Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Setelah rezim diktator Soeharto lengser keprabon, banyak aktivis di daerah merapat ke kekuasaan.
Banyak yang menjadi komisaris di era Jokowi.
Kiprah aktivis 98 di area kekuasaan dianggap memalukan karena tak mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme seperti yang mereka tuntut ketika berdemonstrasi menurunkan Soeharto.
TANGGAL 2 Desember 2020 menjadi hari traumatis bagi Ridaya Laodengkowe. Di Hari Penghapusan Perbudakan Internasional itu, aktivis mahasiswa saat gerakan Reformasi 1998 yang kemudian menjadi Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch tersebut diciduk penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. “Sungguh memalukan,” katanya kepada Tempo pada Selasa, 16 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ridaya, Ketua Senat Mahasiswa Universitas Gadjah Mada 1997-1998, adalah pasangan Wenny Bukamo dalam pemilihan Bupati Banggai pada 2020. Wenny mengajak Ridaya menjadi calon wakilnya saat maju kembali untuk periode kedua. Portofolio Ridaya sebagai aktivis antikorupsi membuat Wenny kesengsem untuk menggaet suara. Gara-gara tangkap tangan itu, keduanya kalah dengan selisih 3.000 suara oleh pasangan yang menang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyidik KPK menciduk Wenny karena dugaan menerima suap dana sumbangan kampanye dari kontraktor yang tidak disalurkan ke tim pemenangannya. Ridaya ikut terseret karena percakapannya dengan Wenny tentang dana kampanye itu tersadap KPK. Setelah seharian diperiksa, Ridaya dibebaskan karena ia dianggap tak terlibat langsung. “Saya tidak tidur semalaman, bahkan tidak salat Jumat,” ujar alumnus UGM angkatan 1994 ini.
KPK menyita uang Rp 2 miliar saat penangkapan Wenny. Kini Ridaya menyesal tak mengawal penyaluran dana kampanye kepada tim pemenangannya. Dalam hitungannya, ia dan Wenny sudah unggul secara elektabilitas. Operasi KPK tujuh hari menjelang pemilihan membuyarkan strategi yang sudah ia bangun. “Ya, begitulah politik. Konyol,” tuturnya.
Dermonstrasi mahasiwa UGM di Yogyakarta, Maret 1998/Dok DR/LN. Idayanie
Kasus suap itu menjadi pelajaran berharga bagi Ridaya, yang mencari peruntungan di dunia politik praktis. Sebelum terjun ke dunia politik, ia malang melintang bekerja di berbagai lembaga swadaya masyarakat setelah lulus kuliah dari UGM pada 2000. Selain berkiprah di ICW, ia pernah bekerja di Institute for Development and Economic Analysis dan di Kemitraan. Tak seperti aktivis 98 lain, karier politik Ridaya langsung nyungsep begitu ia terjaring operasi KPK. Sekarang ia membantu teman-teman yang masih bergiat di LSM, bekerja dari proyek ke proyek.
Dunia politik bukan hal baru bagi laki-laki yang lahir di Banggai Laut, Sulawesi Tengah, 49 tahun silam ini. Saat ia menjabat Ketua Senat UGM pada 1997, Partai Golkar mencalonkan kembali Soeharto sebagai kandidat tunggal presiden. Pencalonan itu, kata Ridaya, menuai penolakan di banyak kampus meskipun skalanya belum masif.
Senat UGM lalu merespons pencalonan Soeharto itu dengan menggelar referendum mahasiswa pada Oktober 1997. Referendum ini melibatkan 6.000 mahasiswa yang menjawab pertanyaan “Apakah Anda setuju Soeharto kembali menjadi presiden?”. Hasilnya, 80 persen tidak setuju.
Referendum mahasiswa disokong oleh Rektorat UGM dengan mengeluarkan dana Rp 2 juta. Senat menggunakan dana itu untuk kebutuhan operasional, seperti penggandaan kertas suara dan penyediaan makanan ringan. Namun Ridaya tak bisa mengumumkan hasilnya karena Rektorat melarangnya. Rupanya, aparat mencium referendum tersebut dan menekan Rektorat agar tak mengumumkan hasilnya.
Bukan hanya mahasiswa di dalam kampus yang tersulut amarah karena Majelis Permusyawaratan Rakyat mengusung kembali Soeharto. Pada akhir 1997, marak aksi organisasi ekstra-kampus di Yogyakarta, seperti Himpunan Mahasiswa Islam dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, yang menolak pencalonan Soeharto. Salah satu lembaga aksi yang lahir pada pengujung 1997 adalah Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP) di UGM. “Kami lahir di tengah krisis dan organisasi intra dan ekstra-kampus terlalu moderat,” ujar Ketua Presidium KPRP Haris Rusli Moti.
Demonstrasi besar-besaran pertama yang diorganisasi KPRP terjadi pada 2 April 1998. Demo digelar di sepanjang bulevar UGM yang diikuti ribuan orang. Aksi tersebut menuntut kabinet Soeharto dibubarkan. Waktu itu Siti Hardijanti Hastuti, putri sulung Soeharto, masuk Kabinet Pembangunan VII sebagai Menteri Sosial.
Muhammad Mahfud Faozi di Solo, 2022/Dok Pribadi
Moti, mahasiswa Fakultas Sastra UGM angkatan 1993, memimpin demonstrasi itu. Demo yang semula damai berujung ricuh karena aparat merangsek masuk ke kampus dan mengejar mahasiswa hingga memukuli mereka. Pemukulan itu membuat banyak mahasiswa yang semula abai atau pasif bergabung dalam gerakan demonstrasi.
Sejak peristiwa 2 April itu, ditambah kondisi ekonomi nasional yang memburuk, organ-organ mahasiswa di Yogyakarta bersatu. Demonstrasi menolak perpanjangan masa jabatan Soeharto, membubarkan kabinet, serta menuntut harga-harga barang turun kian masif. Puncaknya terjadi pada 8 Mei 1998. Represi aparat menewaskan Moses Gatotkaca, mahasiswa Universitas Sanata Dharma.
Syahdan, mahasiswa Sanata Dharma berdemonstrasi di depan kampus mereka menuntut Soeharto mundur. Menjelang sore, mereka hendak bergabung dengan massa di UGM. Namun, belum sampai para mahasiswa di kampus, aparat menghadang mereka di Jalan Gejayan. Bentrokan tak terelakkan. Menurut Moti dan Ridaya, mahasiswa mencoba melawan dengan melempar batu, tapi dibalas pentungan dan tembakan peluru.
Represi aparat membuat mahasiswa Yogya kian giat berdemo. Puncaknya terjadi pada 20 Mei 1998. Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur Yogya, mengajak masyarakat mendukung gerakan reformasi dalam acara Pisowanan Agung di Alun-alun Utara Yogyakarta. Esoknya, Soeharto berpidato menyatakan mundur sebagai presiden.
Berbeda dengan Ridaya yang bekerja di LSM, Moti memilih jalur politik. Dia bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD) setelah lulus kuliah pada 1999. Ia terpilih sebagai Ketua PRD Yogyakarta. Karier Moti naik ketika ia terpilih menjadi Ketua Umum PRD periode 2001-2003. PRD salah satu partai politik yang mengikuti Pemilihan Umum 1999 tapi tak cukup mendapat suara untuk masuk Dewan Perwakilan Rakyat. “Kami ikut pemilu tapi setengah-setengah karena maunya revolusi,” kata Moti.
Moti kemudian tak melanjutkan kegiatan politiknya di PRD. Ia bersama teman-temannya memilih berbisnis dengan mendirikan biro konsultan investigasi pada awal masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Perusahaannya menyediakan informasi bagi investor yang membutuhkan pengetahuan tentang ekonomi, politik, dan budaya di Indonesia. Bisnis Moti gulung tikar tujuh tahun kemudian.
Perusahaan Moti membiayai penulisan buku George Junus Aditjondro, Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century, pada akhir 2009. Doekoen Cafe di Pancoran, Jakarta, tempat peluncuran buku, merupakan kafe milik Moti. “Terlalu terpancing dalam gerakan anti-SBY, jadi bisnis lewat,” ujarnya.
Polisi anti huru hara membubarkan kerumunan pada kerusuhan di Solo, Jawa Tengah, Mei 1998/Dok DR/[Dwi Arjanto
Aktivis 98 yang berbisnis adalah Muhammad Mahfud Faozi. Setelah lulus kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), ia menggeluti bisnis mebel pada 2003. Bisnis Faozi gulung tikar akibat krisis ekonomi global pada 2008.
Faozi adalah Ketua Senat UMS 1997-1998. Ia memimpin demonstrasi 6.000 mahasiswa ketika di dalam kampus, menuntut pemerintah menurunkan harga pangan di tengah krisis ekonomi pada akhir 1997. Aksi itu berakhir antiklimaks karena mahasiswa membubarkan diri setelah berdemonstrasi selama setengah jam.
Seperti di daerah lain, demonstrasi mahasiswa di Solo kian intens menjelang 20 Mei 1998. Polanya seragam: demonstrasi berakhir dengan kericuhan. Kerusuhan bahkan meluas ke luar kampus. Pada 15 Mei 1998, terjadi penjarahan toko milik pedagang Tionghoa. Sentimen rasial meluas dan aparat menuduh mahasiswa yang memprovokasi penjarahan itu.
Ulin Ni’am Yusron waktu itu menjabat Koordinator Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat, lembaga taktis yang terdiri atas pelbagai elemen mahasiswa. Pada 1999 atau setahun sebelum lulus kuliah, Ulin terpilih menjadi Ketua PRD Solo. PRD mencalonkan Ulin sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah pada Pemilu 1999. Perolehan suaranya tak cukup untuk menjadi anggota legislatif provinsi.
Setelah lulus dari UMS, ia menjadi wartawan Kontan, lalu berpindah ke Berita Satu. Pada Pemilu 2014 dan 2019, Ulin menjadi relawan Joko Widodo. Imbalannya, ia menjabat komisaris Indonesia Tourism Development Corporation atau PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Persero) sejak Oktober 2020. Seperti Ulin, Faozi menjadi komisaris Perusahaan Daerah Air Minum Sukoharjo sebagai imbalan membantu pemenangan Bupati Wardoyo Wijaya pada 2010.
Hasbi Lodang/Dok Pribadi
Jalan hidup aktivis mahasiswa di Medan tak jauh berbeda dengan kawan-kawannya di daerah lain. Mereka terjun ke dunia politik praktis, lalu menjadi pejabat, dan mendapat gaji dari pajak masyarakat. Misalnya Mangasi Tua Purba, aktivis 98 dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Ia tengah mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Pematang Siantar lewat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Mangasi, mahasiswa Universitas Katolik Santo Thomas, Sumatera Utara, pada masa Reformasi 1998 mengorganisasi massa menuntut Soeharto mundur.
Setelah Soeharto lengser, Mangasi meneruskan kegiatannya di GMNI dengan menjadi pengurus daerah sampai di pusat, di Jakarta. Pada 2008, ia pulang kampung dan mencoba peruntungan dalam seleksi Komisi Pemilihan Umum. Lima tahun berikutnya, ia menjadi Ketua KPU Pematang Siantar. Kini ia aktif sebagai Wakil Ketua PDIP Pematang Siantar.
Sebagai aktivis 1998, Haris Rusli Moti mengaku malu jika melihat ragam aktivitas teman-temannya dalam dunia politik dan kekuasaan. Menurut Moti, mereka tidak bisa mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mereka tuntut kepada rezim Soeharto. “Aktivis 98 sudah menjadi bagian kekuasaan, bahkan oligarki,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jadi Oligark pada Akhirnya"