Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PULUHAN tahun lalu saya bekerja sebagai buruh di Pelabuhan Maumere—kini Pelabuhan Lorens Say. Pada 18 Maret 1963, saya dimasukkan penjara karena membunuh paman. Saya kesal karena dia tak mau membagi uang hasil penjualan ikan. Saya tebas dia dengan kelewang saat kami berdua di warung.
Untuk pembunuhan itu, saya dihukum penjara 12 tahun. Tapi, baru tiga tahun saya di bui, suatu hari Kodim 1603, yang dikomandani Gatot Suherman, berkirim surat kepada kepala penjara. Mereka mau merekrut saya dan sembilan tahanan lain untuk menjadi algojo—dan saya diangkat jadi komandan.
Setelah direkrut, kami dibawa ke Kodim Maumere, dan diberi tahu bahwa ada tugas membela negara. Kami disuruh kejar anggota Partai Komunis Indonesia sampai habis. Kami juga diminta bersumpah melakukan itu. Lalu kami disuruh pulang ke rumah masing-masing, tapi harus siap jika sewaktu-waktu dipanggil menjalankan tugas. Pemanggilan dilakukan melalui Radio Pemerintah Daerah saat itu.
Pada Februari 1966, kami mendapat panggilan berkumpul di Kodim. Kami dibekali tiga sekop, tiga cangkul, dan empat tanduk rusa. Setiap algojo mendapat satu parang. Setelah itu, kami diangkut ke lokasi pembantaian yang ditentukan Komandan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Komop). Di sana, kami disuruh menggali lubang sedalam tiga meter, lebarnya lima meter.
Mula-mula bertugas di Desa Wairita. Di sana kami menggali tiga lubang untuk menguburkan 45 orang yang diduga terlibat PKI. Eksekusi terjadi tengah malam, atas perintah Komandan Komop. Kami tak bisa menolak karena ini tugas negara. Harus dilaksanakan, walaupun orang yang kami potong kepalanya adalah keluarga sendiri.
Malam itu para terduga anggota PKI diturunkan dari mobil Komop dengan tangan dan kaki terikat ke belakang. Mata mereka tak ditutup. Mereka dibawa ke dekat lubang, kemudian kami tebas kepala mereka dengan kelewang. Darah muncrat membasahi tubuh dan wajah saya.
Setiap orang yang ditebas langsung kami buang ke lubang yang telah disiapkan. Aparat kepolisian dan TNI bersenjata mengawal dengan ketat. Setelah semuanya masuk ke lubang, kami diminta menutupnya dengan tanah. Sebagai penanda, di atasnya kami tanam batang pohon reo, atau dahan kedondong.
Saya tidak tahu orang-orang yang kami bunuh datang dari mana. Banyak juga yang saya kenal. Bahkan saya harus membunuh dua anggota keluarga saya sendiri.
Aksi pembantaian berlanjut sampai ke Desa Waidoko, Kebun Misi (belakang kantor Bupati Sikka saat ini), Watulemang, Koting, Nita, Pauparangbeda, Rane, Detung, Higetegera, Baungparat, dan Pigang. Ratusan orang dibunuh. Saya tahu jumlah korban karena, setiap kali ada eksekusi korban, selalu dicatat oleh Komandan Komop Mayor Soemarmo.
Pembantaian berlangsung empat bulan hingga Mei 1966. Setelah itu, kami bersepuluh dibayar Rp 150 ribu per algojo dan diberi beras lima karung ukuran 50 kilogram. Karena sudah menjalankan tugas negara selama berbulan-bulan, saya tak lagi dikembalikan ke penjara, tapi langsung dibebaskan. Saya tak akan lupa Komandan Kodim Gatot Suherman dan Mayor Soemarmo, yang perintahkan kami mengeksekusi anggota PKI.
Saya sekarang tinggal berdua dengan istri, dan menjadi penggali kubur. Orang-orang kampung memanggil saya Bapa Tengkorak. Saya bersyukur bisa hidup damai dengan keluarga korban, termasuk mereka yang keluarganya telah saya bunuh. Mereka tahu apa yang kami lakukan dulu karena paksaan tentara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo