendukung ”Sinuhun”.

Jika tiga skenario itu mampet, menurut seorang pendukungnya, Sultan menyiapkan jalur penyelamat: mundur dari pencalonan. ”Sultan akan mengembalikan mandat ke rakyat dan menyatakan bahwa undang-undang tidak memungkinkan dirinya menjadi calon presiden.”

Kalau ini benar, artinya Sultan ogah mendampingi Megawati sebagai calon wakil presiden. Padahal, di kalangan Golkar, usaha menyandingkan keduanya bukan tanpa pendukung. Misalnya Surya Paloh, Ketua Dewan Penasihat Golkar.

Untuk itu, Surya rajin mengunjungi daerah-daerah yang merupakan pendukung Sultan: Yogyakarta, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Papua, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Gorontalo. Para politikus Beringin sama mafhum, Surya ingin mewujudkan usaha yang dirintisnya dua tahun lalu: membangun koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar.

Pada 2007, pemilik Grup Media itu mensponsori pertemuan para politikus Golkar dengan Taufiq Kiemas, suami Megawati dan Ketua Dewan Pertimbangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, di Medan, Sumatera Utara. Kepada Tempo, Surya mengatakan koalisi dengan partai Banteng akan menguatkan Beringin di Dewan Perwakilan Rakyat.

Kekuatan besar di parlemen akan menguatkan pula kepemimpinan eksekutif, katanya, jika calon yang mereka ajukan juga memenangi pemilihan presiden. ”Saya rajin ke daerah untuk konsolidasi partai ini,” ujarnya.

Rully Chaerul Azwar, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar, mengatakan Ketua Umum Jusuf Kalla telah membaca gerakan Surya Paloh itu. Namun, menurut dia, Jusuf Kalla masih menganggapnya dalam batas wajar.

Demi kekompakan Golkar menjelang pemilihan umum, ia menjelaskan, Jusuf Kalla cenderung membiarkan manuver para politikus Beringin. ”Pak Jusuf sendiri untuk saat ini memilih bertahan dengan Yudhoyono,” ujar Rully.

Tentang langkah Sultan, menurut Rully, Dewan Pimpinan Pusat Golkar tidak akan memberinya sanksi. Golkar khawatir, kata dia, sanksi akan menimbulkan kesan Sultan dizalimi. Orang yang dikesankan menerima perlakuan tidak adil itu akan menarik simpati masyarakat. ”Jadi, biarkan saja,” ia menambahkan.

Budi Setyarso, Agus Supriyanto, Akbar Tri Kurniawan (Jakarta), Bernada Rurit (Yogyakarta), Jems Fortuna (Kupang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus