Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Berita Tempo Plus

Kacamata Khusus Dari Mana?

Menjelang gerhana matahari yang bisa disaksikan di Indonesia pada juni '83, berbagai pihak sibuk mengadakan persiapan. pemda kotamadya sala mengusulkan kepada pemerintah untuk membikin kacamata khusus. (ilt)

14 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Kacamata Khusus Dari Mana?
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEMAM gerhana matahari semakin terasa. Peristiwa alam itu akan bisa disaksikan di Indonesia dalam Juni 1983, tapi berbagai pihak sudah sibuk mengadakan persiapan. Tentu saja lembaga ilmiah seperti LIPI dan Peneropongan Bintang Bosscha di Lembang tak ketinggalan. Bahkan juga hotel dan biro perjalanan mempersiapkan diri. Tapi Kotamadya Sala di Jawa Tengah mungkin agak mengejutkan. Pemda kotamadya itu sempat mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk dikirimi kacamata khusus. Jumlahnya mencapai 400.000 buah! Tujuannya "agar penduduk Sala bisa menonton peristiwa gerhana matahari sempurna itu dengan selamat," ujar Puspopranoto, asisten sekwilda. Soalnya, menurut para ahli, mata anda bakal rusak kalau menonton gerhana matahari tanpa pelindung mata. Gerhana matahari terjadi di saat bulan berada antara matahari dan pengamat di bumi, hingga berkas cahaya matahari terhadang. Jarak bulan dari bumi berubah-ubah karena peredarannya keliling bumi bukan merupakan lingkaran sempurna. Kalau jaraknya kebetulan jauh, terjadi gerhana matahari sebagian karena piringan bulan yang gelap tak cukup menutupi piringan matahari. Tapi jika kebetulan posisi bulan dekat ke bumi, piringan bulan menutupi piringan matahari seluruhnya -- bahkan terlihat melebihinya sedikit -- hingga terjadi gerhana matahari sempurna. Di saat itu terbentuk dua jenis bayang-bayang di permukaan bumi, lansung dan tidak langsung, atau umbra dan penumbra. Di wilayah yang tersentuh penumbra, wajah matahari tampak tertutup sebagian saja oleh piringan bulan yang gelap itu. Sedang wilayah yang terkena bayang-bayang langsung (umbra) bergaris tengah sekitar 200 km. Karena perputaran bumi, bulatan bayang-bayang ini meluncur di atas permukaan bumi, seakan-akan membentuk suatu jalur selebar 200-an km. Gerhana matahari tahun depan terjadi 11 Juni. "Kebetulan menjelang Ramadhan," ujar Dr. Ir. Bachtiar Rivai, Ketua LIPI, yang memang gemar mencari hal yang unik dalam suatu peristiwa "Bagi orang Jawa peristiwa itu jatuh pada hari Sabtu Pon," tambahnya. Pertama kali bayang-bayang bulan menyentuh permukaan bumi di Samudera Indonesia, beberapa ratus kilometer sebelah tenggara Pulau Malagasi. Sekitar pukul 09.49 WIB bayang-bayang itu bakal menyentuh pantai selatan Pulau Jawa di Pengandaran, Jawa Barat. Selanjutnya dengan kecepatan 1.600 km per jam melintas bagian terbesar Jawa Tengah, bagian utara Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara serta bagian selatan Irian Jaya. Berbagai kota dalam jalur ini antara lain Yogyakarta, Malang, Sala, Tuban dan Surabaya. Wilayah utama jalur sentuhan bayang-bayang bulan itu ialah Jawa Tengah yang padat penduduk. Maka bulan lalu Gubernur Jawa Tengah menyelenggarakan Rapat Koordinasi Panitia Menyongsong Gerhana Matahari. Juga hadir dalam rapat itu seorang petugas LIPI. Konon ia memperagakan sebuah kacamata contoh untuk melihat gerhana matahari. Harganya katanya sekitar Rp. 100. Tapi ini menimbulkan teka-teki. Kepada TEMPO Dr. Bachtir Rivai pekan lalu menjelaskan bahwa kacamata gerhana itu memang disiapkan LIPI. LIN (Lembaga Instrumentasi Nasional)-LIPI sudah melaksanakan penelitiannya, mengembangkan suatu metode melapis kaca agar dapat memantulkan sinar ultra-violet sebanyak mungkin dengan bahan yang paling murah. Percobaan dilakukan dengan tiga jenis kaca. Pertama, kacamata hitam yang biasa dijual di kaki lima, kemudian filter neutral-dense yang dipergunakan pada tustel foto, dan akhirnya kaca optik khusus. Ketiga bahan itu dicoba untuk dilapisi dengan aluminium, perak, emas dan beberapa jenis logam lain. "Ternyata aluminium paling banyak memantulkan sinar ultra-violet," ujar Sunartoto Gunadi dari Laboratorium Optik LIN-LIPI. Sementara bahan yang paling baik untuk dilapis ialah kaca filter tadi. Tapi karena harganya cukup mahal, Sunartoto memilih kacamata hitam dari kakilima itu. Proses pelapisan terdiri atas beberapa tahap, yang terpenting ialah pelapisan dasar berupa larutan ZnS:(sulfida seng). Lapis ini kemudian ditumpangi Al (aluminium) 99,99%. Proses itu dilakukan dalam tabung hampa udara yang berisikan juga tiga buah alat pemanas. Satu untuk mengeringkan kaca yang bakal dilapis, satu untuk mencairkan sulfida Seng dan satu lagi untuk mencairkan aluminium. Kedua zat itu masing-masing disemprotkan melalui hembusan ke atas kaca itu. Proses itu berlangsung selama 2« - 3 jam. Tapi, menurut Sunartoto, "pelapisan melalui tabung hampa udara itu biayanya cukup mahal." Ongkos proses itu mencapai Rp 5.000. Sementara kemampuan peralatan laboratorium itu hanya sampai 28 buah kaca sekaligus. Jadi dengan harga sekitar Rp 2.000 per kacamata hitam kaki lima, setelah dilapis jatuhnya sekitar Rp 2.200. Tentu saja kaca mata seharga itu tak terbeli oleh masyarakat. Dan memang LIN-LIPI tidak bermaksud memproduksikannya secara massal. "Kami hanya melakukan penelitian," ujar Sunartoto lagi. Dan penelitian itu sebetulnya dirangsang oleh adanya penawaran kacamata khusus oleh perusahaan di Amerika Serikat. Sunartoto jadi penasaran. "Hanya untuk sekali pakai saja, kok sampai mengimpor dari Amerika," tutur Sunartoto. "Masa kita tidak mampu membuatnya!" Kacamata Amerika itu ditawarkan seharga US$0.40 per buah (Rp 260). Tapi syaratnya pemerintah harus beli satu juta buah. Kalau kacamata Amerika itu seharga Rp 260 dan harga kacamata LIN-LIPI lebih Rp 2.000, di manakah kacamata seharga Rp 100 yang konon ditawarkan petugas LIPI dalam rapat Pemda Jawa Tengah? Tak terjawab rupanya. Puspopranoto di Sala agaknya tidak berhasil membawa contohnya. JOKO Pitono, Asisten Direktur Ilmiah LIN-LIPI menyatakan sebaiknya ini digarap perusahaan swasta. Di Bandung perusahaan optik A. Kasoem sudah dihubungi pihak LIN, menurut Joko. Namun tampaknya belum ada ketegasan. Bahwa kebuuan terjadi jika seseorang memandang gerhana matahari, itu bukan khayalan. Ketika terjadi gerhana total tahun 1970 di Amerika Serikat 133 orang diketahui menjadi buta total. Maka menjelang gerhana tahun 1979, semua stasiun TV di AS memperingati akan bahaya itu berulang kali. Di Afrika diketahui dua pemuda menjadi buta akibat mengamati gerhana tahun 1980 tanpa pelindung mata. Ini yang tercatat saja. Sebetulnya tak usah orang mengandalkan betul kacamata khusus. Sepotong kaca yang dihitamkan dengan asap lilin atau pelita minyak sudah cukup. Juga bisa dipergunakan film negatif yang hitam pekat, atau bisa mengamati peristiwa itu melalui bayang-bayangnya dalam air di sebuah bejana. Jika matahari bersinar normal, tak ada orang berniat menatapinya secara langsung. Tapi jika silau cahayanya terhalang oleh piringan gelap bulan, niscaya keinginan melihatnya timbul apalagi mata tidak terasa terganggu. Di situ bahayanya karena justru sinar ultra-violet saat itu intensitasnya tinggi dan jika difokuskan oleh lensa mata pada bagian belakang mata, pasti terjadi kerusakan berupa penggumpalan pada sel kerucut yang bisa menyebabkan kebutaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus