Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

"indonesia" dari tengah belukar nama

Proses penemuan kata 'indonesia' menurut ruseel jones, ditulis dalam sebuah artikel di "archipel". hampir seabad pemrosesan diperlukan sejak pertama diciptakan. (sel)

14 Agustus 1982 | 00.00 WIB

"indonesia" dari tengah belukar nama
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA Insinyur Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia 37 tahun yang lalu, ia dan rekan-rekannya menjatuhkan pilihan kepada 'Indonesia' untuk nama republik baru ini. Pilihan itu dilakukan tanpa ragu-ragu, dan boleh dibilang tanpa tantangan. Itu menurut Russel Jones yang menulis sebuah artikel dalam 'Archipel'. Pilihan mantap itu tidak terjadi dalam sehari. Hampir seabad pemrosesan diperlukan sejak ia pertama diciptakan di pertengahan abad XIX sampai mulai dipakai untuk nama sebuah perkumpulan pada dasawarsa kedua abad XX. Dan masih seperempat abad lagi dibutuhkan sampai ungkapan 'Indonesia' benar-benar berarti sebuah republik yang merdeka -- yang menurut Jones, di awal tulisannya, "salah satu negara terbesar di dunia." Tapi 'Indonesia' bukan satu-satunya nama yang pernah diusulkan. Sebelumnya nama 'Nusantara' (artinya kira-kira: kepulauan antara dua benua) pernah diancang-ancang. Nama ini terdapat dalam cerita Nagara-kertagama -- meski terasa asing bagi orang luar Jawa. Apalagi nama ini kurang mencakup wilayah Indonesia seperti yang kita kenal sekarang -- yang anda ketahui terdiri dari daerah bekas jajahan Belanda. Setelah diintroduksikan oleh Brandes, 'Nusantara' diambil alih oleh F.E. Douwes Dekker pada 1920-an dan kemudian dipakai di kalangan tertentu. Ternyata memang 'Nusantara' tidak diterima sebagai nama wilayah yang terbentang antara Sabang-Merauke itu. Buktinya, menurut Jones, para penulis asing tidak menggunakannya. Seorang penulis asing menyebutnya sebagai "Kawasan kepulauan luas terbentang antara Australia dan Asia Tenggara yang tidaklah gampang untuk dibuat batasan. Nyatanya, tidak ada sebuah nama pun dapat diterima di semua bagian wilayahnya . . ." Apa yang dikatakan penulis asing itu dibenarkan oleh Jones, untuk seluruh abad ke-20 dan awal abad ke-19. Ia kemudian mengajak kita untuk menyimak sejarah panjang penemuan kata 'Indonesia.' Jones dalam tulisannya itu mengemukakan nama-nama George Samuel Windsor Earl, Adolf Bastian dan James Richardson Logan sebagai orang-orang yang terlibat dalam penemuan dan pempopuleran 'Indonesia'. O ya, juga nam aHatta (lihat: Buku). Earl lahir di Desa North End, Hamstead, London, 1813. Ayahnya, Perry Earl, nakhoda sebuah kapal milik Kompeni India Timur. Pada 1832 Earl Muda menumpang sekunar Belanda, Monkey, dan sampai di Australia. Dari Australia Barat menyeberang ke Jawa. Usianya waktu itu 19 tahun, dan 16 tahun saat ia meninggalkan Inggris. Selama 2 tahun atau lebih, sampai sekitar 1834, ia mengarungi kawasan yang ia kenal sebagai 'Perairan Timur'. Ia kembali ke Inggris 1835, dan pengalaman petualangannya itu diterbitkannya di sana. " 'Pelayaran dan petualangan' Earl ini ternyata terjadi pada wilayah yang kemudian kita kenal sebagai 'Kepulauan Indonesia'," ujar Jones, "dan ia sadar akan adanya kesatuan geografis daerah itu." NAMUN Earl tentu belum menyebut wilayah itu sebagai 'Kepulauan Indonesia' --istilah itu belum lagi ditemukan. Berkali-kali ia mengulang nama 'Kepulauan India', atau hanya 'Kepulauan', dalam kesempatan lain: 'Kepulauan India Timur'. Penggunaan nama 'India' tentu membingungkan, kendati India yang kita kenal sekarang ini saat itu sering disebut sebagai 'India Inggris' (British India). Atau juga: 'India Daratan' (Continental India) atau 'India Barat'. Earl juga memakai istilah 'India Belanda' (Dutch India). Itu memang lebih persis -- setidak-tidaknya sama dengan nama yang digunakan Belanda sendiri. Hanya ia sering menghindarinya, karena beberapa bagian wilayah itu (Singapura dan Semenanjung Malaya) berada di luar klaim Belanda. "Atau mungkin karena antipatinya terhadap Belanda, perasaan yang lumrah di kalangan penduduk negeri wilayah itu sendiri," komentar Jones. Seperti halnya para penulis lain di abad XIX itu, Earl menghadapi masalah yang sama: tidak adanya nama yang paling sesuai dan dapat diterima. Selalu saja ada kaitan dengan nama 'India', dan itu memungkinkan timbulnya kerancuan. Sir Joseph Bank misalnya juga mencantelkan 'India' pada nama-nama yang dipakainya, dua abad lalu. 'Pulau-Pulau India Timur' (East India Islands), 'Kepulauan Timur' (Eastern Islands), 'India Timur' (East Indies), 'Pulau-Pulau Timur' (Eastern Isles) dan 'India'. Itu semua dipakainya. Lebih sial lagi, kita-kita ini disebutnya 'orang-orang India' (The Indians). Pada 1783 William Marsden menyebut 'Kepulauan India' (India Archiplago). Tapi pada 1812, setelah memakai 'East Indies' dan 'Kepulauan Malaya' (Malayan Archipelago), ia mengusulkan begini: "Wilayah kepulauan ini tidak boleh tidak lebih persis disebut dengan nama mirip-mirip Polynesia . . ." Namun nama yang tidak praktis itu ternyata tidak ditanggapi orang. Apa pula yang dipakai Rafles? Masih di situ-situ juga: 'the Eastern Islands', 'East Indies', 'the Indian Islands', 'Asiatic Isles', 'Malayan Archipelago', 'Archipelago' saja, dan 'Malay Islands'. Malang memang, tak ada yang ada bau-bau sini: Jawa atau Sumatera, umpamanya. Di antara berbagai istilah dalam bahasa Belanda sendiri adalah 'Indie'. Dan "ini tidak begitu merancukan dibandingkan 'India' dalam bahasa Inggris," komentar Jones. Harap tahu, Belanda umumnya menyebut India-Inggris dengan istilah 'Voor Indie' atau 'Britsch Indie' -- sementara "India" yang jajahannya disebutnya dengan 'Nederland's Indie', 'Neerland Indie', 'Nederlandsch Oost Indie' dan 'Neerlands Oost-Indie', di samping 'Neerland's Indie Archipel' atau malah 'Tropisch Nederland'. Seenaknya. PADA awal abad XX timbul sebuah nama dalam judul-judul karangan berbahasa Inggris dan Belanda. Tahun 1906 diterbitkan sebuah buku: Hetanimismeder Indonesiers, oleh A.C. Kruijt. Dan pada 1909 terbit Het Indonesisch Heigendorn oleh C. Spat. Tahun 1918 diterbitkan pula di Manchester, Inggris, buku The Megalithic Culture of Indonesia oleh W.J. Perry. "Dengan ini, nama-nama untuk wilayah itu bertambah satu rival: Indonesia," kata Jones. Dan kini tentang Adolf Bastian, ahli Jerman yang sangat terkenal. Ia kelahiran Bremen, 1826, lulusan fakultas kedokteran yang belakangan menjadi dokter kapal Pelayarannya ke berbagai samudra digunakannya untuk riset-riset etnologi. Di antara negeri-negeri yang dikunjunginya termasuk 'Nederland's Indie' kita ini. Sehabis pengembaraannya, ia hidup sebagai profesor etnologi dan kurator Museum Berlin, dan meninggal tahun 1905. Ia penulis yang produktif. Di antaranya berupa studi singkat yang dibukukan di bawah judul: Indonesia oder die Inseln des Malayischen Archipel. Diterbitkan pertama kali di Berlin, 1884, buku itu ditandai dengan banyaknya pemakaian istilah 'Indonesia'. Tapi dalam entry beberapa ensiklopedi, asal kata 'Indonesia' tidak dikaitkan dengan nama Bastian. Edisi 11 Encyclopaedia Britannica, Vol. XIV, 1911, umpamanya, menyebutkan: "INDONESIA, nama yang diberikan James Richardson Logan untuk menggambarkan penduduk non-Malaya yang berkulit terang yang menduduki Kepulauan Timur ...." Lalu Grote Winkler Prins Encyclopedie, 1970, menulis: "Nama 'Indonesia' pertama kali dipergunakan oleh etnolog Inggris G.R. Logan pada 1850 ...." Tapi siapa itu Logan? Ia dilahirkan di Hutton Hall, Skotlandia, 1819, dan meninggal di Penang (Malaya), 1869. Belajar hukum di Edinburgh. Setelah kemudian bertanam nila di Benggala, ia sampai di Penang dan tinggal di sana hingga 1884. Tahun 1853 kembali lagi ke Penang untuk menjadi pengacara. Kemudin menjadi editor satu-satunya suratkabar setempat, Penang Gazette, yang konon kesohor blak-blakan. Ternyata Logan juga "ahli adat istiadat Cina," seperti dikutip Jones dari satu sumber. Tapi yang menarik perhatian kita adalah masa 1843-1853 ketika ia menetap di Singapura. Ketika itu, di samping sebagai pengacara, ia juga membikin serangkaian catatan (dan mengeditnya sekalian) tentang Kepulauan India dan Asia Timur. Berjudul The Journal of the Indian Archipel and Eastern India dikerjakan sejak 1847, dan muncul sampai 1863. Jones dalam karangannya menjelaskan panjang lebar tentang hal yang mendorong Logan mengerjakan jurnal itu, yang "ingin menghidupkan kembali tradisi keilmuan Marsden, Raffles dan Crowford". Di samping itu Logan kebetulan sedang tidak senang dengan Belanda -- yang saat itu lagi bersaing dengan Inggris di kawasan 'Perairan Timur' itu. DALAM Volume IV -- jurnal tersebut, 1850, kita bertemu kembali dengan Earl --masih ingat? Kini ia tampil sebagai pengarang artikel Tentang Karakteristik Pokok Bangsa-bangsa Papua Australla dan Melay-Polinesia. Ternyata Earl ini melawat ke Australia pada 1838 dan kembali ke Inggris pada 1845 -- dan kawin 1846. Akhir 1846 ia bersama istrinya kembali ke Sidney. 1848 ke Singapura, dan setahun kemudian bergabung dengan Logan dan membuka kantor pengacara di sana. Ini adalah tahun-tahun sulit untuk penyelidikan. Itulah sebabnya keduanya bergabung membuka semacam lembaga bantuan hukum. Tahun 1852 ia kembali ke Inggris. Tidak betah, ilmuwan yang gelisah ini berangkat lagi ke Australia. Masih tidak betah, minggat ke Singapura, dan menjadi pengacara di sana. 1857 ia menjadi hakim. Sampai tahun 1850 di ambang jendela, Earl masih belum mengemukakan suatu nama untuk menyebut kawasan yang kini bernama Indonesia itu. Padahal pada serial tulisannya ia sudah menyatakan perlunya sebuah istilah untuk menggambarkan secara kena "cabang bangsa Polinesia yang menduduki kepulauan India." Nah, 'India' lagi yang nongol. Lalu ia mengajukan istilah 'Melayunesian'. "Proses untuk sampai pada istilah itu berlangsung lama," ulas Jones, tapi tak sempat populer juga. Seperti kita lihat, istilah itu oleh kebanyakan kita di Indonesia baru sekali ini terdengar. Tapi agaknya bisa ditebak: dari 'Melayunesia' itulah kata 'Indu-nesia' atau 'Indu-nesian' berkembang -- dan tinggal mengganti satu kata saja untuk sampai ke 'Indonesia'. Dan dari itu segera bisa kita tarik kesimpulan: yang menemukan kata 'Indonesia' yang kini kita sanjung-sanjung itu, tidak lain tidak bukan memang George Samuel Windsor Earl tadi. "Earl layak diberi penghargaan untuk penemuan kata 'Indonesia' itu," kata Jones, "kendati Earl sendiri tidak memakainya." Aneh, memang, ternyata Earl tidak memakai istilah itu dalam tulisan-tulisan berikutnya. Dalam volume yang sama dari jurnal itu, dimuat pula tulisan J.R. Logan Etnologi Kepulauan India: Mencakup Hubungan Kontinental dengan Penduduk Kepulauan Indo-Pasifik. Di sini ditemukan sebuah kalimat: "Di antara para penyelidik, Tuan William cakap berhubungan dengan penduduk asli Indonesia ...." dan seterusnya. Nah, lihat di sini untuk pertama kalinya kata 'Indonesia' muncul dalam literatur Inggris. Dan bagaimana sikap Logan sendiri? Dalam catatan kaki sebuah karangannya ia menulis: "Untuk nama 'Indian Archipelago' sebagai ajektif atau bentuk etnografis, Tuan Earl menganjurkan pemakaian istilah etnografis 'Indonesians', dan menolak 'Melayunesians' .... Saya sendiri lebih suka semata-mata sebagai istilah geografi. 'Indonesia' merupakan sinonim terdekat dengan 'Indian Islands' atau 'Indian Archipelago'. Kita jadinya memperoleh 'Indonesian' untuk 'Indian Archipelago', dan 'Archipelagic' serta 'Indonesians' untuk 'Indian Al-chipelagians' dan 'Indian Islanders' .... Setelah itu Logan memakai istilah 'Indonesian' berulang kali, dan tampaknya tanpa sadar. Dalam artikel yang sama ia juga menggunakan 'Indonesia' sebagai istilah geografis. Tapi dalam dua serial berikutnya ia membubuhi judul: Etnologi Kepulauan Pasifik ! Pasifik, eh. Dari kesaksian Logan ini jelas sudah bahwa Bastian pada 1884 bukan yang pertama menggunakan istilah 'Indonesia' ia hanya mempopulerkannya di lingkungan Jerman dan Belanda. Tapi dari mana Bastian menjambret nama itu? Kayaknya tak dapat dipercaya bahwa paper Logan lepas dari perhatian seorang yang begitu banyak menghabiskan waktunya mempelajari etnologi di kawasan yang kelak bernama 'Indonesia' itu. "Istilah ini lebih jauh dapat ditemui pada seri berikutnya tulisan Logan," tulis Jones hendak meyakinkan kita. "Dan dapat ditemui secara berkala dalam artikel-artikelnya di jilid-jilid berikutnya dari jurnal ini." Lalu Jones menyimpulkan: "Karenanya, cukup alasan untuk menyimpulkan, bawa Logan-lah -- dan bukan Bastian -- yang merintis dan mempopulerkan pemakaian nama 'Indonesia' dalam bahan-bahan cetakan. Tapi mungkinkah kita menarik kesimpulan bahwa Bastian benar-benar telah membaca artikel Logan yang memuat istilah itu?" Kecurigaan terhadap Bastian masih keterusan. "Lima jilid buku Bastian Indonesien tanpa kepustakaan dan indeks!" tuding Jones penasaran. Penilikan sepintas terhadap buku-buku itu dapat menyingkap sumber informasi siapa yang dipergunakan Bastian. Detail publikasi yang merupakan sumber informasi tersebut tidak pula disebut-sebut oleh Bastian. Tapi yang jelas, setidaknya beberapa dari referensi itu dapat dilacak dari artikel Logan pada jilid pertama jurnalnya -- dari kutipan yang diambil secara verbatim alias kata demi kata, dalam bahasa Inggris. Gamblanglah bahwa Bastian pernah mengetahui atau membaca setidak-tidaknya satu karangan Logan yang memuat istilah 'Indonesia' itu. Tahun 1869 Bastian menerbitkan buku Reisen im Indischen Archipel Singapore, Batavia, Manilla und Japan. Dalam karya ini kita dapat menemukan pola yang sama dalam penempatan informasi seperti yang dipakai Logan," komentar Jones. Detail-detail kepustakaan tidak diberikan. Tapi di situ kembali sejumlah referensi dapat dilacak asal-usulnya, dari artikel yang sama dari jurnal Logan. Ada pula satu bahan catatan diskusi Logan tentang bahasa, yang juga diserobot Bastian. Kemudian akhir buku, halaman 534, dalam appendix dan dalam catatan kaki, muncullah rantai yang hilang itu -- kendati samar-samar. Itulah rantai yang membuktikan tanpa ragu: Ketika Bastian menerbitkan Indonesien-nya pada 1884, jelas ia sudah tahu penggunaan istilah 'Indonesia' oleh Logan -- untuk sekitar 15 tahun atau lebih. "Ini membantah kemungkinan apa pun bahwa Bastianlah yang memakai pertama kali istilah 'Indonesia'," kata Jones dengan mantap. Tetapi, "dongeng bahwa Bastian yang menemukan kata 'Indonesia' tetap saja bertahan, bagaimanapun," komentar Jones lagi. Cukup mengherankan, karena sebenarnya cukup banyak referensi tentang introduksi Logan terhadap istilah itu. A.H. Keane pada 1909 misalnya menulis dalam Encyclopaedia of Relegian and Ethics: "Loganlah yang memperkenalkan istilah 'Indonesia . . . '." Sedang yang dikatakan Encyclopaedia Britannica sudah disinggung terdahulu. Tetapi orang mungkin menyimpulkan, tanpa "intervensi" Bastian, nama 'Indonesia' tidak bisa bertahan sampai sekarang. Tapi itu tidak benar, kata Jones. Karena dari Fischer diketahui bahwa para anthropolog telah menggunakan istilah itu sebelum 1884. Kita sudah tahu pula bahwa Bastian mengetahui kata itu dari tulisan-tulisan Logan. Dan mungkin para ilmuwan secara tak langsung mempelajarinya dari Bastian -- dan dari sinilah mitos itu bermula. Tapi sementara itu seorang anthropolog Prancis, E.T. Hamy, di tahun 1887 meminjam bahan-bahan itu sendiri langsung dari Logan. Bukan Bastian. Ada kesan bahwa dalam karya-karya berbahasa Inggris, nama 'Indonesia' yang sebelumnya muncul dalam buku Bastian pada 1884 itu, setelah tahun tersebut tidak menemui jalan untuk menjadi lebih populer. Sementara itu nama 'Indonesiens' muncul di London pertama kali dalam berkala Proceeding -- terbitan Lembaga Geografi Kerajaan, 1884. Dan itu sebenarnya hanya berupa pengumuman tentang penerbitan karya Bastian jilid pertama. Beberapa tahun kemudian nama itu muncul lagi dalam buku Bastian jilid IV. Bahwa nama 'Indonesia' tidak beredar dalam kalangan geograf Inggris (dalam masa 5 tahun setelah buku itu diterbitkan) dapat dilihat dari isi pengumumannya sendiri yang berbunyi: " Inilah lanjutan serial memoar berharga Drs. Bastian tentang penyelidikannya di Kepulauan Malaya!" Malaya, eh! Menurut anthropolog Belanda Prof. H.Th. Fischer, publikasi jilid pertama karya Bastian itu sama sekali tidak membangkitkan perhatian terhadap istilah baru itu. Istilah 'Indonesia', yang beredar sejak 1850 itu, muncul untuk menggambarkan daerah kebudayaan dan geografinya. "Rasa-rasanya tak ada nama lain yang lebih sesuai," tulis Jones. Tapi pengertiannya tidak hanya berhenti pada ruang lingkup kebudayaan dan geografis saja -- setidaknya sampai tenggelamnya abad XIX dan masuknya dua dasawarsa pertama abad XX. Setelah itu 'Indonesia' melekatkan diri pula pada konotasi politik. Ketika nasionalisme Indonesia muncul ke permukaan, nama 'Indonesia' menyatu dengan cita-cita nasional dari sebuah negeri yang ingin merdeka. Lumrah jika kaum nasionalis emoh dengan nama resmi 'Nederlandsch Indie' untuk sebuah negara merdeka yang kita semua idamkan. Untuk alasan yang mirip pula mereka dahulu menolak istilah 'India'. " 'Indonesia' sudah siap pakai sebagai pilihan yang alamiah -- tidak mendua arti, dan tidak berbau kolonial," Jones punya komentar. Dan ini pula kesan seorang nasionalis Indonesia, menurut Jones: "Apakah karenanya mengejutkan, jika mereka menetapkan sendiri pilihannya dengan rasa gairah, dengan penuh harapan pada kata 'Indonesia'?" Dan bersamaan dengan itu, orang-orang bekas jajahan Belanda itu tidak ingin disebut 'orang Belanda', tapi 'Orang Indonesia'. "Juga mereka tidak ingin menamakan dirinya dengan nama kelompok-kelompok etnis seperti 'orang Jawa', 'orang Sunda' atau 'orang Minangkabau'. Kata 'inlander' dihindari pula, karena bernada merendahkan seperti halnya 'native' dalam bahasa Inggris. Di sinilah penemuan Earl bertemu dengan kebutuhan." Dengan kata lain: kita sebenarnya telah memilih di antara nama-nama yang sudah "telanjur ada." November 1917, sebuah federasi didirikan di Negeri Belanda, dari mahasiswa-mahasiswa Indologie. Namanya: Indonesisch Verbond van Studeerenden. Seperti yang ditunjukkan Dahm, inilah pertama kali kata 'Indonesia' muncul dalam sebuah nama organisasi -- dan secara perlahan tapi pasti melekatkan diri pada arti geografis dan politis. Pengertian politis itu memantapkan dirinya pada kata itu setelah dipakai para nasionalis di tahun 1920. "Mohammad Hatta," tulis Jones, "memulai sebuah artikel tentang subyek itu pada 1929 dengan kalimat: 'Dengan tak bosan-bosannya sejak 1918 kita telah mempropagandakan 'Indonesia' sebagai tanah air kita'." Seorang penulis mengomentari, nama itu memperoleh konotasi politik "terutama dalam 10 tahun terakhir" -- dihitung dari saat tulisan itu disiarkan, 1929. Berarti sejak 1919, alias sejak federasi mahasiswa tersebut. Jadi merekalah yang memilih. Lalu tahun 1922 terdapat langkah yang menentukan. 'Indische Vereeniging', organisasi mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda yang didirikan sejak 1908, mengubah namanya menjadi "Indonesische Vereeniging" Organisasi yang dalam bahasa Melayu berarti 'Perhimpoenan Indonesia' itu menjalankan politik nasional yang jelas-dan sejak itu secara konsisten memakdi istilah 'Indonesia'. Sebelum dasawarsa ketiga abad itu berlalu, cita-cita nasionalisme semakin berurat berakar. Bulan Agustus 1926 Mohammad Hatta menyerukan agar nama itu dipakai dalam kancah Gerakan Perdamaian Dunia yang sedang berkongres di Paris. Hatta sendiri hadir di sana dan menjadi jurubicara delegasi Indonesia. Tak pelak lagi atas inisiatif dan desakannyalah nama 'Indonesia' diterima Kongres. Dalam Kongres Perdamaian Pemuda Sedunia di Oerijssel, Negeri Belanda, 2 tahun kemudian, dalam daftar peserta tercantum nama: "Indonesia . . . Perhimpoenan Indonesia." Dan secara kebetulan, Kongres dibuka pada 17 Agustus .... Menurut Hatta, pada 1928 itu nama 'Indonesia' sudah dipakai rakyat Indonesia sampai ke pelosok-pelosok, oleh penduduk miskin yang buta huruf sekalipun. Hatta yang terkenal jujur itu tentu tidak bohong. Juga tentang yang ditulisnya pada 1929 ini: "Seluruh kekuatan nasionalis yang asli maupun yang Cina-Melayu, menuntut agar di tanah air ini kita berbicara Indonesia" 'Indonesia' kini dipakai dalam kongres-kongres internasional dan 'Indonesia' telah memenangkan opini publik dunia!" Tapi jika artikel Hatta itu mewakili para nasionalis terkemuka, ada yang tidak merasa terwakili. Mereka adalah lingkungan orang Belanda tertentu, pejabat atau pedagang, yang dengan sangat keberatan menolak inovasi nama itu. "Para nasionalis itu," kata mereka, "mengambil istilah itu secara emosional, bahkan hampir-hampir dalam keadaan kesurupan!" Melalui tulisannya pada 1928, Hatta membalas menyerang langsung surat kabar Het Algemeen Handelsblad -- yang dianggap mewakili kepentingan para kapitalis -- dan juga kaum sosialis. Sosialis S. Mok menyebut kata 'Indoncsia' sebagai 'tidak sopan'. Di situlah Hatta yang penyabar tapi muda itu bangkit amarahnya. Ia bisa memahami tantangan dari pihak kapitalis, karena nasionalisme yang makin menebal bisa mengancam mereka. Tapi dari mereka yang menamakan diri sosialis? Hatta juga menolak bahwa istilah itu sudah dipakai sebelumnya oleh kaum komunis, karena katanya kaum komunis baru memakainya sekitar 1924 dan 1925 --jauh sesudah kaum nasionalis. Tapi menurut Jones argumen Hatta dalam hal ini lemah. Karena ketika usul perubahan nama 'Indonesia' diajukan ke Majelis Rendah pada 1921, adalah kaum komunis yang dianggap menjadi biang pengusulnya. JONES juga mengatakan bukan tak ada tantangan dari kaum konservatif Indonesia. Dan siapa mereka, mudah ditebak: kaum priyayi, pegawai pemerintah yang menemui kesulitan memakai istilah yang "ekstrim" itu karena takut tidak disenangi pejabat kolonial. Tentang Hatta sendiri, menurut Jones ada keterikatan lainnya dengan penggunaan istilah itu. Desember 1928 Hatta menulis dua artikel dalam bahasa Belanda: Tentang Nama Indonesia dan Sesuaikah Nama Indonesia untuk Konsep Politik? Yang mendorongnya menulis adalah sikap SAP -- Partai Buruh Sosial Demokratis -- yang menolak memakai nama itu pada Juni 1928. Tapi tahun berikutnya penolakan itu dicabut, nama 'Indonesia' diterima. Tidak semua orang Belanda menolak nama tersebut, tentu. Sehubungan dengan usul perubahan konstitusi yang diperdebatkan Volksraad, tahun 1921, datang usul agar 'Nederlandsche Indie' diganti saja menjadi 'Indie'. Karena dengan alasan takut dikacaukan dengan nama 'India' yang berada di daratan Asia, usul itu ditolak. Kemudian datang usul lain dari van Hinloopen Labberton, dan yang diusulkan justru nama 'Indonesia'. Menurut Brouwer, usul ini berasal-usul dari para anggota pribumi Volksraad yang berhaluan kiri. Usul itu gagal mencapai suara mayoritas dan karenanya ditolak. Lalu sebelum pecah perang di Eropa, seorang anggota Volksraad, yang dari namanya (Mr. Wiwoho) bisa diketahui sebagai pribumi Jawa alias Indonesia, mendorong Pemerintah Belanda untuk mengganti (dalam teks Konstitusi Belanda) nama 'Nederlandsche Indie' menjadi 'Indonesia' dan nama 'inlander' menjadi 'orang Indonesia'. Juga dalam semua dokumen resmi administrasi pemerintah. Tentu saja ditolak. Beberapa tahun kemudian terjadi kejutan: 1940, Belanda diduduki Hitler, dan 1941-1942 Jepang menduduki Hindia Belanda. Pemerintah Amsterdam terpaksa hengkang ke London, sementara kerajaan di seberang lautan berada di bawah van Mook yang "progresif". Desember tahun itu pula pemerintah Belanda memformulasikan kebijaksanaan baru terhadap 'Nederlandsche Indie'-nya "atas dasar kebersamaan yang kukuh dan komplit." Usul yang kesiangan. Bersama dengan itu Ratu Wilhelmina mengucapkan pidato melalui Radio Oranje London, di suatu hari Sabtu di bulan Desember 1942. Dari sana diketahui, Belanda tampaknya sudah oke dengan soal penggantian nama 'Nederlandsche Indie' menjadi 'Indonesia', meski terkesan tidak ikhlas penuh. Buktinya, masih saja menyebut bakal bekas negeri jajahannya sebagai 'Nederlandsche Indie' -- dan dalam selusin kesempatan hanya satu kali menyebut 'Indonesiers' dan satu kali 'Indonesie'. Maka tak heran jika revisi konstitusi Belanda baru kejadian 3 tahun kemudian -- 1948. Hingga "sah"lah nama 'Nederlandsche Indie' menjadi 'Indonesia'. Padahal rakyat Indonesia sudah tidak ambil peduli. Indonesia sudah lahir sebagai negara merdeka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus