Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari-hari setelah penculikan enam jenderal di Jakarta merupakan periode konsolidasi kilat di tubuh Angkatan Darat. Satu-satunya jenderal paling senior, Abdul Haris Nasution, terluka dan dirundung duka setelah kehilangan putrinya, Ade Irma Suryani.
Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto tampil mengambil alih pucuk pemimpin Angkatan Darat. Dua perwira penting yang menyokong langkahnya adalah Panglima Komando Daerah Militer Jaya Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah dan Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo.
Setelah memastikan kontrol atas tentara, Soeharto membentuk dan memimpin sendiri operasi pemulihan keamanan, yang kemudian dikenal sebagai Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). "Soeharto membentuk lembaga itu pada 2 Oktober untuk menumpas PKI," ujar Asvi Warman Adam, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Kopkamtib mendapat pijakan hukum setelah Sukarno meneken Surat Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi/Komando Operasi Tertinggi ABRI pada 1 November 1965. Isinya tentang pemulihan keamanan dan ketertiban pasca-30 September.
Hasil penyelidikan yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menunjukkan Kopkamtib sebagai pelaku utama pelanggaran hak asasi manusia berat peristiwa 1965-1966. "Individu/komandan/anggota kesatuan dapat dimintai pertanggungjawaban."
Lembaga itu memiliki wewenang sangat besar. Semua komandan Kopkamtib adalah komandan militer di tiap tingkatan. Kopkamtib berwenang pula memakai tenaga dari institusi sipil untuk melaksanakan tugasnya. Mereka hanya bertanggung jawab kepada satu orang: Soeharto.
Sebagai Panglima Kopkamtib, Soeharto berÂgerak cepat. Ia menerbitkan berbagai keÂÂbijakan untuk melacak serta menangkap angÂgota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Salah satu perintahnya adalah pemÂbentukan Tim Pemeriksa Pusat/Daerah, yang dipimpin panglima daerah militer.
Tim pemeriksa inilah yang menjadi malaikat penentu hidup-mati jutaan orang pada masa itu. Di kantor-kantor Pelaksana Khusus Daerah Kopkamtib, tim pemeriksa membuat daftar nama orang yang dianggap anggota atau simpatisan komunis dan keluarganya.
Orang yang namanya tercantum dalam daftar menjadi korban kebrutalan aparat atau massa yang dilatih oleh tentara. Mereka diciduk pada malam hari dan kebanyakan tak pernah kembali. Bahkan ada yang langsung dihabisi di tempat.
Dalam buku The Indonesian Killings, Michael van Langenbert menyebutkan operasi penumpasan kian menjadi setelah Panglima Kopkamtib mengeluarkan instruksi kepada semua personel Angkatan Darat pada 17 Oktober 1965. Instruksi itu menyebut PKI sebagai pengkhianat dan menetapkan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Untuk memuluskan penumpasan orang komunis di Indonesia, Kopkamtib, melalui Kostrad dan RPKAD, menebar propaganda yang mengasosiasikan PKI sebagai musuh seluruh rakyat. Komunis dituding nyaris menghancurkan bangsa sehingga harus dimusnahkan tanpa ampun.
Foto pengangkatan mayat para jenderal dari sumur Lubang Buaya berulang kali dimuat di media massa, yang semuanya sudah berada di bawah kontrol tentara. Tak lupa dibumbui cerita bahwa mereka tewas setelah disiksa secara perlahan oleh perempuan anggota Gerwani.
Selain memastikan semua daerah bebas dari elemen komunis, Kopkamtib membersihkan pemerintahan Sukarno dari pejabat-pejabat yang diduga berkaitan dengan PKI. Menurut Van Langenbert, pembersihan dilakukan setelah Soeharto, berbekal Surat Perintah Sebelas Maret 1966, mengumumkan PKI sebagai partai terlarang.
Kopkamtib menjadi penopang utama rezim Orde Baru. Ibarat sistem layanan satu atap, dalam bukunya, Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan, Amurwani Dwi Lestariningsih menuturkan lembaga itu melakukan semua proses hukum dengan dalih keadaan darurat.
Tak cuma menentukan tersangka, menggeledah, dan menangkap, Kopkamtib juga menyelidik, menuntut, dan menghukum tanpa lewat pengadilan. Lembaga itu bahkan memantau dan menentukan nasib tahanan yang sudah dibebaskan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo