Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ahmadiyah, Bukan Akidah tapi Tasawuf

5 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Iskandar Zulkarnain

  • Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta

    Isu seputar Ahmadiyah mengemuka sejak 2005 hingga April 2008. Hampir semua buku tentang ajaran itu yang beredar di Indonesia lebih berfokus pada telaah teologis. Begitu pula respons yang dilakukan pembela ajaran yang lahir di India itu.

    Secara umum, buku-buku tersebut membahas tafsir kenabian (nabuwah). Kitab tazkirah—yang seakan merupakan inti seluruh persoalan Ahmadiyah—menjadi polemik pemahaman antara penganut dan penolaknya. Sayangnya, menjamurnya buku-buku tersebut tidak diimbangi dengan terbitnya buku atau tulisan lain yang berusaha mengungkap sisi sosial kemanusiaan pengikut Jemaat Ahmadiyah di Indonesia.

    Ahmadiyah pertama kali masuk Indonesia pada 1924 dengan pengikut yang sangat sedikit. Kini pengikut ajaran yang dibawa Mirza Ghulam Ahmad itu ratusan ribu jiwa. Di bumi Nusantara ini, tidak seperti organisasi sosial keagamaan lainnya, keberadaan Ahmadiyah mendapat respons yang cukup beragam. Meskipun dukungan terus muncul, penolakan masyarakat, terutama dari kalangan ulama, tak pernah berhenti. Penolakan ulama disambut secara emosional oleh sebagian kalangan masyarakat Islam. Mereka bertindak anarkistis dan destruktif kepada sejumlah warga Ahmadiyah dan aset mereka.

    Rapat Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat—badan bentukan pemerintah—pada 16 April 2008 memperkuat fatwa Majelis Ulama Indonesia bahwa Ahmadiyah menyimpang dari ajaran pokok Islam. Penilaian ini mengarah pada permintaan kepada pemerintah agar memberi peringatan keras dan menghentikan semua kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Jika peringatan tidak diindahkan, pemerintah diminta membubarkannya. Tak lama setelah fatwa dikeluarkan, lagi-lagi terjadi tindakan anarkistis dan destruktif, berupa pembakaran sebuah masjid Ahmadiyah di Sukabumi, Jawa Barat.

    Bagaimanapun, dampak dari keputusan Badan Koordinasi secara personal menimbulkan kecemasan, ketakutan, dan kekhawatiran bagi warga Ahmadiyah. Dikhawatirkan timbulnya kembali tindakan anarkistis melahirkan trauma, meski pemerintah telah memberi jaminan keamanan. Pemerintah harus lebih nyata memberi jaminan perlindungan, khususnya yang terkait dengan hak-hak pengikut Ahmadiyah sebagai warga negara. Ini untuk memenuhi Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menjamin hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, serta hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

    Perlu diingat bahwa sejak Majelis Ulama Indonesia memberi fatwa sesat kepada Ahmadiyah, telah terjadi penyegelan masjid serta perusakan tempat tinggal dan sekolah yang menjadi aset warga ajaran itu. Sampai saat ini, belum ada pihak yang menyatakan bertanggung jawab atas pemulihan materi yang mereka miliki. Karena itu, pemerintah ataupun umat Islam perlu memikirkan jalan keluar semacam spiritual recovery atas trauma yang dialami pengikut Ahmadiyah melalui berbagai pendekatan.

    Diduga kuat pengikut Ahmadiyah sulit meninggalkan ajaran yang mereka yakini. Sangat mungkin, demi keyakinan, mereka akan mencari perlindungan ke negara lain karena bumi Nusantara dianggap tak nyaman. Bila hal itu terjadi, persoalan Ahmadiyah di Indonesia tak lagi menjadi persoalan nasional. Masalah akan menjadi persoalan internasional. Karena itu, pemerintah harus bijak dalam menindaklanjuti keputusan Badan Koordinasi. Jaminan tegas harus diberikan atas keselamatan dan keamanan pengikut Ahmadiyah yang saat ini sekitar 700 ribu jiwa.

    Secara akademis Ahmadiyah sebagai organisasi dan gerakan keagamaan yang eksis di Indonesia tak harus selalu dilihat dari kacamata akidah, tapi bisa dipandang dari kacamata lain, seperti tasawuf. Dengan demikian, kenabian Mirza Ghulam Ahmad tidak harus dipahami secara syar’i sebagaimana yang difatwakan oleh Majelis Ulama. Kenabian itu bisa dipahami sebagai orang yang mempunyai pengalaman spiritual lebih.

    Fenomena semacam ini pun banyak dijumpai, misalnya di kalangan masyarakat Jawa. Contohnya, pengultusan terhadap kiai tertentu, para wali, dan tokoh yang dianggap mempunyai pengalaman spiritual dan mampu memberikan ketenteraman batin. Kearifan semua pihak dalam memandang dan memperlakukan Ahmadiyah dan warganya harus lebih komprehensif dan mempertimbangkan berbagai aspek.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus