Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=verdana size=1>Foto Esai</font><br />Mimpi Buruk Rafi

5 Januari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seharusnya Rafi Auzar, 14 tahun, menikmati hidup ceria. Pergi ke sekolah dan bermain dengan teman sebaya. Namun ia lumpuh akibat gizi buruk merampas segalanya. Tubuhnya tak ubahnya tulang berbalut kulit. Matanya menatap kosong. Suara yang keluar dari mulut seperti gumaman.

Awalnya Rafi mengalami panas tinggi dan sering terjatuh. Sejak itu, kesehatannya memburuk. Dia sering sakit-sakitan. Sampai akhirnya bocah lelaki itu tak mampu berdiri. Persendiannya kaku.

Kini dia hanya bisa berbaring di atas tempat tidur. Bersama ayahnya, Asnawi, Rafi tinggal di sebuah rumah shelter d Lhoong Raya, Banda Aceh. Bencana tsunami telah melantakkan rumah mereka di Punge dan merenggut nyawa ibunya, Nasriyah.

Sebagai orang tua, Asnawi sangat berharap Rafi bisa sembuh. Tapi ia tak punya biaya untuk membawa anaknya ke dokter. Dan tulang berbalut kulit itu seperti mimpi buruk yang terus menteror kita.

Juara 1 Heri Juanda

Tunaganda, Kasih Tiada

Tubuh-tubuh tipis itu merangkak ke sana beringsut ke sini. Mereka seperti bocah kecil yang baru belajar tegak. Padahal sebagian dari mereka sudah berusia dewasa, kendati ada pula yang masih remaja dan anak-anak.

Mereka merupakan penyandang tunaganda—menderita lumpuh dan cacat jasmaniah lain. Beberapa ditinggalkan begitu saja oleh keluarga di Wisma Palsigunung, Bogor, Jawa Barat. Komunikasi terputus, belai kasih tiada. Sejak wisma itu berdiri pada 1975, ada 91 penderita yang pernah tinggal di sana.

Suatu ketika seorang anak meninggal. Pengurus wisma segera menyiapkan penguburan dan mengutus kurir untuk menyampaikan berita duka kepada keluarganya. Apa daya, alamat mereka sudah berganti. Alhasil, acara pemakaman tak dihadiri pihak keluarga.

Para penghuni wisma menjalani terapi fisik dan konsultansi sejak usia anak-anak. Sebagian besar dengan susah payah akhirnya mampu hidup mandiri dan meninggalkan tempat itu. Namun sebagian kecil terpaksa menetap selamanya hingga maut menjemput.

Juara 2 Afriadi Hikmal/Jakarta Globe

Nyala Setitik Cahaya

Kenikmatan bernama putaw itu mendamparkan Nuryanto ke ujung nasib. Dokter memvonisnya terinfeksi HIV—virus yang melumpuhkan kekebalan tubuh. Fisiknya melemah. Amarah dan frustrasi menyergapnya. Pikiran untuk mengakhiri hidup berkelebatan di kepala.

Perkenalan dengan putaw dimulai saat ia mendekam di Rumah Tahanan Salemba. Di balik jeruji, ia berbagi jarum suntik. Bahaya penularan HIV sudah diingatkan seorang teman. Tapi jarum suntik terus beredar di antara teman, menyemprotkan candu ke dalam darah.

Para sahabat menghidupkan kembali semangat Nuryanto. Mereka membuatnya bangkit dan tak lagi merasa sendirian. Dia pun aktif di sebuah organisasi untuk memotivasi orang-orang yang senasib dengannya. Kondisi tubuh yang ringkih tak membuatnya menyerah.

Nuryanto juga melukis. Dia mengguratkan warna-warna cerah, seakan mewakili semangat hidupnya yang tak pernah padam. Namun akhirnya ia berpulang ke haribaan Sang Pencipta. Bagi para sahabatnya, ia cahaya yang tetap menyala.

Juara 3 Edy Susanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus