Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ada yang pergi ada yang datang tapi...

Amir Daud menjalani pensiun dan beralih menjadi salah satu pengelola harian The Jakarta Post. Dahlan Iskan dipindahkan ke Jawa Post, dan beberapa wartawan lain lagi yang dimutasikan. (kecap dapur)

12 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI bulan Maret ini ada peristiwa penting dan tidak penting. Yang penting ialah Sidang Umum MPR. Yang tidak penting: ulang tahun majalah TEMPO. Namun rupanya sudah jadi adat. Biarpun peristiwa ulang tahun tidak penting secara nasional, kami di saat seperti ini harus "memperlihatkan muka". Apalagi, memasuki tahun TEMPO ke-13 ini, muka-muka di TEMPO berubah banyak. Silakan saja baca daftar nama pengasuh. Di situ akan nampak beberapa nama yang tak disebut lagi, ada juga yang berubah letak, dan ada pula nama-nama baru. Yang tak disebut lagi pertama-tama adalah nama Saudara Amir Daud. Satu dari empat redaktur pelaksana ini secara resmi pensiun Maret 193. Memang, mengagetkan - terutama bagi yang pernah melihat sosok Bung Amir. Sebab dalam usia 55, ia tak nampak sama sekali sebagai orang pensiunan. Bersama rekan-rekan lain di TEMPO ia masih aktif berlatih kung fu di satu lantai di sisi kantor, dan juga bermain tenis dua kali seminggu. Dalam tenis ia seperti dalam kerja: tekun, telaten, tahan. Amir bisa ulet dalam debat sengit rapat perencanaan isi tiap pekan. Tapi dia tak pernah menolak atau ngambek bila pemimpin rapat memilih usul yang tak didukungnya. Ia bisa tahan mengoreksi berhalaman-halaman naskah (Ilmu, Teknologi, Lingkungan, Pendidikan, Media, Luar Negeri). Kalau perlu sampai dini hari, untuk kemudian tidur sebentar, lalu ikut rapat lagi. Amir juga pendidik. Memang tugas tambahan seorang redaktur pelaksana untuk mengamati kualitas penulisan dan reportase para wartawan, dan mendiskusikannya dalam sidang bagian pendidikan. Namun kelebihan Amir dari yang lain ialah pengalamannya sebagai pelatih pengetahuan dan keterampilan jurnalistik, sebelum ia dalam kancah kami. Karena itulah tugas awalnya di TEMPO ialah sebagai konsultan. Ketika akhirnya ia jadi wartawan TEMPO Februari 1977, ia mula-mula menduga (seperti dikatakannya sendiri dalam pidato perpisahan pekan lalu di depan rekan-rekan sekerja), bahwa ia hanya "akan bertahan setahun saja". Maklumlah: ia bekerja dalam satu tim yang baru, dan dengan orang-orang yang lebih muda. Tapi ternyata ia merasa betah untuk terus, hingga saat pensiun sekarang. Namun sebenarnya tak ada ucapan selamat berpisah buat Bung Amir. Ia akan masih aktif sebagai wartawan, jadi salah satu pengelola harian berbahasa Inggris yang akan terbit, The Jakarta Post. Koran ini dalam beberapa hal masih punya hubungan dengan TEMPO. Direktur utama perusahaan yang menerbitkannya kebetulan juga Eric Samola SH. Dan orang TEMPO lain yang ke sana adalah Abdullah Alamudy, bekas koresponden kita di London yang memakai nama samaran Gabriel Gay. Amir sendiri, tentu saja, masih akan terus latihan kung fu bersama kami. Dan setidaknya pekan ini ia akan masih tampil dalam pertandingan tenis, dalam suasana ulang tahun, meskipun lawannya bukan Yustedjo Tarik . . . Nama lain yang "hilang" ialah Dahlan Iskan. Bulan ini secara resmi ia tak lagi kepala biro TEMPO untuk Jawa Timur. Ia telah bekerja dalam jabatan ini sejak Juni 1978. Kini ia dipindahkan untuk membantu pengelolaan harian Jawa Pos di Surabaya, sebuah koran lama yang sedang memperbarui diri dengan gairah. Dahlan, 33 tahun, dengan tubuh kurus yang tak juga berubah, dikenal sebagai "pembanting tulang". Mereka yang pernah bekerja sama dengan dia pasti terkesan akan cara kerianya: keras, cepat. Dalam soal ini ia memang bisa nampak seperti orang tak sabar. Tapi jurnalisme kan memang tak sama dengan siput? Dalam laporan utama tentang tenggelamnya kapal Tampomas, misalnya, setelah beberapa hari di lapangan (dan berhasil memperoleh satu foto yang bagus untuk kulit muka TEMPO), ia terbang langsung ke Jakarta untuk menuhskan sendlri ceritanya sampai siap cetak. Hampir tanpa tidur. Di samping itu semua, pengalamannya mengelola biro TEMPO di Jawa Timur-lah yang menyebabkan ia orang yang kami pilih untuk "disumbangkan" keJaa Pos sebagai redaktur pelaksana. Dan alhamdulillah, sejak manajemen baru, koran pagi Jawa Timur itu menunjukkan kemajuan pesat, baik dalam isi maupun dalam oplah. Karena itulah kami tak merasa Dahlan "hilang" dengan percuma. Kepergian seorang kepala biro dengan segera membutuhkan pengganti Untuk itu dari pusat kami mengirim Widi Yarmanto. Widi, 33 tahun, yang belum lama ini mendapatkan seorang anak dalam statusnya sebagai pengantin agak-baru, menerima tugas ini dengan tanpa banyak upacara. Tiba-tiba saja ia sudah di Surabaya, meninggalkan rumahnya di Jakarta. Tapi wartawan yang memulai karirnya dengan bekerja dalam tim tatamuka ini sebelum berangkat sempat juga memperoleh latihan manajemen di Jakarta, dan "magang" di kantor biro di Bandung. Di Surabaya, jabatannya sementara ini adalah koordinator kebiroan. Perubahan juga terjadi di Yogya. Putu Setia, 32 tahun, yng sejak Agustus 1975 masuk di kalangan TEMPO, dan jadi kepala biro di Yogya sejak 1978, "ditarik" ke pusat. TEMPO memang merencanakan perluasan liputan dan peningkatan terus mutu penulisan. Putu, orang Bali yang juga menulis novel dan cerpen, kami anggap cocok untuk itu. Ini adalah kepinda lan Putu kedua kalinya. Yang pertama kali waktu ia berangkat dari Denpasar untuk ditugaskan di Yogya. Hanya perlu dicatat: jangan dikacaukan Putu yang satu ini dengan Putu Wijaya. Putu yang Wijaya kini mengelola majalah Zaman yang kita kenal itu . . . Untuk mengganti Putu yang Setia, kami mengembalikan seorang yang dulu pernah berada di Yogya - ketika masih kuliah di Universitas Gajah Mada. Dia adalah Saur Hutabarat, yang lulus dari universitas itu dalam ilmu publisistik. Saur, 30 tahun, adalah yang termuda dari tenaga yang dimutasikan ke daerah sebagai koordinator kebiroan. Selama di Jakarta, di samping bertugas sebagai reporter, Saur juga menjabat sekretaris sebuah tim khusus. Ini bukan tim rahasia. Tugasnya ialah memonitor penerbitan buku dan mendiskusikannya, sebelum buku itu dikirim kepada para ahli yang diminta menulis resensi. Sering Saur menulis sendlrl resensi pendek di bawah rubrik Rehal. Dengan sendirinya, nama Widi, Putu dan Saur berubah tempat. Tapi tak cuma mereka. Dalam daftar anda akan lihat, bahwa di Jakarta kini dibentuk pula sebuah biro, seperti di daerah. Ini adalah untuk meningkatkan efisiensi, dan meluangkan kesempatan bagi pembinaan kader. Koordinator di Jakarta sementara ini dijabat oleh A. Margana. Wartawan bekas guru ini, 34 tahun, harus ikut mengerahkan dan mengarahkan semua tenaga di Jakarta - dan membangun semangat reporter muda. Sebelum bekerja di TEMPO sejak 1978, Margana bekerja di Suara Karya. Dalam urutan generasi TEMPO, Margana adalah seangkatan dengan Karni Ilyas, 31 tahun, yang juga dari Suara Karya. Calon sarjana hukum dari Universitas Indonesia ini mulai tahun ini dipromosikan jadi penjabat penanggung jawab rubrik Hukum yang banyak digemari itu. Mendampingi Karni, dalam rubrik Kriminalitas, kini. adalah Surasono, 32 tahun, penulis cerita kanak-kanak yang telah menghasilkan 12 buku. Memang agak aneh, hubungan rubrik Kriminalitas dengan cerita kanak-kanak - tapi mudah-mudahan Surasono tetap bisa bikin cerita nyata yang serem dan cerita tidak nyata yang tidak serem . . . Ia dahulu di Pelita. Pendeknya ada yang pergi, ada yang datang. Sebuah penerbitan juga memerlukan kaderisasi terus-menerus. Kayak negara saja. Dalam hubungan itulah anda akan dapat melihat, dalam daftar redaktur pelaksana, tampil dua nama baru yang tidak terlalu asing. Mereka tenaga muda, di bawah 40 tahun. Tapi mereka termasuk pendiri majalah ini. Yang pertama adalah Harun Musawa. Harun, yang latar belakang pendidikannya adalah publisistik, tak cuma aktif dalam bidang tulis-menulis selama bekerja 12 tahun dalam majalah ini. Selain punya pengalaman sebagai reporter dan penanggung jawab rubrik, ia giat dalam tim-tim perbaikan manajemen di TEMPO. Karena itulah ia diserahi memegang suatu divisi, yakni divisi penerbitan, yang antara lain - dengan mengerahkan sejumlah besar tenaga - menerbitkan Apa Siapa, buku referens tentang tokoh-tokoh Indoneia yang terkenal itu. Namun dalam rencana pengembangan TEMPO lima tahun mendatang, mulai 1983 Harun "dipanggil" kembali masuk ke dalam keredaksian majalah. Cukup bolak-balik baginya, tapi apa boleh buat: kalau ditanya pasti dia akan memberikan jawab seperti yang banyak dihafal hari-hari ini di lapangan politik: "Sebagai peluang, saya. Bersama Harun, ada "pejuang" lain: Herry Komar, yang selama 11 tahun berada di dalam rubrik Olah Raga, dan kemudian Luar Negeri. Ia ditarik ke dalam deretan redaktur pelaksana. Komar, lulusan Universitas Indonesia jurusan komunikasi massa, sejak tahun yang lalu dipersiapkan untuk jabatan ini. Dia tidak angker tapi juga tidak pintar ngomong, bagaikan Umar Wirahadikusumah. Tapi untung dia tak perlu seperti seorang wapres. Komar di kantor dikenal getol di bidang pengawasan prosa yang baik, hingga nampak tegang kalau sedang menghadapi mesin tulis. Demikianlah, para pembaca, berita "reshuffle" dalam TEMPO. Terpaksa mendahului reshuffle Kabinet Pembangunan - tapi mudah-mudahan tidak kuwalat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus