DUNCAN Henderson beranjak besar di kebun gandum. Setiap harinya ia berjalan tiga kilometer menuju sekolah, dan dengan segenap hati ia percaya bahwa segala jawab dapat ditemukan dalam kitab Injil. Dalam dunianya, seks adalah sesuatu yang teramat pribadi, dan penyakit yang paling mengerikan adalah kanker. Hidup memang tak mudah, tapi ia cukup merasa bahagia karena punya keyakinan bahwa kehidupan yang lebih baik tengah disiapkannya untuk putra tunggalnya, dan cucu-cucu yang bakal lahir nantinya. Pada suatu malam, bulan April 1973, putra Henderson yang berusia 26 tahun, Paul, mengatakan bahwa ada sebuah pengakuan yang ingin diucapkannya. "Selama ini saya tak sepenuhnya jujur padamu," kata Paul. "Saya gay." Duncan Henderson, yang seumur hidupnya tak pernah berpikir bahwa ia akan bertemu dengan pria homoseks dan berpendapat bahwa hubungan kelamin sejenis adalah dosa besar, terdiam. Akhirnya, ditatapnya sang putra sambil berkata, "Paul, kau adalah anak kami, dan kami mencintaimu." Dipeluknya Paul erat-erat. Tahun berlalu. Pada sebuah malam tanggal 19 Mei 1989, telepon di sebuah rumah keluarga Henderson di St. Louis berdering. Paul menelepon. Dari suara Paul, Henderson dan istrinya Virginia yakin ada yang tak beres. Dan benar, Henderson harus terkejut untuk kedua kalinya. Ia mendengar di telepon, Paul berkata, "Saya baru saja mendapat hasil pemeriksaan tes kesehatan. Saya terkena AIDS." Dalam bulan dan tahun selanjutnya Henderson mendampingi putranya memerangi AIDS. Ketika itu ia banyak belajar tentang dirinya, tentang halhal yang tak pernah terbetik di kepalanya. Ia merasa menjadi orang yang lebih kuat, lebih lengkap dari yang pernah diperkirakan istrinya. Henderson dan Paul, yang sebelumnya tak pernah merasakan kehangatan ayah dan anak, kini menemui tali kasih yang sangat kuat. "Sampai kapan pun saya akan selalu mensyukuri keputusan saya untuk datang pada Paul dan menjaganya," kata Henderson. Begitu banyak yang telah ditulis, dikatakan, bahkan difilmkan tentang penderita AIDS. Namun, tak banyak yang menceritakan perasaan dari sisi ayah. Padahal, dalam banyak kasus, para ayahlah korban yang terguncang karena tibatiba dihadapkan perilaku seksual putranya dan AIDS. Duncan Henderson adalah ayah yang harus menelan kenyataan itu. Sampai usia 20 tahun, Henderson tinggal tenteram di kebunnya di Kanada sebelum pindah untuk tinggal bersama bibinya ke Missouri, Amerika Serikat. Di rumah bibinya, tinggal seorang gadis pemalu, siswi Southeast Missouri State College. Henderson terpana. "Dia sangat tulus," katanya. Henderson, yang akhirnya mengawini gadis pemalu Virginia Weisheyer itu, bukanlah mahasiswa. Namun, Virginia jatuh hati pada budi pekerti pria itu. Henderson selalu pergi ke gereja dan menjauhi minuman keras. Tanggal 3 Mei 1942, keduanya menikah. Setelah Henderson merampungkan tugas di angakatan udara, pasangan ini menetap di kota kecil Jennings, Missouri. Pernikahan mereka bahagia, walau dalam banyak hal keduanya berbeda. Nyonya Henderson seorang perfeksionis. "Saya lebih gampangan," kata Henderson mengenang. "Kalau tibatiba ban kempis, saya tak akan berteriak. Paling-paling kita sampai agak terlambat," katanya. Adapun Virginia mahir memainkan piano, bermain cinta, dan berminat pada buku, teater, serta musik klasik. Hal yang tak diminati Henderson. Tanggal 18 April 1947, putra pertama mereka lahir. Adik Virginia datang memberi tahu, saat Henderson sedang menggosok lantai, di toko serba ada tempat ia bekerja dengan gaji US$ 75 per minggu. Henderson melempar sikat dalam genggamannya dan sertamerta berlari, melompat ke bus, menuju rumah sakit. "Saya sangat bahagia mendapat seorang putra," katanya. Ia pun lantas beranganangan, suatu ketika Paul akan menjadi dokter. Proses kelahiran Paul yang sulit membuat keluarga Henderson menjadi "ngeri" pada kehamilan selanjutnya. Mereka lantas memutuskan untuk menjadikan Paul putra tunggal. Tambahan lagi, baik Henderson maupun Virginia beranjak besar pada masa depresi. "Kami pikir, lebih baik punya satu anak dan memenuhi semua kebutuhannya, daripada enam anak dan tak mampu menyekolahkan mereka sampai ke universitas," kata Pak Henderson. Nyonya Henderson mengajar di taman kanak-kanak, sedangkan Duncan Henderson meniti karier di perusahaan semen Missouri untuk menjadi trouble shooter. Dalam pergaulan, ia dituakan di Gereja Presbyterian setempat. Sementara itu, dalam keluarga Henderson, sang istri yang lebih berpendidikan itu lebih berperan, terutama soal membesarkan Paul. Sang suami setuju saja. "Saya kira titel sarjananya berguna untuk hal-hal seperti itu," katanya. Paul dan ayahnya sama-sama ikut kelompok pramuka. Sering pula pada akhir pekan keduanya duduk di tepi danau, memancing ikan. Tapi mereka tak banyak berbicara. "Saya hanya menikmati kebersamaan itu," cerita Henderson. Dengan ibunya, Paul lebih bisa berkomunikasi, karena Paul tumbuh di bawah sayap ibunya. Keduanya sering terlihat bernyanyi bersama di acara gereja pada hari Minggu. Mereka kerap menyaksikan konser berdua. Paul dan ibunya sering terbenam dalam diskusi soal musik klasik dan buku. Di antara keduanya ada lelucon yang tak bisa dinikmati Henderson. Lama-kelamaan, Paul tak lagi pergi memancing dengan ayahnya. Nyonya Henderson mengatakan ia hanya ingin yang terbaik bagi Paul. "Mungkin saya terlalu mengharapkan ia menjadi orang yang sempurna," katanya. "Ia anakku satu-satunya. Begitu banyak yang saya harapkan." Paul melihatnya dari sisi lain. "Pada usia dini saya sadar, saya adalah kesayangan ibu. Rasanya seperti sayalah pasangan ibu, dan ayah orang luar," katanya. "Saya tak pernah merasa sedih karenanya," kata Henderson. "Saya terima kenyataan bahwa saya memang tak punya cukup pengetahuan di bidang-bidang yang diminati Paul. Virginia yang mempunyainya," ujarnya lagi. Pernah Henderson melakukan sesuatu yang dikiranya bisa mendekatkan Paul padanya. Ia mendaftarkan diri di universitas. Saat itu, istrinya tengah meniti jenjang master, dan Paul hampir lulus SMA. Ikhtiar ini ternyata tak banyak gunanya. Perhatian Paul pada musik dan teater semakin besar. Sejak di SMA ia aktif di bidang ini. Namun, Henderson mencari pembenaran lain. "Tiap mengerjakan apa pun, Paul pasti habis-habisan," katanya. Ketika Paul menginjak usia 12. Henderson memberitahukan Paul bahwa ada sesuatu yang penting yang ingin dibicarakannya. Lantas keduanya masuk ke mobil di garasi. Di dalam mobil berhenti itu Henderson berbicara soal seks. "Pada dasarnya, belum tiba saatnya kau melakukannya," ujarnya pada Paul. "Paul tampak tertarik, namun tak banyak bertanya," cerita Henderson tentang pembicaraannya dengan Paul itu. Dan topik itu tak pernah muncul lagi dalam pembicaraan. Henderson juga mendorong Paul untuk mulai berkencan dengan gadis-gadis yang dikenalnya di gereja. Namun, begitu seorang gadis mengajak berhubungan tetap, "Paul segera memutuskan hubungan," cerita ayahnya. Terlintas di benak sang ayah, ada keganjilan, tapi ia tak pernah menyelidiki lebih jauh. Tahun 1965, Paul mendaftar di Westminster College di Fulton, Missouri. Ini gagasan ayahnya, karena sekolah yang mahasiswanya semua pria itu berafiliasi dengan Gereja Presbyterian. Babak baru kehidupan Paul mulai. Ia tinggal di asrama sekolah. Ternyata, tahun pertama terasa sangat berat. "Di akhir pekan Paul sering pulang, bahkan saat kita tak mengira ia akan pulang," cerita Henderson. Menurut ayahnya, Paul terlihat tertekan. "Saya kira ia kesepian. Memang, tak mudah meninggalkan rumah," katanya. Sebetulnya, Paul sedang bertarung dengan persoalan seksualnya. Pada tahun kedua dalam sebuah liburan Natal ia mengaku pada ibunya bahwa ia mencintai adik kelasnya, seorang pria yang diajarinya bahasa Prancis. "Sebagaimana Ibu mencintai Ayah," kata Paul. Virginia menawarkan Paul pergi ke seorang ahli. Namun, persoalan itu tak pernah benar-benar diselesaikan. Pembicaraan dengan Paul itu tak pernah diceritakan pada suaminya. Ia sembunyikan hal itu, dan belakangan dikatakannya, "Itu adalah tahap pendewasaan semata." Paul lulus dengan pujian tahun 1969. Ia menggaet gelar sarjana untuk bidang psikologi dan bahasa Prancis. Walau tak berhasil memenuhi harapan orangtuanya menjadi dokter, Paul bercita-cita meniti karier sebagai pendeta atau apa pun yang dapat membuat ayahnya bahagia. Tak lama setelah Paul lulus, Pak Henderson berhasil menjadi sarjana administrasi niaga. Ia gemar bercerita, "Anak saya dan saya menyelesaikan sekolah pada tahun yang sama." Henderson membutuhkan 10 tahun kuliah malam untuk menyelesaikan sekolah itu. Setelah itu, Paul mendapat pekerjaan mengajar bahasa Prancis di sekolah swasta Jennings. Namun, pada saat yang sama, tugas wajib militer memanggil. Paul dikirim ke Korea untuk bergabung dengan kelompok paduan suara tentara. Berpisah dengan Paul rupanya nyaris tak tertahankan bagi ibunya. "Saya antarkan Paul ke tempat pendaftaran pada hari Senin. Hari Selasa Virginia masuk rumah sakit," kata Henderson. Menurut dokter, Virginia diserang penyakit maag yang bermuara pada emosi yang tertekan. Henderson merawat istrinya hingga pulih. Ia bahkan memasak, sesuatu yang tak pernah disaksikan istrinya sebelumnya. Tahun 1972, Paul pulang, mengajar di sebuah college. Setahun kemudian, mereka berlibur bersama ke New Orleans. Usai liburan, Paul terserang hepatitis. Suatu malam, seraya menunggui Paul berbaring di ruang duduk, ayahnya bertanya. "Paul, bagaimana kamu terkena hepatitis, ibumu dan saya tak terkena. Saya heran." Ketika itulah Paul, yang mengira ia terjangkit hepatitis dari kekasihnya, membuka pengakuan bahwa ia gay. Pikiran Henderson serta-merta menjadi kosong. "Saya tak pernah berkenalan dengan pria homoseks," kisahnya tentang pikirannya yang berkecamuk saat itu. Kini, berhadap-hadapan dengan anaknya, ia berkata, "Saya merasa perut saya kosong." Rahasia selama 26 tahun pun terbuka. Bagaimana, misalnya, Paul selama ini merasa tertarik pada pria. Bagaimana, ketika masih kecil, ia senang mengumpulkan katalog toko serba ada, yang dibawa ibunya, untuk menikmati wajah modelmodel pria yang terpampang di sana. Bagaimana, di tahun kedua universitas, ia jatuh cintah pada adik kelasnya. Bagaimana, di tahun ketiga, dalam sebuah perjalanan bersama kelompok paduan suara sekolahnya, ia berhubungan seks dengan pria untuk pertama kalinya. Air mata bergulir di pipi ibunya. "Ibu tengah mengharapkan datangnya cucu," desah Virginia. Paul hanya mampu menatap lantai. Henderson memeluk putranya dan mengatakan betapa ia mencintainya. "Itulah hal terindah yang saya harapkan," kata Paul. "Bahwa orangtua tetap mencintai Anda, dan tak melihat Anda seperti monster yang sekonyong-konyong ada di muka mereka," katanya. Malam itu suami-istri Henderson tak tidur hingga larut. Mereka berusaha untuk saling menghibur. "Kami terus mengatakan betapa kami sangat memprihatinkan keadaan Paul. Kami tahu betul batu kerikil yang menanti di perjalanannya," cerita Henderson. "Di mana salahnya? Apa yang telah kita lakukan?" Virginia terus bertanya. Mereka tak tahu bagaimana caranya memberi tahu para kerabat, dan akhirnya sepakat untuk tak usah mengatakan apa-apa. Tak lama setelah itu Paul pindah ke Chicago, meneruskan sekolahnya di bidang Teologi dan Kerja Sosial di Seminari McCormick. Paul beranggapan kaum gay dapat hidup lebih bebas di Chicago. Pada hari Natal dan hari ulang tahunnya Paul selalu pulang. Kunjungan itu selalu menyenangkan dan mereka ramai bicara soal sekolah. Namun pembicaraan tentang kehidupan seksual Paul tak pernah dibicarakan. Suatu hari Paul membawa pria yang tengah dikencaninya. Walau teman Paul tidur di kamar tamu, "Saya merasa tak nyaman dalam situasi saat itu," kata Henderson. "Tapi sebisa mungkin kami perlakukan ia seperti tamutamu lainnya." Ketika teman kencan Paul itu berpamitan, pria muda itu mendaratkan bibirnya di bibir ayah Paul. Henderson tersengat dan sangat marah namun tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. "Saya tak ingin mempermalukan pria muda itu," katanya belakangan. Setelah itu, ketika mereka hanya berdua, Henderson berkata kepada Paul, "Saya benar-benar tak mengira akan terjadi hal seperti itu." Paul memohon maaf. Ia tak pernah mengajak teman kencannya lagi setelah itu. Di musim panas 1976, Paul mencari jalan menjadi pendeta. Saat itu perdebatan tengah menghangat di kalangan Gereja Prebyterian tentang haruskan homoseksualitas direstui atau tidak. Penyelia Gereja bertanya tentang pandangan Paul tentang persoalan ini, dan Paul mengatakan yang sejujurnya. Pandangannya membuat ia ditolak untuk menjadi pendeta. Paul mengarahkan mobilnya ke kuburan neneknya di St. Louis, menghabiskan harinya di sana, menangis. Perasaan Henderson remuk. Ia juga sangat marah. "Kita selalu ke gereja, selalu beramal dengan royal dan mereka kini berberat tangan," katanya. "Paul tak pernah menghadapi persoalan apa pun di sekolahnya, tak pernah minum. Tapi kini mereka tak ingin terlihat seperti mereka punya hubungan dengan Paul." Tapi Henderson tak bisa mengubah keputusan Gereja. Meninggalkan Gereja, pikirnya, juga tak menyelesaikan masalah. Maka ia mulai membaca buku dan majalah tentang homoseksual. Ia ingin tahu, apakah homoseksualitas dapat diubah atau orang memang terlahir demikian. Sementara itu, Paul memulai kariernya sebagai pekerja sosial. Ia menjalankan program mencarikan rumah untuk anak-anak telantar. US News & World Report bahkan pernah menulis tentang kiprahnya di bidang ini. Dalam wawancara dengan penerbitan itu Paul mengatakan, "Terkadang memang sulit untuk menerima kenyataan bahwa satusatunya hal yang dapat dilakukan untuk orang dalam kesulitan adalah menolong," katanya. Suatu pagi di tahun 1983, ketika berjalan menuju kantor pos, Henderson, yang saat itu sudah berusia 66 tahun, merasa ada gajah duduk di dadanya. Ketika sakit itu tak kunjung hilang, istrinya menelepon ambulans. Sambil menunggu ambulans datang, Henderson menghubungi Paul di Chicago. "Saya ingin ia tahu apa yang tengah terjadi kalau saya sampai mati kelak. Saya ingin ia tahu, sehingga ia tak terlalu terkejut nantinya," kisah Henderson. Paul pun langsung pulang. Henderson perlahan pulih, walau seumur hidupnya ia harus menelan obatobatan. Saat-saat itu ia dan Paul banyak menghabiskan waktu berdua, berbicara soal masa kanak-kanak Henderson. Ketika itulah Paul menyadari kebaikan ayahnya. "Ayah selalu punya waktu untukku. Sayalah yang selalu menutup pintu untuk hubungan yang lebih dekat di antara kami," katanya. Ketika tiba saatnya Paul kembali ke Chicago, keduanya berdiri berhadapan di ruang tamu. Untuk pertama kalinya, sepanjang ingatan Paul, ia memeluk ayahnya dan berkata, "Ayah, saya cinta padamu." Air mata membasahi mata Henderson. Berpegangan tangan, keduanya berjalan menuju mobil. "Saya perhatikan ia memundurkan mobilnya, lalu saya berdiri di jalan dan memperhatikannya menghilang di belokan," kata Henderson. "Saya berusaha melihatnya selama mungkin, saya tak ingin melihatnya pergi." Saat itu koran mulai menulis soal hilangnya imunitas, sebuah penyakit baru yang korban terbanyaknya adalah pria homoseks. Keluarga Henderson menanyakan hal ini kepada Paul ketika datang berlibur. Paul mengakui bahaya yang mungkin menimpanya. Ia mengakui kehidupan seksualnya cukup aktif sebelum AIDS terdeteksi. "Hati-hatilah Nak," desak Nyonya Henderson. Kembali ke Chicago, Paul bekerja seperti tak kenal lelah untuk pembukaan Chicago House, salah satu rumah sakit pertama untuk pasien AIDS. Namun, di Tahun Baru 1988, justru dialah yang tersungkur di Bagian Gawat Darurat rumah sakit itu. Ia dirawat karena mengindap pnemonia, namun tak pernah sembuh sepenuhnya. Konsentrasinya mudah buyar dan ia cepat sekali merasa lelah. Dokter mendiagnosa Paul mengindap Pneumocystis carinii, pembunuh utama pasien AIDS. Paul segera menelepon orangtuanya. Suami istri Henderson mendengar kalimat yang mengerikan itu, "Saya terkena AIDS." Henderson terbisu. "Kami sangat menyesal, Paul," itulah yang dapat dikatakannya. Kepalanya terombang-ambing. Ada suara di telinganya, "Kau telah tua. Kau pikir anakanakmu akan menjagamu tapi kaulah yang akan mengubur Paul." "Apa yang dapat kami lakukan untuk menolongmu," Henderson akhirnya mampu berkata, "apakah kau memerlukan kami?" Paul menjawab lemah, "Aku mohon, datanglah Ayah." Malam itu, sekali lagi, suami istri Henderson tak tidur hingga larut malam. "Adakah yang semestinya kita lakukan, tidak kita lakukan?" tanya Virginia berulangulang. "Kenyataannya, ia gay," ujar suaminya. Namun, malam itu, air mata Henderson jatuh membasahi piyamanya. Kedua orangtua itu menunaikan janji. Mereka bolak-balik Chicago St. Louis setiap kali Paul membutuhkan mereka. Namun, perjalanan enam jam itu tak mudah bagi keduanya. Henderson sudah berusia 74, dan istrinya 71. Bulan November 1990, Henderson tak mampu memanjat tangga untuk mencapai lantai dua rumahnya. Dalam sebuah perjalanan pulang dari Chicago, ia memutuskan untuk menjual rumah di Jennings dan tinggal bersama Paul. "Sebagai orangtua, itulah yang seharusnya kita lakukan," katanya. Istrinya setuju. Keluarga Henderson rela menjual warisan mereka, termasuk sebuah organ yang diwarisi Virginia dari neneknya. "Selama ini kita menyimpannya untuk Paul dan cucu-cucu kelak. Rasanya, tak ada gunanya lagi memelihara barang-barang itu kini," kata Henderson. Sebelum berangkat, mereka membayar uang muka rumah kaum jompo. Tempat tinggal mereka kelak bila mereka kembali tanpa Paul. Tiba di apartemen Paul, Henderson melihat banyak cabang tanaman yang tumbuh liar. "Ketika itu saya tahu bahwa Paul sudah idak dapat berbuat apa-apa," cerita Henderson. Paul menyambut orangtuanya dari undakan terakhir anak tangga. Wajahnya pucat dan lelah. Ia minta maaf karena tak mampu menolong orangtuanya mengangkat koper. Ketika mereka masuk, Virginia dan Henderson melihat usaha Paul menghias rumah dengan bunga-bunga segar untuk menyambut mereka. Mereka menempati kamar Paul dan memindahkan Paul ke kamar bawah sehingga ia tak harus naik turun tangga. Nyonya Henderson yang memasak, membersihkan rumah, dan menjalankan tugas rumah tangga lainnya agar Henderson dapat memusatkan pikirannya pada usaha menolong Paul. Walau Paul senantiasa menderita pusing dan diarea, ia tetap bekerja suka rela. Setiap malam ia mengambil pakaian kotor, mencuci dan mengeringkan, lantas melipatnya. Ayahnya sering membantu, padahal sebelumnya Paul tak pernah melihat ayahnya mencuci. Suatu malam, mereka menonton film televisi tentang Ryan White: bocah dari Indiana yang mendapat AIDS melalui transfusi darah. Paul bertanya mengapa kedua orangtuanya tak pernah bercerita tentang penyakitnya kepada kerabat mereka. "Apakah kau kira kami malu?" tanya Henderson. "Tidak," jawab Paul. "Tapi kalau ada yang bertanya tentang saya, tolong, jawablah sejujurnya." Esoknya Henderson menelepon rekan-rekannya di St. Louis. Setelah bicara tentang udara di Chicago, Henderson akhirnya berkata, "Ada kabar buruk yang ingin kusampaikan. Menurut diagnosa, Paul mengindap AIDS." Tak ada yang bertanya. Mereka semua mengatakan, "Kami prihatin." Di bulan Juli, Paul beserta kedua orangtuanya menghadiri sebuah pemakaman di Wisconsin. Dengan meninggalnya orang yang dimakamkan itu, Paul menjadi satusatunya orang yang masih bertahan hidup di antara delapan anggota Kelompok Pendukung AIDS. Dalam perjalan pulang, Paul diserang diare yang dahsyat. "Tak sulit melihat bahwa kondisi Paul menurun sangat cepat," kata Henderson. Sesampainya di rumah, suhu tubuh Paul meninggi, sampai 40 derajat Celsius. Henderson minta istrinya beristirahat sementara ia menjaga Paul semalaman, mengganti kompres di keningnya. Terkadang bola mata Paul seakan terbalik. "Beberapa kali ia saya kira telah pergi," kisahnya. Kamar tidur Paul hanya 3 X 2 m, namun Henderson menyelipkan sarung tidurnya agar ia bisa tidur di kamar putranya itu. Disiapkannya jam alarem agar berbunyi tiap dua jam, agar ia terbangun dan memberi obat serta air jeruk dan sesendok gula untuk Paul. "Berulang kali saya berkata sendiri, ini tak mungkin terjadi, ini tak sesungguhnya, ini mimpi buruk," katanya. Karena ayahnya, kekuatan Paul perlahan-lahan kembali. Kejadian juga menimbulkan pencerahan bagi Henderson. "Selama ini saya melihatnya sebagai orang yang serba salah. Saya menolak kenyataan bahwa ia tak selalu kuat. Namun, kesabaran dan kesetiaannya sungguh mengagumkan," kata Paul belakangan. Setiap hari beban Henderson menjaga Paul semakin berat. Dan setiap hari Paul melihat sisi baru tentang ayahnya. "Hal yang terpenting dalam hidupku selama ini adalah bagaimana menjadi sempurna," kata Paul. "Saya dapatkan itu dari Ibu. Kini saya berpikir betapa baiknya kalau saya juga belajar lebih banyak dari ayah bagaimana bersikap lebih santai," tuturnya. Sikap Henderson berubah jauh. Bila ia keluar rumah untuk membeli obat di belakang rumah, dikatakannya kepada pramuniaga di sana bahwa obat itu untuk anaknya yang menderita AIDS yang tak akan hidup lama. Istrinya bersikap sama. Ia menghadiri konser Natal yang diselenggarakan oleh Chicago Gay Men's Chorus khusus untuk anaknya. Ia pergi bersama Paul dan katanya, "Saya sangat menikmatinya." Pada suatu perjalanan pulang dari gereja, ia berjumpa dengan seorang pria yang telah kehilangan temannya karena AIDS. "Saya sangat mengerti perasaan Anda," katanya kepada orang yang tak dikenalnya itu. Serangan pneumonia untuk kedua kalinya menyebabkan Paul makin lemah. Tinggi badannya 1,75 meter tapi beratnya tak pernah lebih dari 63 kg. Sekarang ia kehilangan sembilan kilo hanya dalam beberapa pekan. Ia merasa lelah dan selalu bicara tentang kematian. Pada pertengahan Juli ia menyerahkan segala masalah hukum dan keuangan kepada ayahnya dengan dikuatkan oleh tanda tangan seorang pengacara. Ditulisnya sebuah surat wasiat yang mengatakan bahwa ia tak ingin hidupnya dipertahankan dengan menggunakan mesin penyambung hidup. Pada suatu pagi ia menyerahkan surat satu halaman terketik berjudul "Catatan tentang Upacara Penguburan untuk Paul Henderson" kepada ayahnya. Keesokan harinya ia minta ayahnya membawanya ke Lembaga Kremasi Illinois. Dalam sebuah ruangan, yang tak banyak perabotannya, Henderson duduk di sebuah kursi kayu ketika anaknya menyerahkan uang US$ 525 sebagai pembayar biaya pembakaran jenazah. Mereka berdua meninggalkan kantor itu dengan sakit kepala yang sangat mengganggu. Pada hari ulang tahunnya yang ke-75, Henderson bangun sekitar pukul 6 pagi dan langsung mengambil Injil dan membacanya. Alinea yang terpampang di depan matanya kebetulan berbunyi, "Kita memberikan penyembuhan apabila kita khusyuk dengan doa." Bacaan itu membuatnya tenang. Ia berpikir untuk turun ke kamar Paul. Kalau Paul merasa sehat dan sudi pergi, pada pikirnya, mereka boleh saja keluar dan merayakan hari lahirnya dengan makan iga bakar. Namun, begitu dilihatnya keadaan anaknya, ia keget karena perubahan besar yang terjadi. Paul yang hanya mengenakan celana dalam terbaring di tempat tidur dalam posisi membungkuk. "Jangan membiarkan mereka membawaku pergi," katanya merintih. Ia memegang tangan ayahnya dengan keras dan tak mau melepaskannya. Ketika Nyonya Henderson masuk, Paul kembali menjawil tangan ibunya dan dipegangnya erat. Ketika Ny. Henderson akan beranjak pergi tangan itu tak dilepaskan Paul. Selama 10 jam berikutnya, pasangan suami istri itu duduk di tepi ranjang anak mereka sambil terus memegangi tangannya. Sore harinya Henderson baru bisa meninggalkan kamar sebentar dan mengambil enam potong kue kering. Hanya itu yang disantap kedua suami istri itu selama sehari itu. Henderson akhirnya merasa ia harus berbuat sesuatu. "Saya menyayangi anakku dan ingin berbuat sesuatu yang diinginkannya," katanya. "Tapi saya tak bisa terus duduk di sini sambil menyaksikannya bunuh diri." Henderson menelepon Daniel Derman, internis yang selama ini merawat Paul. Dokter itu datang esoknya. Ia menganjurkan agar Paul dirawat di rumah sakit karena, menurut dugaannya, infeksi AIDS sudah menanjak ke otak. Malam itu Paul terbaring dengan satu tangan diikat ke bawah di North Western Memorial Hospital, Chicago. Rambutnya seperti telah berubah menjadi kelabu hanya dalam satu malam. Benjolanbenjolan berwarna merah jingga dan putih tumbuh di keningnya. Ia bertindak seperti orang tak waras. Tertawatawa, menyenandungkan lagu, mengoceh berulang-ulang. Pada saat lain tercermin ketakutan pada roman mukanya. Kadang-kadang ia membuka mulut seolah ingin berteriak tapi tak ada suara keluar. Tanpa bicara, ia menggerak-gerakkan tangannya seperti mengobrol dengan seseorang. "Ini ayahmu. Kau mengenalku?" tanya Henderson tua. Ia membungkuk dan mencium kening Paul. Anaknya hanya memandangnya. Titik krisis telah sampai, tapi siapakah yang tahu kapan kematian datang. Dokter mengatakan kepada suami istri Henderson barangkali anak mereka hanya akan bertahan beberapa hari lagi. Henderson marah. "Kelihatannya mereka seperti bingung, apa yang harus dilakukan pada anak kita," katanya kepada istrinya. Ia sangat geram terutama karena mereka terus saja mengambil sampel darah anaknya. Sekali waktu diperlukan 45 menit untuk menyadap darah yang diisikan ke kantong plastik berbentuk roti. Setiap kali pengambilan darah, Paul meratap kesakitan. Hari berikutnya seorang dokter datang membawa kantong plastik tempat darah dan memegang jarum suntik. Kali ini Henderson melipat kedua tangannya di dadanya dan menghalangi pintu masuk. Ia tak mengizinkan dokter itu lewat. Dipandangnya dokter wanita itu dengan mata tajam dan menuntut agar ia diberi tahu. "Apakah ini akan makan waktu 45 menit lagi?" tanyanya. Tapi, sebelum dokter itu sempat menjawab, ia berkata lagi, "Saya tidak yakin itu berguna untuk Paul." Dokter yang bernama Santra Swantek itu menerangkan bahwa pengambilan darah itu penting untuk memantau kandungan antibiotik dalam darahnya. Kalau pengambilan darah dihentikan, mereka harus menyetop pemberian obat. "Anda harus maklum, Paul menderita demam hebat. Ia berhalusinasi dan itu merupakan kematian yang menyakitkan. Apa yang akan Anda perbuat misalnya Anda orangtuanya?" Henderson bertanya. "Saya akan membuatnya senyaman mungkin," itulah jawaban yang didapat Henderson. "Kalau begitu," kata Henderson, "saya ingin tahu kalau ia bisa ditempatkan dalam program hospice." Inilah terminal pengobatan untuk menghilangkan penderitaan sakit pasien tanpa pengobatan esensial. Henderson bersikeras agar anaknya menerima perawatan itu. Para dokter setuju. Hospice menyediakan atmosfer lain. Kecuali tempat tidur khusus, ruangan ini bagaikan sebuah salon kecantikan. Para pasien AIDS di sini sebenarnya jarang dikunjungi teman atau sanak saudara, tapi kamar Paul selalu penuh pengunjung. Dari hari ke hari, temantemannya duduk di luar mengenang orang macam apa dia. Bekas bosnya menguraikan, ketika program mereka hampir bangkrut karena tak tersedia uang untuk menggaji para petugas sosial, Paul bersikeras agar para petugas harus dibayar. Untuk menunjukkan pendiriannya itu, ia mengeluarkan buku ceknya dan memberi sumbangan. Rekanrekan sekerjanya mengatakan bahwa Paul sering tidur di kantor. Ia sering membawa anak-anak, mencukur rambut mereka dan membelikan mereka sepatu baru. Semua itu dibayarnya dari kantongnya sendiri. Paul pernah menyediakan waktu selama berjam-jam untuk menenangkan seorang wanita korban perkosaan. Henderson tua mendengar bagaimana anaknya menyelamatkan seorang anak lakilaki yang dipukuli sampai tuli oleh ayahnya yang seorang dokter. Anak itu kemudian mati karena perdarahan otak di lapangan basket, dan Paul menyumbang 5.000 dolar untuk beasiswa mengenang anak itu. Untuk Henderson, cerita-cerita itu mencengangkan. "Kami tahu secara umum tentang apaapa saja yang dilakukan Paul. Ia selalu menulis surat kepada kami tapi tanpa banyak rincian tentang halhal yang dilakukannya." Hari-hari berlalu dan Ny. Henderson lebih banyak menyandarkan diri pada suaminya. Ia membiarkan suaminya menanyakan kepada para dokter tentang keadaan anaknya. Keadaan Paul memang sangat buruk. Ia tidur dengan kedua matanya terbuka. Paul mengatakan, "Saya sudah siap untuk pergi." Henderson berdoa kepada Tuhan agar segera menjemput anaknya agar tak perlu menderita lebih lama. Pada 10 Oktober, mereka memegang tangan anaknya selama lima setengah jam. Paul menggelepar bagaikan kekurangan udara untuk bernapas. Menjelang tengah hari Henderson mengatakan bahwa ia tak kuat menyaksikan keadaan itu. "Aku harus keluar dari sini," katanya. Dirabanya sendi-sendi jari anaknya. Warnanya biru. Sambil menangis ia mencium pipi anaknya, lalu mengajak istrinya pergi. Paul mengembuskan napas terakhir 15 menit kemudian. Usianya 44 tahun. Henderson menerima kabar itu lewat telepon. "Terima kasih untuk pemberitahuannya. Saya senang ia telah terlepas dari siksaan kesakitan," jawabnya. Lalu dikatakannya kepada istrinya, "Paul telah pergi." Keduanya berdiri dengan tenang selama satu menit. Henderson tua melingkarkan tangannya di badan istrinya. Dan untuk pertama kali, sejak mereka mendengar perihal penyakit anaknya, keduanya menangis. (SHA, ADN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini