DI bulan Maret ini ada peristiwa penting dan tidak penting. Yang
penting ialah Sidang Umum MPR. Yang tidak penting: ulang tahun
majalah TEMPO.
Namun rupanya sudah jadi adat. Biarpun peristiwa ulang tahun
tidak penting secara nasional, kami di saat seperti ini harus
"memperlihatkan muka". Apalagi, memasuki tahun TEMPO ke-13 ini,
muka-muka di TEMPO berubah banyak.
Silakan saja baca daftar nama pengasuh. Di situ akan nampak
beberapa nama yang tak disebut lagi, ada juga yang berubah
letak, dan ada pula nama-nama baru.
Yang tak disebut lagi pertama-tama adalah nama Saudara Amir
Daud. Satu dari empat redaktur pelaksana ini secara resmi
pensiun Maret 193. Memang, mengagetkan - terutama bagi yang
pernah melihat sosok Bung Amir. Sebab dalam usia 55, ia tak
nampak sama sekali sebagai orang pensiunan. Bersama rekan-rekan
lain di TEMPO ia masih aktif berlatih kung fu di satu lantai di
sisi kantor, dan juga bermain tenis dua kali seminggu. Dalam
tenis ia seperti dalam kerja: tekun, telaten, tahan.
Amir bisa ulet dalam debat sengit rapat perencanaan isi tiap
pekan. Tapi dia tak pernah menolak atau ngambek bila pemimpin
rapat memilih usul yang tak didukungnya. Ia bisa tahan
mengoreksi berhalaman-halaman naskah (Ilmu, Teknologi,
Lingkungan, Pendidikan, Media, Luar Negeri). Kalau perlu sampai
dini hari, untuk kemudian tidur sebentar, lalu ikut rapat lagi.
Amir juga pendidik. Memang tugas tambahan seorang redaktur
pelaksana untuk mengamati kualitas penulisan dan reportase para
wartawan, dan mendiskusikannya dalam sidang bagian pendidikan.
Namun kelebihan Amir dari yang lain ialah pengalamannya sebagai
pelatih pengetahuan dan keterampilan jurnalistik, sebelum ia
dalam kancah kami.
Karena itulah tugas awalnya di TEMPO ialah sebagai konsultan.
Ketika akhirnya ia jadi wartawan TEMPO Februari 1977, ia
mula-mula menduga (seperti dikatakannya sendiri dalam pidato
perpisahan pekan lalu di depan rekan-rekan sekerja), bahwa ia
hanya "akan bertahan setahun saja". Maklumlah: ia bekerja dalam
satu tim yang baru, dan dengan orang-orang yang lebih muda. Tapi
ternyata ia merasa betah untuk terus, hingga saat pensiun
sekarang.
Namun sebenarnya tak ada ucapan selamat berpisah buat Bung Amir.
Ia akan masih aktif sebagai wartawan, jadi salah satu pengelola
harian berbahasa Inggris yang akan terbit, The Jakarta Post.
Koran ini dalam beberapa hal masih punya hubungan dengan TEMPO.
Direktur utama perusahaan yang menerbitkannya kebetulan juga
Eric Samola SH. Dan orang TEMPO lain yang ke sana adalah
Abdullah Alamudy, bekas koresponden kita di London yang memakai
nama samaran Gabriel Gay.
Amir sendiri, tentu saja, masih akan terus latihan kung fu
bersama kami. Dan setidaknya pekan ini ia akan masih tampil
dalam pertandingan tenis, dalam suasana ulang tahun, meskipun
lawannya bukan Yustedjo Tarik . . .
Nama lain yang "hilang" ialah Dahlan Iskan. Bulan ini secara
resmi ia tak lagi kepala biro TEMPO untuk Jawa Timur. Ia telah
bekerja dalam jabatan ini sejak Juni 1978. Kini ia dipindahkan
untuk membantu pengelolaan harian Jawa Pos di Surabaya, sebuah
koran lama yang sedang memperbarui diri dengan gairah. Dahlan,
33 tahun, dengan tubuh kurus yang tak juga berubah, dikenal
sebagai "pembanting tulang".
Mereka yang pernah bekerja sama dengan dia pasti terkesan akan
cara kerianya: keras, cepat. Dalam soal ini ia memang bisa
nampak seperti orang tak sabar. Tapi jurnalisme kan memang tak
sama dengan siput? Dalam laporan utama tentang tenggelamnya
kapal Tampomas, misalnya, setelah beberapa hari di lapangan (dan
berhasil memperoleh satu foto yang bagus untuk kulit muka
TEMPO), ia terbang langsung ke Jakarta untuk menuhskan sendlri
ceritanya sampai siap cetak. Hampir tanpa tidur.
Di samping itu semua, pengalamannya mengelola biro TEMPO di Jawa
Timur-lah yang menyebabkan ia orang yang kami pilih untuk
"disumbangkan" keJaa Pos sebagai redaktur pelaksana. Dan
alhamdulillah, sejak manajemen baru, koran pagi Jawa Timur itu
menunjukkan kemajuan pesat, baik dalam isi maupun dalam oplah.
Karena itulah kami tak merasa Dahlan "hilang" dengan percuma.
Kepergian seorang kepala biro dengan segera membutuhkan
pengganti Untuk itu dari pusat kami mengirim Widi Yarmanto.
Widi, 33 tahun, yang belum lama ini mendapatkan seorang anak
dalam statusnya sebagai pengantin agak-baru, menerima tugas ini
dengan tanpa banyak upacara. Tiba-tiba saja ia sudah di
Surabaya, meninggalkan rumahnya di Jakarta.
Tapi wartawan yang memulai karirnya dengan bekerja dalam tim
tatamuka ini sebelum berangkat sempat juga memperoleh latihan
manajemen di Jakarta, dan "magang" di kantor biro di Bandung. Di
Surabaya, jabatannya sementara ini adalah koordinator kebiroan.
Perubahan juga terjadi di Yogya. Putu Setia, 32 tahun, yng
sejak Agustus 1975 masuk di kalangan TEMPO, dan jadi kepala biro
di Yogya sejak 1978, "ditarik" ke pusat. TEMPO memang
merencanakan perluasan liputan dan peningkatan terus mutu
penulisan. Putu, orang Bali yang juga menulis novel dan cerpen,
kami anggap cocok untuk itu. Ini adalah kepinda lan Putu kedua
kalinya. Yang pertama kali waktu ia berangkat dari Denpasar
untuk ditugaskan di Yogya.
Hanya perlu dicatat: jangan dikacaukan Putu yang satu ini dengan
Putu Wijaya. Putu yang Wijaya kini mengelola majalah Zaman yang
kita kenal itu . . .
Untuk mengganti Putu yang Setia, kami mengembalikan seorang yang
dulu pernah berada di Yogya - ketika masih kuliah di Universitas
Gajah Mada. Dia adalah Saur Hutabarat, yang lulus dari
universitas itu dalam ilmu publisistik.
Saur, 30 tahun, adalah yang termuda dari tenaga yang
dimutasikan ke daerah sebagai koordinator kebiroan. Selama di
Jakarta, di samping bertugas sebagai reporter, Saur juga
menjabat sekretaris sebuah tim khusus. Ini bukan tim rahasia.
Tugasnya ialah memonitor penerbitan buku dan mendiskusikannya,
sebelum buku itu dikirim kepada para ahli yang diminta menulis
resensi. Sering Saur menulis sendlrl resensi pendek di bawah
rubrik Rehal.
Dengan sendirinya, nama Widi, Putu dan Saur berubah tempat. Tapi
tak cuma mereka. Dalam daftar anda akan lihat, bahwa di Jakarta
kini dibentuk pula sebuah biro, seperti di daerah. Ini adalah
untuk meningkatkan efisiensi, dan meluangkan kesempatan bagi
pembinaan kader. Koordinator di Jakarta sementara ini dijabat
oleh A. Margana.
Wartawan bekas guru ini, 34 tahun, harus ikut mengerahkan dan
mengarahkan semua tenaga di Jakarta - dan membangun semangat
reporter muda. Sebelum bekerja di TEMPO sejak 1978, Margana
bekerja di Suara Karya.
Dalam urutan generasi TEMPO, Margana adalah seangkatan dengan
Karni Ilyas, 31 tahun, yang juga dari Suara Karya. Calon sarjana
hukum dari Universitas Indonesia ini mulai tahun ini
dipromosikan jadi penjabat penanggung jawab rubrik Hukum yang
banyak digemari itu.
Mendampingi Karni, dalam rubrik Kriminalitas, kini. adalah
Surasono, 32 tahun, penulis cerita kanak-kanak yang telah
menghasilkan 12 buku. Memang agak aneh, hubungan rubrik
Kriminalitas dengan cerita kanak-kanak - tapi mudah-mudahan
Surasono tetap bisa bikin cerita nyata yang serem dan cerita
tidak nyata yang tidak serem . . . Ia dahulu di Pelita.
Pendeknya ada yang pergi, ada yang datang. Sebuah penerbitan
juga memerlukan kaderisasi terus-menerus. Kayak negara saja.
Dalam hubungan itulah anda akan dapat melihat, dalam daftar
redaktur pelaksana, tampil dua nama baru yang tidak terlalu
asing. Mereka tenaga muda, di bawah 40 tahun. Tapi mereka
termasuk pendiri majalah ini. Yang pertama adalah Harun Musawa.
Harun, yang latar belakang pendidikannya adalah publisistik, tak
cuma aktif dalam bidang tulis-menulis selama bekerja 12 tahun
dalam majalah ini. Selain punya pengalaman sebagai reporter dan
penanggung jawab rubrik, ia giat dalam tim-tim perbaikan
manajemen di TEMPO. Karena itulah ia diserahi memegang suatu
divisi, yakni divisi penerbitan, yang antara lain - dengan
mengerahkan sejumlah besar tenaga - menerbitkan Apa Siapa,
buku referens tentang tokoh-tokoh Indoneia yang terkenal itu.
Namun dalam rencana pengembangan TEMPO lima tahun mendatang,
mulai 1983 Harun "dipanggil" kembali masuk ke dalam keredaksian
majalah. Cukup bolak-balik baginya, tapi apa boleh buat: kalau
ditanya pasti dia akan memberikan jawab seperti yang banyak
dihafal hari-hari ini di lapangan politik: "Sebagai peluang,
saya.
Bersama Harun, ada "pejuang" lain: Herry Komar, yang selama 11
tahun berada di dalam rubrik Olah Raga, dan kemudian Luar
Negeri. Ia ditarik ke dalam deretan redaktur pelaksana.
Komar, lulusan Universitas Indonesia jurusan komunikasi massa,
sejak tahun yang lalu dipersiapkan untuk jabatan ini. Dia tidak
angker tapi juga tidak pintar ngomong, bagaikan Umar
Wirahadikusumah.
Tapi untung dia tak perlu seperti seorang wapres. Komar di
kantor dikenal getol di bidang pengawasan prosa yang baik,
hingga nampak tegang kalau sedang menghadapi mesin tulis.
Demikianlah, para pembaca, berita "reshuffle" dalam TEMPO.
Terpaksa mendahului reshuffle Kabinet Pembangunan - tapi
mudah-mudahan tidak kuwalat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini