DEMAM gerhana matahari semakin terasa. Peristiwa alam itu akan
bisa disaksikan di Indonesia dalam Juni 1983, tapi berbagai
pihak sudah sibuk mengadakan persiapan. Tentu saja lembaga
ilmiah seperti LIPI dan Peneropongan Bintang Bosscha di Lembang
tak ketinggalan. Bahkan juga hotel dan biro perjalanan
mempersiapkan diri. Tapi Kotamadya Sala di Jawa Tengah mungkin
agak mengejutkan.
Pemda kotamadya itu sempat mengusulkan kepada pemerintah pusat
untuk dikirimi kacamata khusus. Jumlahnya mencapai 400.000 buah!
Tujuannya "agar penduduk Sala bisa menonton peristiwa gerhana
matahari sempurna itu dengan selamat," ujar Puspopranoto,
asisten sekwilda. Soalnya, menurut para ahli, mata anda bakal
rusak kalau menonton gerhana matahari tanpa pelindung mata.
Gerhana matahari terjadi di saat bulan berada antara matahari
dan pengamat di bumi, hingga berkas cahaya matahari terhadang.
Jarak bulan dari bumi berubah-ubah karena peredarannya keliling
bumi bukan merupakan lingkaran sempurna. Kalau jaraknya
kebetulan jauh, terjadi gerhana matahari sebagian karena
piringan bulan yang gelap tak cukup menutupi piringan matahari.
Tapi jika kebetulan posisi bulan dekat ke bumi, piringan bulan
menutupi piringan matahari seluruhnya -- bahkan terlihat
melebihinya sedikit -- hingga terjadi gerhana matahari sempurna.
Di saat itu terbentuk dua jenis bayang-bayang di permukaan bumi,
lansung dan tidak langsung, atau umbra dan penumbra. Di wilayah
yang tersentuh penumbra, wajah matahari tampak tertutup sebagian
saja oleh piringan bulan yang gelap itu. Sedang wilayah yang
terkena bayang-bayang langsung (umbra) bergaris tengah sekitar
200 km. Karena perputaran bumi, bulatan bayang-bayang ini
meluncur di atas permukaan bumi, seakan-akan membentuk suatu
jalur selebar 200-an km.
Gerhana matahari tahun depan terjadi 11 Juni. "Kebetulan
menjelang Ramadhan," ujar Dr. Ir. Bachtiar Rivai, Ketua LIPI,
yang memang gemar mencari hal yang unik dalam suatu peristiwa
"Bagi orang Jawa peristiwa itu jatuh pada hari Sabtu Pon,"
tambahnya. Pertama kali bayang-bayang bulan menyentuh permukaan
bumi di Samudera Indonesia, beberapa ratus kilometer sebelah
tenggara Pulau Malagasi.
Sekitar pukul 09.49 WIB bayang-bayang itu bakal menyentuh pantai
selatan Pulau Jawa di Pengandaran, Jawa Barat. Selanjutnya
dengan kecepatan 1.600 km per jam melintas bagian terbesar Jawa
Tengah, bagian utara Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Tenggara serta bagian selatan Irian Jaya. Berbagai kota dalam
jalur ini antara lain Yogyakarta, Malang, Sala, Tuban dan
Surabaya.
Wilayah utama jalur sentuhan bayang-bayang bulan itu ialah Jawa
Tengah yang padat penduduk. Maka bulan lalu Gubernur Jawa Tengah
menyelenggarakan Rapat Koordinasi Panitia Menyongsong Gerhana
Matahari. Juga hadir dalam rapat itu seorang petugas LIPI. Konon
ia memperagakan sebuah kacamata contoh untuk melihat gerhana
matahari. Harganya katanya sekitar Rp. 100. Tapi ini menimbulkan
teka-teki.
Kepada TEMPO Dr. Bachtir Rivai pekan lalu menjelaskan bahwa
kacamata gerhana itu memang disiapkan LIPI.
LIN (Lembaga Instrumentasi Nasional)-LIPI sudah melaksanakan
penelitiannya, mengembangkan suatu metode melapis kaca agar
dapat memantulkan sinar ultra-violet sebanyak mungkin dengan
bahan yang paling murah.
Percobaan dilakukan dengan tiga jenis kaca. Pertama, kacamata
hitam yang biasa dijual di kaki lima, kemudian filter
neutral-dense yang dipergunakan pada tustel foto, dan akhirnya
kaca optik khusus. Ketiga bahan itu dicoba untuk dilapisi dengan
aluminium, perak, emas dan beberapa jenis logam lain. "Ternyata
aluminium paling banyak memantulkan sinar ultra-violet," ujar
Sunartoto Gunadi dari Laboratorium Optik LIN-LIPI. Sementara
bahan yang paling baik untuk dilapis ialah kaca filter tadi.
Tapi karena harganya cukup mahal, Sunartoto memilih kacamata
hitam dari kakilima itu.
Proses pelapisan terdiri atas beberapa tahap, yang terpenting
ialah pelapisan dasar berupa larutan ZnS:(sulfida seng). Lapis
ini kemudian ditumpangi Al (aluminium) 99,99%. Proses itu
dilakukan dalam tabung hampa udara yang berisikan juga tiga buah
alat pemanas. Satu untuk mengeringkan kaca yang bakal dilapis,
satu untuk mencairkan sulfida Seng dan satu lagi untuk
mencairkan aluminium. Kedua zat itu masing-masing disemprotkan
melalui hembusan ke atas kaca itu. Proses itu berlangsung selama
2« - 3 jam.
Tapi, menurut Sunartoto, "pelapisan melalui tabung hampa udara
itu biayanya cukup mahal." Ongkos proses itu mencapai Rp 5.000.
Sementara kemampuan peralatan laboratorium itu hanya sampai 28
buah kaca sekaligus. Jadi dengan harga sekitar Rp 2.000 per
kacamata hitam kaki lima, setelah dilapis jatuhnya sekitar Rp
2.200. Tentu saja kaca mata seharga itu tak terbeli oleh
masyarakat. Dan memang LIN-LIPI tidak bermaksud
memproduksikannya secara massal. "Kami hanya melakukan
penelitian," ujar Sunartoto lagi.
Dan penelitian itu sebetulnya dirangsang oleh adanya penawaran
kacamata khusus oleh perusahaan di Amerika Serikat. Sunartoto
jadi penasaran. "Hanya untuk sekali pakai saja, kok sampai
mengimpor dari Amerika," tutur Sunartoto. "Masa kita tidak mampu
membuatnya!"
Kacamata Amerika itu ditawarkan seharga US$0.40 per buah (Rp
260). Tapi syaratnya pemerintah harus beli satu juta buah.
Kalau kacamata Amerika itu seharga Rp 260 dan harga kacamata
LIN-LIPI lebih Rp 2.000, di manakah kacamata seharga Rp 100 yang
konon ditawarkan petugas LIPI dalam rapat Pemda Jawa Tengah? Tak
terjawab rupanya. Puspopranoto di Sala agaknya tidak berhasil
membawa contohnya.
JOKO Pitono, Asisten Direktur Ilmiah LIN-LIPI menyatakan
sebaiknya ini digarap perusahaan swasta. Di Bandung perusahaan
optik A. Kasoem sudah dihubungi pihak LIN, menurut Joko. Namun
tampaknya belum ada ketegasan.
Bahwa kebuuan terjadi jika seseorang memandang gerhana matahari,
itu bukan khayalan. Ketika terjadi gerhana total tahun 1970 di
Amerika Serikat 133 orang diketahui menjadi buta total. Maka
menjelang gerhana tahun 1979, semua stasiun TV di AS
memperingati akan bahaya itu berulang kali. Di Afrika diketahui
dua pemuda menjadi buta akibat mengamati gerhana tahun 1980
tanpa pelindung mata. Ini yang tercatat saja.
Sebetulnya tak usah orang mengandalkan betul kacamata khusus.
Sepotong kaca yang dihitamkan dengan asap lilin atau pelita
minyak sudah cukup. Juga bisa dipergunakan film negatif yang
hitam pekat, atau bisa mengamati peristiwa itu melalui
bayang-bayangnya dalam air di sebuah bejana.
Jika matahari bersinar normal, tak ada orang berniat menatapinya
secara langsung. Tapi jika silau cahayanya terhalang oleh
piringan gelap bulan, niscaya keinginan melihatnya timbul
apalagi mata tidak terasa terganggu. Di situ bahayanya karena
justru sinar ultra-violet saat itu intensitasnya tinggi dan jika
difokuskan oleh lensa mata pada bagian belakang mata, pasti
terjadi kerusakan berupa penggumpalan pada sel kerucut yang bisa
menyebabkan kebutaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini