TIAP tahun majalah ini menerima tenaga-tenaga baru. Jumlahnya
tentu tergantung pada perencanaan ke masa depan. Tahun ini,
misalnya, kami menanti 10 tenaga buat jabatan calon reporter di
antara tenaga untuk bidang lain. Dan jika anda perhatikan, dalam
daftar nama kami sejak pekan ini telah bertambah pula empat nama
baru.
Yang menarik, latar belakang mereka bisa sangat beragam. Lihat
saja empat nama ini. Agus Basri, 27 tahun, adalah sarjana
Tarbiah IAIN Yogyakarta. Minuk Rukmiati Sastrovardojo, 26
tahun, adalah lulusan jurusan musikologi Universitas Adelaide,
Australia. Yulizar Kasiri, 31 tahun, adalah sarjana teknik
geodesi dari ITB. Rudy Novrianto, 25 tahun, adalah sarjana
peternakan IPB.
Keragaman ini nampaknya merupakan kecenderungan yang cukup
meluas. Di sebuah harian besar di Jakarta ada sarjana astronomi
jadi "kuli tinta". Di sebuah majalah wanita terkemuka ada pula
sarjana fisika jadi redaktur. Perguruan tinggi memang bukan
tempat menyediakan tenaga "siap pakai", dan ternyata juga bukan
tempat mencetak cita-cita. Ada saa cita-cita terpendam yang
rupanya tak diketahui guru besar, bahkan kadang tak diiketahui
orangtua ....
Mengamati hal itulah kami tahun ini mengadakan angket. Kepada
hampir 400 orang sekarang ini yang melamar pekerjaan sebagai
calon reporter TEMPO, kami kirimkan satu daftar pertanyaan yang
diminta dijawab. Jawaban dikirimkan kembali tanpa menyebut nama,
dengan harapan agar si penjawab jujur.
Dari para pelamar telah kembali 296 buah jawaban angket, atau
sekitar 75% dari jumlah yang diharap. Semua kemudian
ditabulasikan oleh Nadjib Salim dari Pusat Pengembangan
Manajemen TEMPO. Hasilnya barangkali bisa menjawab beberapa rasa
ingin tahu kita. Di samping hal-hal yang kami simpan untuk
bagian data, ada yang memang dikuti.
Misalnya, umur sebagian besar pelamar antara 26-2 tahun.
Kelompok kedua terbesar berumur 23-25 tahun. Ini tak
mengherankan: ada batas usia yang kami kenakan pada calon
reporter, dan lagi pula penduduk Indonesia penduduk yang muda.
Sebanyak 52% lebih datang dari kelompok disiplin ilmu
"noneksakta". Hampir 28% berlatar belakang pendidikan ekonomi.
Sisanya, hampir 19%, berlatar belakang pendidikan "eksakta".
Kepada pelamar juga ditanyakan pekerjaan terakhir mereka sebelum
mengirim lamaran ke majalah TEMPO. Hasilnya, 28% lebih bekerja
sebagai pegawai swasta. Ada hampir 11% pegawai negeri. Yang
sedang bekerja sebagai wartawan 12% lebih, tapi hampir 23% tak
menjawab.
Tentu perlu dicatat, hampir 51% pelamar sudah tidak bekerja lagi
ketika mengirim lamaran ke TEMPO. Toh jumlah yang masih bekerja
cukup besar: hampir 41%.
Lalu apa sebenarnya motivasi mengajukan lamaran ke TEMPO? Dengan
harapan bahwa jawaban tak dibuat-buat, hasilnya cukup menarik:
ternyata hanya 10% yang melamar untuk mendapat penghasilan yang
lebih baik. Sebagian besar, hampir 37%, menyatakan motivasi yang
memang biasanya mendorong orang memasuki bidang profesi yang
penuh resiko ini: mereka merasa "mempunyai bakat tulis-menulis".
Dari catatan Nadjib Salim, disimpulkan bahwa para pelamar untuk
jadi calon reporter TEMPO ini ternyata datang dari sekitar 44
bidang pekerjaan. Tapi sebagian besar dari bidang yang ada
hubungannya dengan jurnalisme. Dan semangat mereka nampak
tinggi: sebagian besar mengikuti pelbagai tes yang dilakukan
TEMPO selama beberapa pekan yang lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini