Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LERENG Merapi. Pukul tiga dinihari. Udara dingin menyengat. Di Desa Tutup Ngisor, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sebuah ”kekacauan” terjadi. Begitu dalang yang memainkan lakon Wahyu Cakraningrat ”tancap kayon”, ratusan penonton menyerbu sesaji yang digantung di atas panggung.
Ada 120 jenis sesaji, dari bermacam biji-bijian hingga daging binatang. Suasana menjadi ”kacau-balau”, tapi tak ada yang marah dan terluka. Sebagian pemain wayang orang, masih mengenakan kostum panggung, ikut menyerbu. ”Pokoknya, apa pun yang ada di dekat panggung layak diperebutkan karena dianggap bertuah,” kata Tejo Badut, pemeran Gareng.
Tradisi itu ada sejak 1937. Waktunya bertepatan dengan bulan purnama, penanggalan Jawa 15 Suro. Yang memulai Romo Yoso Sudarmo, tokoh spiritual dan pendiri Padepokan Seni Tjipto Boedojo, di Desa Tutup Ngisor. Putra bungsu Romo Yoso, Sitras Anjilin, 47 tahun, kini melanjutkan kebiasaan itu.
Pertunjukan tak berakhir di situ. Di puncak acara, masih ada beberapa ritual penting, di antaranya tari Kembar Mayang yang dibawakan sembilan penari wanita anak-turun Romo Yoso. Tarian ini mirip bedaya. Selanjutnya, pentas wayang sakral dengan lakon Lumbung Tugu Mas. Intinya, doa agar masyarakat Tutup Ngisor dihindarkan dari malapetaka. ”Lumbung Tugu Mas ini lakon khusus, untuk Merti Dusun,” tutur Sitras.
Komunitas Tutup Ngisor. Di situlah seni rakyat dirawat. Di situlah seni tradisi terus tumbuh dan membuka diri untuk kolaborasi dengan pihak lain.
Lucia Idayani, Heru C.N
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo