Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Akhir Pelarian Pengebom Tentena

Mujadid mengaku meledakkan pasar Tentena dua tahun silam. Bom rakitan murid Dr Azahari.

9 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOM itu disetel untuk meledak 38 menit kemudian. Pagi akhir Mei 2005, Mujadid, kini 27 tahun, dengan hati-hati menaruh benda laknat itu di samping gedung Bank Rakyat Indonesia cabang Tentena, Sulawesi Tengah. Selanjutnya, ia bergegas menuju sepeda motor yang tetap menyala yang ditunggui seorang rekannya, Iwan Irano, tak jauh dari sana. Dalam sekejap, keduanya melesat menuju utara, ke arah Kota Poso.

Di sudut yang lain, Amril Ngiode alias Aat bersama Ardin juga beraksi. Ke-duanya meletakkan bom di tengah pa-sar kota itu. Timer bom disetel 15 menit. Keduanya lalu berboncengan menuju Poso, 60 kilometer dari Tentena.

Ketika bom meledak, Mujadid dan Iwan sudah nongkrong di warung kecil di Lawanga, di luar Kota Poso. ”Kami sarapan dan lamat-lamat mendengar ledakan,” kata Mujadid kepada Tempo, Rabu dua pekan lalu.

Dua bom itu menewaskan 22 orang. Tubuh korban melepuh dengan serpihan bom di sekujur tubuh. Menurut polisi, kekuatan bom itu setara dengan bom Bali II, 1 Oktober 2005.

Mujadid—pertama kali masuk Poso pada 2001 bersama kelompok Jamaah Islamiyah—menyatakan dua bom itu dirakit oleh Taufik Bulaga alias Upik Lawanga. Upik pula yang menyiapkan semua bahan. Perakitan dilakukan di rumah Ardin alias Rojak, yang tewas dalam penggerebekan di Tanah Runtuh, Poso, 22 Januari lalu.

Upik Lawanga di kalangan rekan-rekannya di-kenal sebagai ”Azahari da-ri Poso”. Ia pernah belajar dari doktor bom asal Malaysia yang tewas dalam penggerebekan polisi di Batu, Jawa Timur, November 2005, itu. Upik kini diburu polisi.

Tengku Firzan alias Icang juga per-nah belajar soal bom dari Azahari. Mujadid mengaku pernah melihat buku catatan Icang yang berisi rumus-rumus. ”Saya tanya, ’Apaan ini, Cang?’,” kata Mujadid. ”Dia bilang, ’Jangan macam-macam. Ini catatan Doktor’.”

Segera setelah peledakan, Mujadid diminta Hasanuddin, pemimpin Jama-ah Islamiyah di Poso, meninggalkan kota itu. Istri dan anaknya sudah lebih dulu diungsikan ke Jawa. Mujadid naik kapal Lambelu menuju Surabaya. Di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, ia kecopetan. Duit Rp 150 ribu untuk ongkos pulang ke rumah mertuanya di Tawangmangu, Jawa Tengah, raib. ”Aduh, sengsara betul. Masak, teroris kecopetan?” katanya seraya tertawa.

Pada 1 Oktober 2005, bom Bali II meledak. Beberapa hari kemudian, ada utusan Jamaah yang meminta Mujadid lari karena polisi sedang mendekati rumahnya. Satuan Tugas Bom Kepolisian RI menyangka Mujadid sebagai satu di antara tiga pelaku bom bunuh diri. Mereka mengambil sampel darah istri dan anaknya.

Mujadid lari ke Klaten. Dua puluh hari di sana, ia pindah ke Prambanan. Dia kemudian diantar ke Purworejo dan tinggal di rumah kontrakan bersama Salahuddin, tersangka pelaku pengeboman rumah Duta Besar Filipina di Jakarta. Dua bulan kemudian, ia dipindahkan ke Wonosobo. Semua perpin-dahan itu diatur Ari, anggota Jamaah.

Ari lalu menyerahkan lulusan Pondok Pesantren Al-Husein, Jatibarang, Jawa Barat, itu dalam lindungan Sarwo Edi Nugroho. Oleh Komandan Sayap Militer Jamaah Islamiyah Wilayah Semarang itu, ia diinapkan di sebuah rumah di kawasan Borobudur. Di situ tinggal Agus Suryanto, yang tewas dalam penyergapan polisi, Selasa tiga pekan lalu.

Setelah itu, ia dipindahkan ke Parakan, Temanggung. Akhir tahun lalu, ia tinggal bersama istrinya di Kebon Salak, Kranggan, Temanggung. Tentang pemilik rumah yang ditempatinya itu, ia berkata pendek, ”Itu rumah orang kaya. Pemiliknya tinggal di Jakarta.” Di rumah itulah Rabu tiga pekan lalu petualangannya berakhir. Saat dia sedang membaca Al-Quran dengan istrinya, belasan anggota Satgas Bom Polri datang. Ia berusaha lolos lewat jendela, tapi polisi mencokoknya.

Mujadid alias Brekele alias Saiful Anam lalu dinaikkan ke mobil setelah dilumpuhkan. Kaki kirinya didor petugas. ”Nggak papa, saya ikhlas. Dihukum mati pun saya ikhlas,” katanya. Polisi kemudian merawatnya di Paviliun Wijaya Kusuma, ruang perawatan kelas VIP Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta.

Di situlah polisi mempertemukan Mujadid dengan istri, anak, dan belasan kerabatnya. Seorang komandan Satgas Bom Polri bahkan meminjamkan telepon seluler kepadanya. Mujadid lalu menelepon ibunya, yang sedang sakit, di Bandung, Jawa Barat. Katanya terisak kepada sang ibu, ”Mama, ini sudah takdir Allah. Jangan terlalu dipikirin….”

Budi Setyarso (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus