Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Benteng

Taman nasional tanjung puting, rumah tiga ribu orang utan kalimantan terancam. perusahaan hph menggeser tempat tsb sedikit demi sedikit. prof. galdikas yang tinggal di sana terancam terusir.

4 April 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya mencintai orang utan. Saya mencintai keagungan mereka.... Banyak di dunia ini yang bukan masalah jual beli. Tapi ada yang menganggap proyek penelitian orang utan ini sebuah perusahaan: mereka datang ke Camp Leakey dan bertanya-tanya bagaimana mencari untung disini. Mereka yang berbicara seperti itu tidak mengerti arti penelitian. Mereka menganggap bekerja di hutan tidak artinya, sepele...." BAGONG bertandang ke Camp Leakey, setelah tiga tahun menghilang, tanpa menyapa. Esoknya ia pergi tanpa satu patah kata pun. "Dalam dunia mereka, itu pertanda toleransi dan hormat," ujar Profesor Galdikas. Dua dasawarsa bersama orang utan di rimba Kalimantan Tengah mengajari wanita asal Kanada ini apa yang sering dilupakan manusia dalam sejuta tahun: cinta adalah sebuah benteng. Dan dalam benteng itu lebih dari 60 ekor orang utan dilahirkan kembali sejak 1971, jumlah yang kecil dibandingkan dengan populasi mereka (kini sekitar 30 ribu ekor) yang berkurang setengah dalam tempo sama. Sebab, dalam kebisuan mereka, orang utan yang hidup menyendiri mengundang raungan gergaji. Dalam kebisuan mereka, banyak suara lain yang berteriak: tentang pembangunan, tentang ekspor nonmigas, dan devisa. Dan dalam kebisuan mereka, patokpatok perusahaan HPH diamdiam bisa bergeser satu kilometer ke dalam Taman Nasional Tanjung Puting -- rumah tiga ribu orang utan Kalimantan. Dalam kebisuan kita, Camp Leakey menjadi benteng hari esok. Sayangnya, benteng adalah kekuatan yang malah mengundang musuh. Mau tak mau setiap meriam mengarah padanya, dan setiap tahun Galdikas terancam terusir akibat berbagai tuduhan -- mulai dari menjual darah orang utan sampai menjadi agen turis. Ia pun dituding gila karena berani bercerai demi orang utan. Ia membuat bingung manusia karena menolak melihat orang utan atau pohon tempat mereka hidup sebagai uang. Mungkin Bagong lebih paham. Ia, yang nenek moyangnya lebih tua dari kita, lebih panjang ingatannya: benteng itu milik kita semua. Foto Esai: Donny Metri Teks: Yudhi Soerjoatmodjo dan Donny Metri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus