Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font color=#FF9900>Sisa-sisa Kerinci</font><font color=#FF3300> yang Magis</font>

Kawasan Kerinci dikenal memiliki banyak kesenian magis. Sebuah desa, misalnya, memiliki tradisi kesenian tusuk tombak seperti debus. Beda dengan kesenian Banten itu, di sana penarinya perempuan. Desa lain memiliki tradisi memanggil arwah harimau. Kesenian magis di Kerinci tapi makin lama makin hilang. Ikuti reportase wartawan Tempo Febriyanti dari desa ke desa di Kerinci, menyusuri dan mendengar berbagai kisah tentang tari magis yang tersisa.

19 Januari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Taratak taratak tak tum taratak taratak tak tum...
Taratak taratak tak tum taratak taratak tak tum...

DI tengah bahana tabuhan gendang, tiba-tiba perempuan itu mengambil dua bilah pedang di depannya. Dengan sekali entakan keras dan jeritan panjang, pedang itu ia tusukkan ke tubuhnya sendiri. Dalam sekejap kedua pedang itu bengkok seperti bumerang. Ratusan penonton di lapangan depan kantor Bupati Kerinci di Sungai Penuh tercekat.

Gendang terus dipukul. Perempuan itu bergerak memejamkan mata. Wajahnya mendongak ke langit. Dari bibir sang pawang keluarlah Seru. Seru dalam kebudayaan Kerinci adalah rapal untuk memanggil roh leluhur.

Beberapa lelaki menuangkan sekeranjang pecahan kaca di depannya. Lalu atraksi mengejutkan kembali terjadi. Pecahan kaca itu diinjak dengan entakan kuat, ia dan dua penari perempuan lain menari di atas pecahan kaca hingga berderak-derak. Selanjutnya mereka berjalan menginjak telur yang disusun di atas batang pisang. Badan mereka seolah sangat ringan, karena telur-telur itu tidak pecah, bahkan retak pun tidak.

Penonton kota kecil Kerinci telah lama sekali tak menyaksikan tarian magis bernama Niti Naik Mahligai itu. Tarian itu berasal dari  Siulak Mukai, Kerinci bagian utara. Wilayah Kerinci dikenal kuat dengan tradisi seni tari magis. Namun kini sangat jarang tarian itu muncul di depan publik. Tarian itu hanya sesekali tampil dalam acara pemerintah atau upacara kenduri pusaka yang berlangsung 10 hingga 20 tahun sekali.

Kabupaten Kerinci berada di Provinsi Jambi. Jarak dari Jambi ke Sungai Penuh, ibu kota Kerinci, cukup jauh, 450 kilometer, dan itu bisa ditempuh dalam 9-12 jam. Sedangkan jarak Kerinci ke Padang lebih dekat, 250 kilometer atau 6-8 jam perjalanan. Perjalanan ke Kerinci harus melalui jalan yang berliku dan mendaki. Di lereng Gunung Kerinci terdapat perkebunan teh yang luas serta kebun kasiavera atau kulit manis. Sedangkan kawasan yang berhawa panas di bagian selatan ditanami padi dan kopi.

Orang Kerinci yang menghuni Kabupaten Kerinci sekarang adalah keturunan suku bangsa Melayu Tua yang menetap sejak zaman Neolitikum (8.000-7.000 tahun silam) atau mungkin jauh sebelumnya. Kerinci pernah di bawah kekuasaan Kerajaan Dharmasraya dan Pagaruyung (Sumatera Barat), juga di bawah Kerajaan Inderapura (pantai barat, kini Pesisir Selatan, Sumatera Barat), dan Kesultanan Jambi. Namun kekuasaan terhadap Kerinci lebih kepada perlindungan dengan membayar upeti.

Kerinci memiliki kebudayaan, termasuk bahasa dan aksara Kerinci. Uli Kozok, ahli aksara kuno Sumatera asal Jerman, pernah menemukan di Kerinci naskah Melayu tertua abad ke-14  yang berasal dari Kerajaan Dharmasraya, zaman Adityawarman.

Alam Kerinci yang penuh hutan dan jauh dari  pusat kerajaan yang melindunginya mungkin bisa menjelaskan mengapa magisme dahulu  berkembang di Kerinci. Dusun Empeh dan Dusun Baru di Kota Sungai Penuh, misalnya, adalah salah satu kampung tua yang menyimpan misteri Kerinci. Di sana ada tarian yang disebut Asyek. Tarian ini adalah ritual untuk memanggil roh nenek moyang untuk menolak bencana atau memohon panen padi. Dulu tarian Asyek dilakukan di atas pecahan kaca.

Nurmalis, 70 tahun, warga Dusun Baru, Kerinci, masih ingat saat  menyaksikan kenduri sko di kampungnya pada 1964. Semua perempuan dewasa saat itu menari Asyek sampai kesurupan di atas pecahan kaca. Namun 20 tahun kemudian, pada 1984, tidak ada lagi yang bisa menari Asyek di hamparan beling. ”Mungkin sudah lupa, karena kendurinya lama sekali. Bahkan lesung gila, yang alunya bisa main sendiri di dalam lesung, yang pernah saya lihat ketika kecil, tidak ada lagi,” kata Nurmalis.

Akan halnya di sebelah selatan Kerinci di Desa Koto Tengah ada tarian Marcok dengan penari berkaki telanjang yang menari di atas pecahan kaca dengan menusuk-nusukkan keris di tubuh. Tradisi yang  sudah berlangsung ratusan tahun ini sekarang sudah jarang terlihat. Terakhir, Marcok tampil pada 2006 di Pesta Danau Kerinci.

l l l

Gendang dan seruling terus mengiringi tarian. Rintangan berikutnya adalah duri-duri sembilu yang ditancapkan ke kayu. Kedua penari itu bergantian menginjak duri sembilu yang tajam. Penari itu kemudian juga menginjak susunan paku. Atraksi selanjutnya meniti mata pedang. Sebilah pedang panjang ujungnya dipegang dua lelaki di atas tanah, lalu telapak kaki kedua penari itu meniti pedang tajam itu tanpa terluka.

Tiba-tiba dari arah depan seorang lelaki berlari dan menghunuskan tombak.  Dass..!! tombak bermata tajam itu menghunjam tepat ke ulu hati penari perempuan. Tubuh penari sempat terlihat terjengkang, namun dalam hitungan detik, dengan teriakan yang keras tombak itu patah dua.

Tak lama, di dekatnya dinyalakan api bara yang disiram minyak tanah. Api yang berkobar membangkitkan kembali semangat kedua perempuan itu. Api yang menyala-nyala itu mereka lompati dan mereka bergantian menari di atas kobaran api seperti berkecipak di atas air. Pada akhir pertunjukan dengan histeris mereka memadamkan bara api dengan kedua tangan. Ratusan mata penonton terpaku oleh pertunjukan ini. Tapi tidak semua penonton betah melihat atraksi itu.

”Saya tidak tahan lagi, seluruh bulu kuduk saya berdiri. Kalau tetap di sini, bisa-bisa tanpa sadar saya lari ke lapangan bermain silat dengan pedang,” kata Sofyan, 50 tahun, seorang penonton. Mukanya tampak merah.

Menurut sang pawang, Eva Braman-ti Putra, 31 tahun, tarian ini adalah warisan turun-temurun dari leluhurnya di Siulak Mukai, Kabupaten Kerinci. Sementara di sana tarian ini dilakukan anak muda, di desanya masih ada tarian menginjak kaca yang ditarikan orang-orang tua yang memakai jubah panjang.

Kedua pertunjukan itu diangkat dari prosesi untuk calon raja pada masa lalu. Sebelum dinobatkan, seorang calon  raja harus menempuh berbagai rintangan. Yang menarik, pertunjukan ini dimainkan semua oleh perempuan. Menurut Eva, pada masa lalu yang memegang tampuk kekuasaan di Kerinci perempuan. Kaum lelaki hanya menjalankan pemerintahan.

l l l

Penonton bertepuk tangan. Di pinggir lapangan, ketiga penari perempuan itu terkulai lemas. Ermidayati, 35 tahun, penari utama, tersandar di kursi kehabisan tenaga. ”Perut saya mual,” kata perempuan yang sehari-hari guru SMPN 3 Gunung Kerinci di Sungai Pegeh. Ia dikipasi dan diberi minum. Seperempat jam kemudian kesegarannya pulih.

Ia mengaku saat menari dirinya antara sadar dan tidak. ”Ada yang membisikkan dari dalam untuk melangkah di atas pedang, cepat…, cepat...,” katanya. Ia tidak tahu dari mana memperoleh kekebalan ketika menari. Soalnya, sehabis pertunjukan, kekebalannya juga hilang. ”Kalau teriris pisau saat mengupas bawang, ya sakit,” katanya tertawa.

Berbeda dengan para penari, ilmu yang dimiliki pawang tetap bertahan. Eva Bramanti Putra, sang pawang, misalnya, mengaku, ”Kalau sedang berada di ujung tanduk, saat-saat sedang dalam marabahaya, kekebalan itu keluar.” Eva mengatakan, ketika berusia 20 tahun, ia mendapat wangsit dari leluhur pihak ibu yang menuntunnya melaksanakan ritual tarian Niti Naik Mahligai.

Dari ibunya, ia diajari gerakan tari, dari kakek pihak ayahnya diajari ilmu meringankan tubuh, sedangkan seluruh prosesi yang lengkap didapatnya dari wangsit. Beberapa benda diganti oleh Eva. Misalnya dulu keris, kini diganti pedang, batu kaca diganti pecahan kaca, duri perdu hutan diganti paku dan sembilu. Zaman dahulu, mereka yang memainkan tari ini syahdan bisa  bertengger di pucuk-pucuk daun. Sekarang, oleh Eva, para penarinya yang kesurupan disuruh berdiri di atas daun yang lebar, dan terakhir di atas kertas yang dijunjung para kru.

Semua prosesi itu dicoba dulu oleh Eva dan berhasil, padahal sedari kecil ia tidak pernah menuntut ilmu kebal sedikit pun. Sekitar tahun 2000 Eva membentuk sanggar di kampungnya, beranggotakan 13 orang. Mereka kemudian berlatih. Tarian kebal ini sempat menjadi tarian pembukaan Festival Danau Kerinci, yang diadakan tiap tahun sejak 2001. Istri Eva, Dentina, 28 tahun, juga diikutkan. Dentina mengatakan, kunci pertunjukan adalah meditasi. ”Menjelang pertunjukan, kami melakukan meditasi dengan kaki bersila sampai seluruh tubuh kesemutan dan menggigil,” katanya.

Setelah meditasi, untuk menyucikan diri kemudian ia mandi dengan perasan jeruk purut di sungai. Esoknya, ia akan menari tanpa beban, bahkan ingin cepat-cepat menginjak pedang. ”Padahal, pada saat melihat pedang itu diasah, bukan main ngerinya. Namun, ketika menari, rasanya hanya menginjak punggung pedang,” ujarnya. Menurut Eva, untuk penari inti enam orang tetap dipilih dari yang memiliki hubungan darah. ”Kalau penari lainnya biasanya anak sekolah. Tetapi saya hanya berani mengajari mereka sebatas menginjak kaca,” kata Eva.

Eva mengakui, dalam beberapa kali pertunjukan pernah gagal. Bahkan, saat di Banten, baju kru laki-laki yang menghidupkan api ikut terbakar. ”Pernah pula pada saat di Bukittinggi kaki penari utama luka terkena pedang ketika dia sedang ditombak, karena terinjak pedang di belakangnya.

Eva mengakui order pertunjukan sanggarnya lebih banyak mengandalkan acara yang dibuat pemerintah daerah. Namun pemilihan kepala daerah pertengahan bulan lalu membuatnya gundah. Itu karena dua kandidat bu-pati yang terpilih berasal dari kalangan agamis, yang biasanya tidak menyukai pertunjukan yang berbau magis. ”Padahal, kita bukan orang yang syirik,” kata Eva.

Kecemasannya beralasan. Ketika pertama mengembangkan tarian Niti Naik Mahligai dulu, Eva sempat mendapat larangan dari alim ulama di kampungnya, karena dianggap musyrik. Pejabat daerah yang menganggap tradisi magis bertentangan dengan Islam pasti tak akan mengorder sanggarnya lagi. ”Saya tidak tahu bagaimana nanti, kalau memang kesenian ini harus pudar, apa boleh buat,” katanya pelan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus