Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Pembunuhan Massal 1965-1966:</font><br />Vendetta dan Jingoisme

1 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hermawan Sulistyo, sejarawan, profesor riset LIPI, penulis buku Palu Arit di Ladang Tebu.

Dua peristiwa sosial-politik dan ekonomi terbesar dalam sejarah Indonesia modern terjadi pada 1965 dan 1998. Pada yang pertama, historiografi telah mengalami perubahan dalam tiga tahap, yaitu pra-1971, sepanjang masa consolidated Orde Baru (1971-1998), dan pasca-1998. Pada yang kedua, historiografi bahkan masih in the making, seiring dengan pertarungan wacana politik yang sekarang sedang dan masih berlangsung. Tafsir-tafsir yang belum, dan barangkali tak akan pernah, selesai.

Pada pra-1971, kekuasaan Orde Baru (baca: Soeharto) belum terkonsolidasi, sehingga masih mudah ditemukan bahan-bahan teks tanpa sensor. Bahkan risalah Mahkamah Militer Luar Biasa diterbitkan tanpa sensor. Namun, demi konsolidasi kekuasaan Orde Baru, seluruh sumber bahan G-30-S "menghilang" karena disimpan oleh Kopkamtib. Sejak saat itu, historiografi hanya diisi oleh discourse tunggal, yaitu PKI adalah pelaku tunggal kejahatan terhadap negara. Karena itu, penyebutan peristiwa G-30-S pun memerlukan suffix PKI, menjadi G-30-S/PKI.

Discourse tunggal itu pun hanya atas peristiwa politik di tingkat nasional. Sama sekali tidak ada studi apa pun mengenai gejolak sosial-politik yang menewaskan korban yang sangat banyak, dengan angka bervariasi antara 78 ribu dan 1,5 juta orang. Akibatnya, dalam historiografi Indonesia modern, periode 1965-1966 merupakan tahun-tahun yang hilang dan terlupakan. Kemudian Reformasi 1998 telah membuka ruang penafsiran dalam historiografi 1965 menjadi sangat terbuka. Kini banyak penulisan G-30-S tanpa suffix PKI lagi.

Dalam hal substansi, kedua aras tafsir sejarah pun mengalami "revisi". Pada aras peristiwa nasional, gejolak G-30-S memperkuat tafsir-tafsir yang sebelumnya kalah oleh discourse tunggal tentang PKI sebagai pelaku utama percobaan kudeta G-30-S. Satu tafsir percaya bahwa G-30-S merupakan pergulatan internal militer, mengikuti mazhab Cornell White Paper. Lalu ada tafsir bahwa dalangnya tak lain adalah Bung Karno sendiri. Tafsir lain lagi menyebutkan Soeharto adalah dalang G-30-S. Dan, tentu saja, tafsir bahwa semua itu ulah CIA.

Namun kekosongan historiografi atas aras massa, yaitu pembunuhan massal, terutama di Jawa, Bali, dan sebagian Sumatera, tetap belum sepenuhnya terisi. Beberapa peneliti aras bawah ini memang mulai menguak sebagian tabir pentas horor itu, tapi masih tetap banyak tabir berikutnya yang belum tersentuh. Dengan mengesampingan faktor politik, salah satunya adalah penjelasan kultural atas jalinan relasi sosial yang penuh kekerasan. Tetangga saling bunuh, kenalan saling terkam, dan kerabat saling curiga.

Pendekatan ini penting, mengingat karakter kekerasan tersebut melekat hampir di semua komunitas di semua wilayah di Indonesia, bahkan hingga sekarang. Bagaimana menjelaskan berbagai konflik komunal, tawuran, konflik berbasis ekonomi-politik, kultural, keagamaan, dan seterusnya, pada masa sekarang, jika kita tidak pernah memahami pembunuhan massal 1965-1966? Sebagai analogi, masyarakat Barat selama berabad-abad berusaha memaknai konsep "amok" dari dunia Melayu, hanya untuk menjelaskan fenomena orang "mengamuk" tanpa alasan, yang tidak tersedia dalam kosakata kultural mereka.

Salah satu penjelasan kultural itu dapat didekati dari konsep Jingoisme dan vendetta. "Jingoisme" muncul sebagai wacana publik pada 1970-an. Istilah ini berasal dari judul film koboi populer pada masa itu, Django. Tentu saja, sang tokoh protagonis adalah pemenang dalam duel-duel koboi di kawasan frontier Amerika—terutama Arizona dan New Mexico—yang masih merupakan terra incognita, tanah baru yang tak bertuan dan belum terkenali. Di kawasan seperti itu, "hukum" ditentukan oleh senjata dan kekuasaan fisik, dan relasi-relasi sosial dibangun bersifat macho.

Dalam bahasa "Pengantar Sosiologi", situasi Jingoisme adalah anomie, yaitu norma dan nilai-nilai lama telah runtuh, sementara norma dan nilai-nilai yang baru belum terbentuk. Maka, siapa pun yang memiliki mighty power, kekuatan fisik, akan mampu membangun kekuasaan (sosial) atas orang atau pihak lain, karena per definisi, kekuatan fisik memang salah satu sumber kekuasaan sosial-politik. Konsekuensinya, Jingoisme yang hadir di suatu komunitas juga membuka ruang bagi ekspresi kebencian dan dendam melalui tindak kekerasan.

Pembunuhan massal 1965-1966 pun tidak terlepas dari konteks kehadiran Jingoisme. Penelusuran atas seluruh media massa sejak pemilu sela 1957—bahkan sebelumnya, pemilu 1955—menunjukkan karakter dari konstruk relasi sosial seperti itu. Di daerah-daerah yang pada pasca-1965 mengalami pertarungan massal yang fatal dan mematikan, hampir tidak ada minggu yang terlewatkan tanpa perkelahian, perorangan maupun kolektif. Ideologi politik lalu sekadar menjadi backdrop kekerasan massal. Jargon-jargon politik yang konfrontatif di tingkat nasional diterjemahkan sebagai pembenar untuk membunuh lawan perkelahian dari masa-masa sebelumnya.

Sekadar cap "PKI lu" sudah dapat menjadi saluran kebencian yang telah tertanam sebelumnya. Membunuh lawan politik merupakan vendetta. Suatu konsep balas dendam yang bersifat macho, di bawah konteks Jingoisme, yang populer sejak masa awal perilaku para mafioso di Sisilia. Gejalanya terlihat dari, antara lain, local parlance, "pilihannya adalah membunuh atau dibunuh". Vendetta dalam Jingoisme ini dilakukan dalam bentuk kelompok-kelompok kecil (vigilante) yang mengejar lawan hingga ke rumah-rumah mereka. Membawa pulang sepotong kuping, atau seutas jari korban, menjadi semacam token atas mighty power dalam Jingoisme.

Mereka yang hidup pada ujung 1950-an hingga awal 1970-an pasti mengalami situasi betapa sangat mudah mencap seseorang sebagai PKI dan melakukan vendetta pribadi ataupun kelompok atas orang atau pihak lain itu. Dalam ruang dan waktu yang lain, pelaku "semacam preman", minus backdrop ideologi dan kelompok politik. Aspek kultural semacam ini akan memperkaya tafsir atas pembunuhan massal 1965-1966. Juga akan bermanfaat untuk mengenali konteks berbagai konflik massal pasca-1998.

Tapi anakronisme sejarah adalah menilai masa lampau dengan standar norma dan nilai-nilai masa kini. Maka pemahaman atas sejarah kelam Indonesia pada 1965-1966 hanya dapat dilakukan melalui pembacaan konteks pada masa itu. Suatu pembacaan yang memerlukan potret longitudinal atas proses-proses yang terjadi, bukan potret semasa (kontemporer). Dalam paralelisme, begitu pula tafsir atas rangkaian tindak kekerasan massal yang marak sejak 1998, hingga hari ini.

Akhirnya, sejarah adalah tafsir logis atas serangkaian peristiwa pada masa lampau yang disusun secara kronologis dalam hubungan sebab-akibat. Karena bersifat tafsir, tidak ada "sejarah yang bengkok" dan tidak ada pula "sejarah yang lurus". Jadi, merupakan kesia-siaan saja untuk "meluruskan sejarah". Bangsa ini tidak akan pernah belajar jika berupaya "meluruskan sejarah", karena sejarah hanyalah tafsir dominan atas serangkaian peristiwa oleh pemenang dalam pertarungan politik. Karena itu, biarkan sejarah 1965—dan sejarah kemudiannya—tetap bengkak-bengkok.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus