Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah tragedi politik 1965, Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menggelar Operasi Kalong dan Operasi Trisula. Mereka menangkap, menahan, dan menginterogasi orang-orang yang dituduh PKI di berbagai tempat.
Selanjutnya, tanpa proses pengadilan, orang-orang itu dibuang ke kamp penahanan. Tak hanya di Pulau Buru, mereka menjalani hidup sebagai tahanan politik di sejumlah penjara, seperti di Gunung Sahari II (Jakarta), Pelantungan (Jawa Tengah), Jalan Gandhi (Medan), Pulau Kemaro (Palembang), dan Moncongloe (Sulawesi Selatan). Tempat-tempat itu adalah Guantanamo Indonesia. Di sana mereka mengalami berbagai bentuk penyiksaan, dari yang ringan hingga berat.
Kisah Pilu dari Sarang Kalong
Berbagai cara dilakukan aparat untuk mengorek pengakuan tahanan. Mulai ayat kursi sampai pecutan buntut pari.
LELAKI setengah baya itu mewanti-wanti agar sejarah rumah tua di dekat kediamannya di Jalan Gunung Sahari II, Jakarta Pusat, tak usah diungkit. Kisah masa lalu itu dianggapnya ibarat mala. "Itu bahaya. Tak ada artinya untuk diingat," katanya sembari meminta identitasnya tak dikutip. Tetua warga ini malah balik menginterogasi Tempo, yang menemuinya Ahad siang dua pekan lalu. "Dari mana kamu tahu itu? Ini kasus sudah lama," ujarnya, menyelidik.
Rumah bernomor 8 itu merupakan bekas markas Tim Operasi Kalong, regu militer yang menangkap dan memeras pengakuan dari ratusan orang pasca-Gerakan 30 September 1965. "Saya masih berusia sekitar 10 tahun waktu itu." Begitu pembicaraan menukik soal siapa pemilik rumah besar tadi, ia lantas menggeleng.
Penjaga rumah pun menyatakan tak mengetahui siapa pemiliknya. Pria itu mengaku sebagai penjaga baru. "Yang punya rumah tak tinggal di sini. Ini menjadi tempat taruh barang si engkoh yang jualan di Senen," ujarnya. Dia melarang Tempo melewati pagar setinggi 2,5 meter yang dikelir hitam dengan gulungan kawat berduri di pucuknya.
Rumah itu kini lusuh tak terawat. Temboknya yang berwarna putih terlihat kusam. Halamannya tak dibersihkan. Dedaunan kering pohon kapuk dan petai cina menutupi sebagian pelataran yang disemen. Gundukan puing dan kardus bekas bungkus barang elektronik teronggok di teras yang "dijaga" dua pilar kotak kaku. Pada salah satu pilar tersemat stiker bertulisan "TNI AD".
"Kondisi rumah itu masih sama seperti dulu," kata Syaiful, sebut saja begitu, medio September lalu. Dia mantan tahanan politik yang pernah disiksa di tempat itu. Sebelum menjadi markas Operasi Kalong pada 1966, menurut Syaiful, rumah itu tadinya kantor persatuan tukang becak. Ketika itu, tembok depannya dipenuhi pajangan rambu lalu lintas untuk mengingatkan para pengayuh becak.
Syaiful ditangkap pada 1968, kemudian dijebloskan di Pulau Buru, dan baru dibebaskan pada 1979. Bekas jurnalis Harian Rakyat dan aktivis Lekra ini berusia 27 tahun ketika berurusan dengan Kalong. Menurut dia, penyiksaan sudah menjadi prosedur tetap Kalong. "Saya disetrum, lalu dipukuli," kata Syaiful.
Bekas "anak asuh" Kalong lainnya, Jawito, 62 tahun, dan Bedjo Untung, 64 tahun, menuturkan, setengah dari markas disulap menjadi aula, bagian administrasi, dan ruang interogasi. Sedangkan sisanya, sekitar 200 meter persegi di bagian belakang, untuk menampung tahanan.
Dua warga Pemalang, Jawa Tengah, ini "mencicip" Kalong sekitar setahun. Bedjo bekas aktivis Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia Pekalongan, sedangkan Juwito anggota Pemuda Rakyat, organisasi di bawah PKI. Kala itu jumlah tahanan sekitar 200 orang, yang tidur di selasar. Namun hanya ada dua kamar mandi, yang semuanya berlantai becek.
Berbagai cara dilakukan petugas Tim Kalong untuk menuai pengakuan agar bisa dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Sering kali pemeriksa mengadu tahanan dengan tahanan lain atau membuat tahanan menjadi kaki tangan. Pengakuan yang diincar biasanya mengenai jaringan dan orang-orang yang dikenal si terperiksa.
Penyiksaan menjadi cara yang paling lazim untuk mengorek keterangan, seperti menyetrum, memukul, menginjak dengan sepatu lars, dan memecut punggung tahanan dengan buntut ikan pari. "Sekali setrum sekitar lima menit. Rasanya minta ampun di pangkal lengan," ujar Juwito kepada Tempo di Jakarta, pertengahan September lalu.
Bekas tahanan politik Tan Swie Ling dalam buku G30S 1965: Perang Dingin dan Kehancuran Nasionalisme membeberkan sadisnya 80 kali cambukan buntut pari yang dialami sahabatnya. Pria yang ditangkap bersama Sekretaris Jenderal PKI Sudisman oleh Kalong ini juga mengungkap metode favorit lainnya, yaitu jurus "ayat kursi": jari-jari kaki digencet dengan kaki kursi yang diduduki petugas.
Syaiful menuturkan penyiksaan menjadi pilihan lantaran petugas buta soal para kader dan organisasi PKI. "Bisa dibayangkan, mereka harus memeriksa banyak sekali orang dengan persiapan dan pengetahuan yang minim," ujar mantan tahanan Pulau Buru itu. "Kantor saja tak punya, sampai mengambil kantor tukang becak."
Tim Operasi Kalong dibentuk oleh Komando Daerah Militer V/Jaya pada 15 Agustus 1966. Tugasnya menangkap, menginterogasi, lalu mengklasifikasikan orang-orang berdasarkan beratnya tuduhan keterlibatan dengan PKI dan pembunuhan tujuh pahlawan revolusi pada 1965.
Operasi Kalong dipimpin duet Mayor Suroso-Kapten Rosadi. Salah seorang pemeriksanya bernama Kapten Syafei. MenurutSuroso, seperti dikutip Kompas, 15 Agustus 1966, tim itu dinamakan Kalong karena kalau siang orang-orangnya berada di kantor dan malam hari kelayapan seperti kelelawar.
Kendati bukan satu-satunya satuan tugas intel di Jakarta, Kalong sangat beken berkat kebengisannya. Tim itu juga paling banyak memeriksa orang. Ada lagi Satuan Tugas Intel Kebayoran Lama, yang dikomandani Cecep di bekas kantor Studio Film Infico; Satgas Intel Tanah Abang di bawah Mayor Endang Surawan, yang bermarkas di gedung eks kantor berita Cina, Xinhua; dan Satgas Intel Kramat 5 di bekas kampus Universitas Rakyat. "Sampai 1974, Kalong masih ada," katanya.
Dari semua komandan satgas, Cecep terkesan paling mumpuni. Syaiful menuturkan, dia bisa mengambil tahanan dari satgas mana pun untuk diperiksa di markasnya. Kebayoran Lama memang lebih berfokus mendalami keterlibatan tahanan yang dianggap gembong PKI. "Pangkat Cecep tak jelas. Kadang dia pakai pangkat kopral, kadang brigjen," ucapnya.
Penangkapan yang bisa berujung pada penyiksaan, bahkan kematian, orang yang dicurigai terlibat PKI dilakukan secara sistematis, serempak, dan masif. Pekerjaan itu dilakukan aparat negara, terutama militer, di semua level, baik pusat maupun daerah. Tak ada tentangan dari penyelenggara negara lainnya, seperti parlemen dan kekuasaan peradilan.
Pembersihan gelombang kedua setelah operasi pasca-30 September 1965 terjadi pada 1968. Kodam VIII/Brawijaya di Jawa Timur, misalnya, melancarkan operasi Trisula pada Juli 1968 untuk menyapu Blitar Selatan sebagai basis PKI. Dalam keterangan pers pada 9 Agustus tahun yang sama di Malang, Panglima Kodam Brawijaya Mayor Jenderal M. Jasin mengumumkan keberhasilan Trisula, yang bertulang punggung pasukan tempur dan intelijen.
Jasin mengungkapkan kepiawaiannya menginterogasi tokoh PKI daerah dengan teknik ancaman pembunuhan. "…akan saya tembak mati dengan penghormatan terakhir sebesar-besarnya dari saya terhadap sikapnya yang konsekuen membela ideologi partai," katanya seperti dikutip dalam buku Operasi Trisula Brawidjaja Menghantjurkan PKI-Gaja Baru.
Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono tak mau banyak bicara perihal operasi besar-besaran pasca-1965 itu, termasuk soal Kalong. Ia berdalih tak tahu persis keadaan kala itu sehingga harus mempelajari lebih dulu. Namun Agus berpendapat tak perlu membicarakan masa lalu agar tak memancing keresahan masyarakat. "Sudahlah, yang sudah berlalu sudahlah. Itu bagian dari sejarah kita," ucapnya di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Ahad dua pekan lalu "Mari kita melangkah ke depan dengan lebih baik."
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menunjuk peran Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), yang mengusut pelaku peristiwa Gerakan 30 September 1965. Komando itu dibentuk oleh Presiden Sukarno dengan panglima pertama Mayor Jenderal Soeharto.
Belakangan Kopkamtib melakukan kejahatan kemanusiaan, seperti pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, pemerkosaan, penganiayaan, dan penculikan. Sekitar 3 juta orang dilaporkan tewas lantaran dituding sebagai anggota atau simpatisan PKI. "Kopkamtib yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat tersebut," kata Ketua Tim Penyelidik Kasus 1965 yang juga anggota Komnas HAM, Nurkholis, kepada Tempo, Kamis dua pekan lalu.
Kopkamtib terus berlanjut ketika Soeharto menjadi presiden. Kerja lembaga itu terstruktur dari pusat sampai daerah. Tugasnya mengidentifikasi, menangkap, dan menahan. Dari begitu banyak orang yang ditahan, hanya segelintir yang diadili. Namun Komnas HAM tak memiliki dokumen otentik, semisal surat perintah operasi yang spesifik. "Keterangan kami peroleh dari para mantan tahanan politik," ujar Nurkholis.
Para korban biasanya hanya mendapatkan surat pembebasan dari penjara atau pengasingan. Namun tak pernah ada surat penahanan. "Sewaktu saya dibebaskan dari Pulau Buru, suratnya berbunyi: ’tak terlibat G30S/PKI’," kata Syaiful, getir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo