KETIKA Insinyur Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
37 tahun yang lalu, ia dan rekan-rekannya menjatuhkan pilihan
kepada 'Indonesia' untuk nama republik baru ini. Pilihan itu
dilakukan tanpa ragu-ragu, dan boleh dibilang tanpa tantangan.
Itu menurut Russel Jones yang menulis sebuah artikel dalam
'Archipel'.
Pilihan mantap itu tidak terjadi dalam sehari. Hampir seabad
pemrosesan diperlukan sejak ia pertama diciptakan di pertengahan
abad XIX sampai mulai dipakai untuk nama sebuah perkumpulan pada
dasawarsa kedua abad XX. Dan masih seperempat abad lagi
dibutuhkan sampai ungkapan 'Indonesia' benar-benar berarti
sebuah republik yang merdeka -- yang menurut Jones, di awal
tulisannya, "salah satu negara terbesar di dunia."
Tapi 'Indonesia' bukan satu-satunya nama yang pernah diusulkan.
Sebelumnya nama 'Nusantara' (artinya kira-kira: kepulauan antara
dua benua) pernah diancang-ancang. Nama ini terdapat dalam
cerita Nagara-kertagama -- meski terasa asing bagi orang luar
Jawa. Apalagi nama ini kurang mencakup wilayah Indonesia seperti
yang kita kenal sekarang -- yang anda ketahui terdiri dari
daerah bekas jajahan Belanda. Setelah diintroduksikan oleh
Brandes, 'Nusantara' diambil alih oleh F.E. Douwes Dekker pada
1920-an dan kemudian dipakai di kalangan tertentu.
Ternyata memang 'Nusantara' tidak diterima sebagai nama wilayah
yang terbentang antara Sabang-Merauke itu. Buktinya, menurut
Jones, para penulis asing tidak menggunakannya. Seorang penulis
asing menyebutnya sebagai "Kawasan kepulauan luas terbentang
antara Australia dan Asia Tenggara yang tidaklah gampang untuk
dibuat batasan. Nyatanya, tidak ada sebuah nama pun dapat
diterima di semua bagian wilayahnya . . ." Apa yang dikatakan
penulis asing itu dibenarkan oleh Jones, untuk seluruh abad
ke-20 dan awal abad ke-19. Ia kemudian mengajak kita untuk
menyimak sejarah panjang penemuan kata 'Indonesia.'
Jones dalam tulisannya itu mengemukakan nama-nama George Samuel
Windsor Earl, Adolf Bastian dan James Richardson Logan sebagai
orang-orang yang terlibat dalam penemuan dan pempopuleran
'Indonesia'. O ya, juga nam aHatta (lihat: Buku).
Earl lahir di Desa North End, Hamstead, London, 1813. Ayahnya,
Perry Earl, nakhoda sebuah kapal milik Kompeni India Timur. Pada
1832 Earl Muda menumpang sekunar Belanda, Monkey, dan sampai di
Australia. Dari Australia Barat menyeberang ke Jawa. Usianya
waktu itu 19 tahun, dan 16 tahun saat ia meninggalkan Inggris.
Selama 2 tahun atau lebih, sampai sekitar 1834, ia mengarungi
kawasan yang ia kenal sebagai 'Perairan Timur'. Ia kembali ke
Inggris 1835, dan pengalaman petualangannya itu diterbitkannya
di sana.
" 'Pelayaran dan petualangan' Earl ini ternyata terjadi pada
wilayah yang kemudian kita kenal sebagai 'Kepulauan Indonesia',"
ujar Jones, "dan ia sadar akan adanya kesatuan geografis daerah
itu."
NAMUN Earl tentu belum menyebut wilayah itu sebagai 'Kepulauan
Indonesia' --istilah itu belum lagi ditemukan. Berkali-kali ia
mengulang nama 'Kepulauan India', atau hanya 'Kepulauan', dalam
kesempatan lain: 'Kepulauan India Timur'. Penggunaan nama
'India' tentu membingungkan, kendati India yang kita kenal
sekarang ini saat itu sering disebut sebagai 'India Inggris'
(British India). Atau juga: 'India Daratan' (Continental India)
atau 'India Barat'.
Earl juga memakai istilah 'India Belanda' (Dutch India). Itu
memang lebih persis -- setidak-tidaknya sama dengan nama yang
digunakan Belanda sendiri. Hanya ia sering menghindarinya,
karena beberapa bagian wilayah itu (Singapura dan Semenanjung
Malaya) berada di luar klaim Belanda. "Atau mungkin karena
antipatinya terhadap Belanda, perasaan yang lumrah di kalangan
penduduk negeri wilayah itu sendiri," komentar Jones.
Seperti halnya para penulis lain di abad XIX itu, Earl
menghadapi masalah yang sama: tidak adanya nama yang paling
sesuai dan dapat diterima. Selalu saja ada kaitan dengan nama
'India', dan itu memungkinkan timbulnya kerancuan.
Sir Joseph Bank misalnya juga mencantelkan 'India' pada
nama-nama yang dipakainya, dua abad lalu. 'Pulau-Pulau India
Timur' (East India Islands), 'Kepulauan Timur' (Eastern
Islands), 'India Timur' (East Indies), 'Pulau-Pulau Timur'
(Eastern Isles) dan 'India'. Itu semua dipakainya. Lebih sial
lagi, kita-kita ini disebutnya 'orang-orang India' (The
Indians).
Pada 1783 William Marsden menyebut 'Kepulauan India' (India
Archiplago). Tapi pada 1812, setelah memakai 'East Indies' dan
'Kepulauan Malaya' (Malayan Archipelago), ia mengusulkan begini:
"Wilayah kepulauan ini tidak boleh tidak lebih persis disebut
dengan nama mirip-mirip Polynesia . . ." Namun nama yang tidak
praktis itu ternyata tidak ditanggapi orang.
Apa pula yang dipakai Rafles? Masih di situ-situ juga: 'the
Eastern Islands', 'East Indies', 'the Indian Islands', 'Asiatic
Isles', 'Malayan Archipelago', 'Archipelago' saja, dan 'Malay
Islands'. Malang memang, tak ada yang ada bau-bau sini: Jawa
atau Sumatera, umpamanya.
Di antara berbagai istilah dalam bahasa Belanda sendiri adalah
'Indie'. Dan "ini tidak begitu merancukan dibandingkan 'India'
dalam bahasa Inggris," komentar Jones. Harap tahu, Belanda
umumnya menyebut India-Inggris dengan istilah 'Voor Indie' atau
'Britsch Indie' -- sementara "India" yang jajahannya disebutnya
dengan 'Nederland's Indie', 'Neerland Indie', 'Nederlandsch Oost
Indie' dan 'Neerlands Oost-Indie', di samping 'Neerland's Indie
Archipel' atau malah 'Tropisch Nederland'. Seenaknya.
PADA awal abad XX timbul sebuah nama dalam judul-judul karangan
berbahasa Inggris dan Belanda. Tahun 1906 diterbitkan sebuah
buku: Hetanimismeder Indonesiers, oleh A.C. Kruijt. Dan pada
1909 terbit Het Indonesisch Heigendorn oleh C. Spat. Tahun 1918
diterbitkan pula di Manchester, Inggris, buku The Megalithic
Culture of Indonesia oleh W.J. Perry. "Dengan ini, nama-nama
untuk wilayah itu bertambah satu rival: Indonesia," kata Jones.
Dan kini tentang Adolf Bastian, ahli Jerman yang sangat
terkenal. Ia kelahiran Bremen, 1826, lulusan fakultas kedokteran
yang belakangan menjadi dokter kapal Pelayarannya ke berbagai
samudra digunakannya untuk riset-riset etnologi. Di antara
negeri-negeri yang dikunjunginya termasuk 'Nederland's Indie'
kita ini.
Sehabis pengembaraannya, ia hidup sebagai profesor etnologi dan
kurator Museum Berlin, dan meninggal tahun 1905. Ia penulis yang
produktif. Di antaranya berupa studi singkat yang dibukukan di
bawah judul: Indonesia oder die Inseln des Malayischen Archipel.
Diterbitkan pertama kali di Berlin, 1884, buku itu ditandai
dengan banyaknya pemakaian istilah 'Indonesia'.
Tapi dalam entry beberapa ensiklopedi, asal kata 'Indonesia'
tidak dikaitkan dengan nama Bastian. Edisi 11 Encyclopaedia
Britannica, Vol. XIV, 1911, umpamanya, menyebutkan: "INDONESIA,
nama yang diberikan James Richardson Logan untuk menggambarkan
penduduk non-Malaya yang berkulit terang yang menduduki
Kepulauan Timur ...." Lalu Grote Winkler Prins Encyclopedie,
1970, menulis: "Nama 'Indonesia' pertama kali dipergunakan oleh
etnolog Inggris G.R. Logan pada 1850 ...."
Tapi siapa itu Logan? Ia dilahirkan di Hutton Hall, Skotlandia,
1819, dan meninggal di Penang (Malaya), 1869. Belajar hukum di
Edinburgh. Setelah kemudian bertanam nila di Benggala, ia sampai
di Penang dan tinggal di sana hingga 1884. Tahun 1853 kembali
lagi ke Penang untuk menjadi pengacara. Kemudin menjadi editor
satu-satunya suratkabar setempat, Penang Gazette, yang konon
kesohor blak-blakan.
Ternyata Logan juga "ahli adat istiadat Cina," seperti dikutip
Jones dari satu sumber. Tapi yang menarik perhatian kita adalah
masa 1843-1853 ketika ia menetap di Singapura. Ketika itu, di
samping sebagai pengacara, ia juga membikin serangkaian catatan
(dan mengeditnya sekalian) tentang Kepulauan India dan Asia
Timur. Berjudul The Journal of the Indian Archipel and Eastern
India dikerjakan sejak 1847, dan muncul sampai 1863.
Jones dalam karangannya menjelaskan panjang lebar tentang hal
yang mendorong Logan mengerjakan jurnal itu, yang "ingin
menghidupkan kembali tradisi keilmuan Marsden, Raffles dan
Crowford". Di samping itu Logan kebetulan sedang tidak senang
dengan Belanda -- yang saat itu lagi bersaing dengan Inggris di
kawasan 'Perairan Timur' itu.
DALAM Volume IV -- jurnal tersebut, 1850, kita bertemu kembali
dengan Earl --masih ingat? Kini ia tampil sebagai pengarang
artikel Tentang Karakteristik Pokok Bangsa-bangsa Papua
Australla dan Melay-Polinesia. Ternyata Earl ini melawat ke
Australia pada 1838 dan kembali ke Inggris pada 1845 -- dan
kawin 1846. Akhir 1846 ia bersama istrinya kembali ke Sidney.
1848 ke Singapura, dan setahun kemudian bergabung dengan Logan
dan membuka kantor pengacara di sana.
Ini adalah tahun-tahun sulit untuk penyelidikan. Itulah sebabnya
keduanya bergabung membuka semacam lembaga bantuan hukum. Tahun
1852 ia kembali ke Inggris. Tidak betah, ilmuwan yang gelisah
ini berangkat lagi ke Australia. Masih tidak betah, minggat ke
Singapura, dan menjadi pengacara di sana. 1857 ia menjadi hakim.
Sampai tahun 1850 di ambang jendela, Earl masih belum
mengemukakan suatu nama untuk menyebut kawasan yang kini bernama
Indonesia itu. Padahal pada serial tulisannya ia sudah
menyatakan perlunya sebuah istilah untuk menggambarkan secara
kena "cabang bangsa Polinesia yang menduduki kepulauan India."
Nah, 'India' lagi yang nongol. Lalu ia mengajukan istilah
'Melayunesian'. "Proses untuk sampai pada istilah itu
berlangsung lama," ulas Jones, tapi tak sempat populer juga.
Seperti kita lihat, istilah itu oleh kebanyakan kita di
Indonesia baru sekali ini terdengar.
Tapi agaknya bisa ditebak: dari 'Melayunesia' itulah kata
'Indu-nesia' atau 'Indu-nesian' berkembang -- dan tinggal
mengganti satu kata saja untuk sampai ke 'Indonesia'. Dan dari
itu segera bisa kita tarik kesimpulan: yang menemukan kata
'Indonesia' yang kini kita sanjung-sanjung itu, tidak lain tidak
bukan memang George Samuel Windsor Earl tadi. "Earl layak diberi
penghargaan untuk penemuan kata 'Indonesia' itu," kata Jones,
"kendati Earl sendiri tidak memakainya." Aneh, memang, ternyata
Earl tidak memakai istilah itu dalam tulisan-tulisan berikutnya.
Dalam volume yang sama dari jurnal itu, dimuat pula tulisan J.R.
Logan Etnologi Kepulauan India: Mencakup Hubungan Kontinental
dengan Penduduk Kepulauan Indo-Pasifik. Di sini ditemukan sebuah
kalimat: "Di antara para penyelidik, Tuan William cakap
berhubungan dengan penduduk asli Indonesia ...." dan seterusnya.
Nah, lihat di sini untuk pertama kalinya kata 'Indonesia' muncul
dalam literatur Inggris.
Dan bagaimana sikap Logan sendiri? Dalam catatan kaki sebuah
karangannya ia menulis: "Untuk nama 'Indian Archipelago' sebagai
ajektif atau bentuk etnografis, Tuan Earl menganjurkan pemakaian
istilah etnografis 'Indonesians', dan menolak 'Melayunesians'
.... Saya sendiri lebih suka semata-mata sebagai istilah
geografi. 'Indonesia' merupakan sinonim terdekat dengan 'Indian
Islands' atau 'Indian Archipelago'. Kita jadinya memperoleh
'Indonesian' untuk 'Indian Archipelago', dan 'Archipelagic'
serta 'Indonesians' untuk 'Indian Al-chipelagians' dan 'Indian
Islanders' ....
Setelah itu Logan memakai istilah 'Indonesian' berulang kali,
dan tampaknya tanpa sadar. Dalam artikel yang sama ia juga
menggunakan 'Indonesia' sebagai istilah geografis. Tapi dalam
dua serial berikutnya ia membubuhi judul: Etnologi Kepulauan
Pasifik ! Pasifik, eh.
Dari kesaksian Logan ini jelas sudah bahwa Bastian pada 1884
bukan yang pertama menggunakan istilah 'Indonesia' ia hanya
mempopulerkannya di lingkungan Jerman dan Belanda. Tapi dari
mana Bastian menjambret nama itu? Kayaknya tak dapat dipercaya
bahwa paper Logan lepas dari perhatian seorang yang begitu
banyak menghabiskan waktunya mempelajari etnologi di kawasan
yang kelak bernama 'Indonesia' itu.
"Istilah ini lebih jauh dapat ditemui pada seri berikutnya
tulisan Logan," tulis Jones hendak meyakinkan kita. "Dan dapat
ditemui secara berkala dalam artikel-artikelnya di jilid-jilid
berikutnya dari jurnal ini." Lalu Jones menyimpulkan:
"Karenanya, cukup alasan untuk menyimpulkan, bawa Logan-lah --
dan bukan Bastian -- yang merintis dan mempopulerkan pemakaian
nama 'Indonesia' dalam bahan-bahan cetakan. Tapi mungkinkah kita
menarik kesimpulan bahwa Bastian benar-benar telah membaca
artikel Logan yang memuat istilah itu?"
Kecurigaan terhadap Bastian masih keterusan. "Lima jilid buku
Bastian Indonesien tanpa kepustakaan dan indeks!" tuding Jones
penasaran. Penilikan sepintas terhadap buku-buku itu dapat
menyingkap sumber informasi siapa yang dipergunakan Bastian.
Detail publikasi yang merupakan sumber informasi tersebut tidak
pula disebut-sebut oleh Bastian. Tapi yang jelas, setidaknya
beberapa dari referensi itu dapat dilacak dari artikel Logan
pada jilid pertama jurnalnya -- dari kutipan yang diambil secara
verbatim alias kata demi kata, dalam bahasa Inggris.
Gamblanglah bahwa Bastian pernah mengetahui atau membaca
setidak-tidaknya satu karangan Logan yang memuat istilah
'Indonesia' itu. Tahun 1869 Bastian menerbitkan buku Reisen im
Indischen Archipel Singapore, Batavia, Manilla und Japan. Dalam
karya ini kita dapat menemukan pola yang sama dalam penempatan
informasi seperti yang dipakai Logan," komentar Jones.
Detail-detail kepustakaan tidak diberikan. Tapi di situ kembali
sejumlah referensi dapat dilacak asal-usulnya, dari artikel yang
sama dari jurnal Logan. Ada pula satu bahan catatan diskusi
Logan tentang bahasa, yang juga diserobot Bastian. Kemudian
akhir buku, halaman 534, dalam appendix dan dalam catatan kaki,
muncullah rantai yang hilang itu -- kendati samar-samar.
Itulah rantai yang membuktikan tanpa ragu: Ketika Bastian
menerbitkan Indonesien-nya pada 1884, jelas ia sudah tahu
penggunaan istilah 'Indonesia' oleh Logan -- untuk sekitar 15
tahun atau lebih. "Ini membantah kemungkinan apa pun bahwa
Bastianlah yang memakai pertama kali istilah 'Indonesia'," kata
Jones dengan mantap.
Tetapi, "dongeng bahwa Bastian yang menemukan kata 'Indonesia'
tetap saja bertahan, bagaimanapun," komentar Jones lagi. Cukup
mengherankan, karena sebenarnya cukup banyak referensi tentang
introduksi Logan terhadap istilah itu. A.H. Keane pada 1909
misalnya menulis dalam Encyclopaedia of Relegian and Ethics:
"Loganlah yang memperkenalkan istilah 'Indonesia . . . '."
Sedang yang dikatakan Encyclopaedia Britannica sudah disinggung
terdahulu.
Tetapi orang mungkin menyimpulkan, tanpa "intervensi" Bastian,
nama 'Indonesia' tidak bisa bertahan sampai sekarang. Tapi itu
tidak benar, kata Jones. Karena dari Fischer diketahui bahwa
para anthropolog telah menggunakan istilah itu sebelum 1884.
Kita sudah tahu pula bahwa Bastian mengetahui kata itu dari
tulisan-tulisan Logan. Dan mungkin para ilmuwan secara tak
langsung mempelajarinya dari Bastian -- dan dari sinilah mitos
itu bermula. Tapi sementara itu seorang anthropolog Prancis,
E.T. Hamy, di tahun 1887 meminjam bahan-bahan itu sendiri
langsung dari Logan. Bukan Bastian.
Ada kesan bahwa dalam karya-karya berbahasa Inggris, nama
'Indonesia' yang sebelumnya muncul dalam buku Bastian pada 1884
itu, setelah tahun tersebut tidak menemui jalan untuk menjadi
lebih populer. Sementara itu nama 'Indonesiens' muncul di
London pertama kali dalam berkala Proceeding -- terbitan Lembaga
Geografi Kerajaan, 1884. Dan itu sebenarnya hanya berupa
pengumuman tentang penerbitan karya Bastian jilid pertama.
Beberapa tahun kemudian nama itu muncul lagi dalam buku Bastian
jilid IV. Bahwa nama 'Indonesia' tidak beredar dalam kalangan
geograf Inggris (dalam masa 5 tahun setelah buku itu
diterbitkan) dapat dilihat dari isi pengumumannya sendiri yang
berbunyi: " Inilah lanjutan serial memoar berharga Drs. Bastian
tentang penyelidikannya di Kepulauan Malaya!" Malaya, eh!
Menurut anthropolog Belanda Prof. H.Th. Fischer, publikasi jilid
pertama karya Bastian itu sama sekali tidak membangkitkan
perhatian terhadap istilah baru itu.
Istilah 'Indonesia', yang beredar sejak 1850 itu, muncul untuk
menggambarkan daerah kebudayaan dan geografinya. "Rasa-rasanya
tak ada nama lain yang lebih sesuai," tulis Jones. Tapi
pengertiannya tidak hanya berhenti pada ruang lingkup kebudayaan
dan geografis saja -- setidaknya sampai tenggelamnya abad XIX
dan masuknya dua dasawarsa pertama abad XX. Setelah itu
'Indonesia' melekatkan diri pula pada konotasi politik.
Ketika nasionalisme Indonesia muncul ke permukaan, nama
'Indonesia' menyatu dengan cita-cita nasional dari sebuah negeri
yang ingin merdeka. Lumrah jika kaum nasionalis emoh dengan nama
resmi 'Nederlandsch Indie' untuk sebuah negara merdeka yang kita
semua idamkan. Untuk alasan yang mirip pula mereka dahulu
menolak istilah 'India'. " 'Indonesia' sudah siap pakai sebagai
pilihan yang alamiah -- tidak mendua arti, dan tidak berbau
kolonial," Jones punya komentar.
Dan ini pula kesan seorang nasionalis Indonesia, menurut Jones:
"Apakah karenanya mengejutkan, jika mereka menetapkan sendiri
pilihannya dengan rasa gairah, dengan penuh harapan pada kata
'Indonesia'?" Dan bersamaan dengan itu, orang-orang bekas
jajahan Belanda itu tidak ingin disebut 'orang Belanda', tapi
'Orang Indonesia'.
"Juga mereka tidak ingin menamakan dirinya dengan nama
kelompok-kelompok etnis seperti 'orang Jawa', 'orang Sunda' atau
'orang Minangkabau'. Kata 'inlander' dihindari pula, karena
bernada merendahkan seperti halnya 'native' dalam bahasa
Inggris. Di sinilah penemuan Earl bertemu dengan kebutuhan."
Dengan kata lain: kita sebenarnya telah memilih di antara
nama-nama yang sudah "telanjur ada."
November 1917, sebuah federasi didirikan di Negeri Belanda, dari
mahasiswa-mahasiswa Indologie. Namanya: Indonesisch Verbond van
Studeerenden. Seperti yang ditunjukkan Dahm, inilah pertama kali
kata 'Indonesia' muncul dalam sebuah nama organisasi -- dan
secara perlahan tapi pasti melekatkan diri pada arti geografis
dan politis.
Pengertian politis itu memantapkan dirinya pada kata itu setelah
dipakai para nasionalis di tahun 1920. "Mohammad Hatta," tulis
Jones, "memulai sebuah artikel tentang subyek itu pada 1929
dengan kalimat: 'Dengan tak bosan-bosannya sejak 1918 kita telah
mempropagandakan 'Indonesia' sebagai tanah air kita'." Seorang
penulis mengomentari, nama itu memperoleh konotasi politik
"terutama dalam 10 tahun terakhir" -- dihitung dari saat tulisan
itu disiarkan, 1929. Berarti sejak 1919, alias sejak federasi
mahasiswa tersebut. Jadi merekalah yang memilih.
Lalu tahun 1922 terdapat langkah yang menentukan. 'Indische
Vereeniging', organisasi mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda
yang didirikan sejak 1908, mengubah namanya menjadi
"Indonesische Vereeniging" Organisasi yang dalam bahasa Melayu
berarti 'Perhimpoenan Indonesia' itu menjalankan politik
nasional yang jelas-dan sejak itu secara konsisten memakdi
istilah 'Indonesia'.
Sebelum dasawarsa ketiga abad itu berlalu, cita-cita
nasionalisme semakin berurat berakar. Bulan Agustus 1926
Mohammad Hatta menyerukan agar nama itu dipakai dalam kancah
Gerakan Perdamaian Dunia yang sedang berkongres di Paris. Hatta
sendiri hadir di sana dan menjadi jurubicara delegasi Indonesia.
Tak pelak lagi atas inisiatif dan desakannyalah nama 'Indonesia'
diterima Kongres. Dalam Kongres Perdamaian Pemuda Sedunia di
Oerijssel, Negeri Belanda, 2 tahun kemudian, dalam daftar
peserta tercantum nama: "Indonesia . . . Perhimpoenan
Indonesia." Dan secara kebetulan, Kongres dibuka pada 17 Agustus
....
Menurut Hatta, pada 1928 itu nama 'Indonesia' sudah dipakai
rakyat Indonesia sampai ke pelosok-pelosok, oleh penduduk miskin
yang buta huruf sekalipun. Hatta yang terkenal jujur itu tentu
tidak bohong. Juga tentang yang ditulisnya pada 1929 ini:
"Seluruh kekuatan nasionalis yang asli maupun yang Cina-Melayu,
menuntut agar di tanah air ini kita berbicara Indonesia"
'Indonesia' kini dipakai dalam kongres-kongres internasional dan
'Indonesia' telah memenangkan opini publik dunia!"
Tapi jika artikel Hatta itu mewakili para nasionalis terkemuka,
ada yang tidak merasa terwakili. Mereka adalah lingkungan orang
Belanda tertentu, pejabat atau pedagang, yang dengan sangat
keberatan menolak inovasi nama itu. "Para nasionalis itu," kata
mereka, "mengambil istilah itu secara emosional, bahkan
hampir-hampir dalam keadaan kesurupan!" Melalui tulisannya pada
1928, Hatta membalas menyerang langsung surat kabar Het Algemeen
Handelsblad -- yang dianggap mewakili kepentingan para kapitalis
-- dan juga kaum sosialis. Sosialis S. Mok menyebut kata
'Indoncsia' sebagai 'tidak sopan'.
Di situlah Hatta yang penyabar tapi muda itu bangkit amarahnya.
Ia bisa memahami tantangan dari pihak kapitalis, karena
nasionalisme yang makin menebal bisa mengancam mereka. Tapi dari
mereka yang menamakan diri sosialis? Hatta juga menolak bahwa
istilah itu sudah dipakai sebelumnya oleh kaum komunis, karena
katanya kaum komunis baru memakainya sekitar 1924 dan 1925
--jauh sesudah kaum nasionalis. Tapi menurut Jones argumen Hatta
dalam hal ini lemah. Karena ketika usul perubahan nama
'Indonesia' diajukan ke Majelis Rendah pada 1921, adalah kaum
komunis yang dianggap menjadi biang pengusulnya.
JONES juga mengatakan bukan tak ada tantangan dari kaum
konservatif Indonesia. Dan siapa mereka, mudah ditebak: kaum
priyayi, pegawai pemerintah yang menemui kesulitan memakai
istilah yang "ekstrim" itu karena takut tidak disenangi pejabat
kolonial.
Tentang Hatta sendiri, menurut Jones ada keterikatan lainnya
dengan penggunaan istilah itu. Desember 1928 Hatta menulis dua
artikel dalam bahasa Belanda: Tentang Nama Indonesia dan
Sesuaikah Nama Indonesia untuk Konsep Politik? Yang mendorongnya
menulis adalah sikap SAP -- Partai Buruh Sosial Demokratis --
yang menolak memakai nama itu pada Juni 1928. Tapi tahun
berikutnya penolakan itu dicabut, nama 'Indonesia' diterima.
Tidak semua orang Belanda menolak nama tersebut, tentu.
Sehubungan dengan usul perubahan konstitusi yang diperdebatkan
Volksraad, tahun 1921, datang usul agar 'Nederlandsche Indie'
diganti saja menjadi 'Indie'. Karena dengan alasan takut
dikacaukan dengan nama 'India' yang berada di daratan Asia, usul
itu ditolak. Kemudian datang usul lain dari van Hinloopen
Labberton, dan yang diusulkan justru nama 'Indonesia'. Menurut
Brouwer, usul ini berasal-usul dari para anggota pribumi
Volksraad yang berhaluan kiri. Usul itu gagal mencapai suara
mayoritas dan karenanya ditolak.
Lalu sebelum pecah perang di Eropa, seorang anggota Volksraad,
yang dari namanya (Mr. Wiwoho) bisa diketahui sebagai pribumi
Jawa alias Indonesia, mendorong Pemerintah Belanda untuk
mengganti (dalam teks Konstitusi Belanda) nama 'Nederlandsche
Indie' menjadi 'Indonesia' dan nama 'inlander' menjadi 'orang
Indonesia'. Juga dalam semua dokumen resmi administrasi
pemerintah. Tentu saja ditolak.
Beberapa tahun kemudian terjadi kejutan: 1940, Belanda diduduki
Hitler, dan 1941-1942 Jepang menduduki Hindia Belanda.
Pemerintah Amsterdam terpaksa hengkang ke London, sementara
kerajaan di seberang lautan berada di bawah van Mook yang
"progresif". Desember tahun itu pula pemerintah Belanda
memformulasikan kebijaksanaan baru terhadap 'Nederlandsche
Indie'-nya "atas dasar kebersamaan yang kukuh dan komplit." Usul
yang kesiangan.
Bersama dengan itu Ratu Wilhelmina mengucapkan pidato melalui
Radio Oranje London, di suatu hari Sabtu di bulan Desember 1942.
Dari sana diketahui, Belanda tampaknya sudah oke dengan soal
penggantian nama 'Nederlandsche Indie' menjadi 'Indonesia',
meski terkesan tidak ikhlas penuh. Buktinya, masih saja menyebut
bakal bekas negeri jajahannya sebagai 'Nederlandsche Indie' --
dan dalam selusin kesempatan hanya satu kali menyebut
'Indonesiers' dan satu kali 'Indonesie'. Maka tak heran jika
revisi konstitusi Belanda baru kejadian 3 tahun kemudian --
1948. Hingga "sah"lah nama 'Nederlandsche Indie' menjadi
'Indonesia'.
Padahal rakyat Indonesia sudah tidak ambil peduli. Indonesia
sudah lahir sebagai negara merdeka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini