Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR setahun lamanya Tosca Santoso menjadi eksil pada sekitar 1997. Dipecat dari Forum Keadilan sebagai wartawan karena ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), ia bergabung dengan Komunitas Utan Kayu yang dirintis mantan Pemimpin Redaksi Tempo, Goenawan Mohamad. Di Utan Kayu, pria yang kini berusia 59 tahun ini mendukung aksi mahasiswa menjelang Reformasi 1998 sehingga diburu aparat. Ia lalu pergi ke Kuala Lumpur dan Bangkok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Santoso mengelola redaksi dan menerbitkan Suara Independen, majalah bawah tanah yang memuat informasi sensitif tentang pemerintah Orde Baru. Di antaranya kondisi kesehatan Soeharto dan Menteri Penerangan Harmoko yang diduga mengempit saham beberapa perusahaan media. “Rumah saya sering diawasi aparat,” kata Santoso saat dihubungi pada Rabu, 10 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Desa Ciputri, di kaki Gunung Gede-Pangrango, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Santoso kini bertani kopi. Ia juga mendampingi para petani setempat dalam program perhutanan sosial. Santoso menampung panenan biji kopi dari petani, lalu mengolahnya hingga menjadi produk akhir. Namanya Kopi Sarongge.
Sebelum meninggalkan Tanah Air, Santoso rutin merilis majalah bawah tanah dan selebaran gelap. Ia mengerjakannya sekitar tiga tahun setelah didapuk menjadi Sekretaris Jenderal AJI pada Agustus 1994. Ratusan wartawan mendirikan AJI untuk merespons pembredelan tiga media oleh pemerintah Orde Baru: Detik, Editor, dan Tempo.
Selain menyiarkan kabar yang disembunyikan Istana, Santoso dan timnya merilis buku yang disensor pemerintah Orde Baru. Salah satunya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya Pramoedya Ananta Toer. Bacaan itu segera meluas di kalangan mahasiswa dan aktivis. Santoso mengklaim anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD) menggunakan terbitannya sebagai bahan diskusi internal.
Suara Independen. warungarsip.co
Publikasi itu dicetak di perusahaan penerbitan yang berlokasi di Jakarta Selatan. Santoso bisa mencetak sekitar 15 ribu eksemplar untuk setiap edisi. Meski demikian, jumlah yang beredar diperkirakan lebih tinggi karena mahasiswa biasanya menggandakan lalu menjualnya lagi.
Ihwal hak cipta, Santoso tak ambil pusing. “Yang penting bacaan itu bisa menumbuhkan sikap kritis mahasiswa terhadap rezim yang represif,” ujarnya. Toh, duit yang diperoleh mahasiswa dari berjualan selebaran bajakan itu akan dipakai untuk menghidupi organisasi.
Aparat mengendus percetakan klandestin itu. Andi Saputra, pemilik percetakan langganan Santoso, dicokok aparat. “Itu sinyal dari pemerintah agar kami menghentikan publikasi bawah tanah,” ucap Santoso, eks jurnalis surat kabar Bisnis Indonesia.
Santoso mencari cara agar bisa terus menerbitkan selebaran. Sebab, setelah penangkapan Andi, tak ada satu pun pemilik usaha percetakan yang berani menerima order dari kelompok Santoso. Satu-satunya cara adalah membeli mesin cetak sendiri. Tapi harganya tentu tak murah.
Ia mencari pinjaman uang ke Media Development Investment Fund, organisasi nonprofit di New York, Amerika Serikat, yang mendukung kebebasan informasi. Lembaga itu memberikan sekitar US$ 180 ribu—kini senilai Rp 2,7 miliar. Dibantu Dedi Ekadibrata, aktivis dari Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat, Santoso membeli mesin cetak lalu memasangnya di sebuah rumah di Tangerang, Banten.
Menyamarkan kegiatan mencetak selebaran propaganda, penerbitan Santoso menerima order pembuatan undangan perkawinan seperti lazimnya perusahaan percetakan. Ia mengerjakan pesanan itu pada sif pagi sampai siang. “Buku Pramoedya dan terbitan gelap baru dicetak saat sif malam,” tuturnya.
Kegiatan mencetak dan menyebarkan buletin propaganda kian intens setelah Santoso pulang ke Tanah Air pada awal 1998. Santoso dan Teddy Wibisana, kini Komisaris Independen Indofarma, bekerja layaknya wartawan. Pada pagi hingga siang mereka meliput berita, sementara sore sampai malam menyunting naskah, mencetak, dan menyebarkannya kepada mahasiswa yang berdemonstrasi di gedung Dewan Perwakilan Rakyat.
Sementara Santoso menerbitkan buletin, Yosep "Stanley" Adi Prasetyo menggarap komunitas pers kampus bersama kelompoknya. Mereka menggunakan sandi “Blok M”. Sandi itu merujuk pada kawasan bisnis dan pusat belanja di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Namun ia menjelaskan bahwa “Blok M” sekadar kode dan timnya tak berkantor di sana.
Yosep Adi Prasetyo .Tempo/Subekti
Markas tim “Blok M” masih berkabut. Stanley menolak membeberkan detail operasi kelompoknya meski Reformasi 1998 sudah lewat 25 tahun. “Musuh kami waktu itu masih berkuasa sekarang,” kata Stanley, Ketua Dewan Pers 2016-2019. “Ada yang menjadi sekretaris kementerian dan pejabat eselon I.”
“Blok M” menjadi salah satu jangkar diskusi bagi aktivis mahasiswa. Menurut Stanley, di tempat itu rapat-rapat rutin digelar. Hasilnya disebarkan ke jaringan organisasi mahasiswa, antara lain melalui pelatihan jurnalistik. “Semangatnya adalah menumbuhkan sikap kritis di kalangan mahasiswa,” ujarnya. Peserta pelatihan lantas direkrut menjadi anggota jaringan di daerah.
Tak sembarang orang bisa masuk kelompok ini. Pada awal pembentukan, selain Stanley, anggotanya tiga mahasiswa dan seorang wartawan yang juga peneliti. Anggota baru harus melalui pengecekan latar belakang dan dibawa oleh aktivis yang sudah dikenal Stanley.
Baca: Inferiority Complex Soeharto yang Tak Terlihat
Sekali peristiwa, lokasi “Blok M” terindikasi bocor. Seorang anggota berniat membawa orang baru untuk mendekati markas. Stanley memutuskan memindahkan kantor karena ada risiko terhadap keselamatan penghuni. “Teman yang melanggar itu langsung dikeluarkan dari jaringan,” tuturnya.
Stanley membangun jaringan dengan kelompok lain. Salah satunya Suara Ibu Peduli, organisasi masyarakat sipil yang bergiat dalam isu kesetaraan perempuan. Pendirinya antara lain Karlina Supelli dan Gadis Arivia—keduanya aktif di Jurnal Perempuan.
Karlina, sekarang dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, menyebutkan ia menghubungi Stanley ketika Suara Ibu Peduli akan menggelar demonstrasi. Unjuk rasa itu memprotes harga susu dan bahan kebutuhan pokok yang mahal di depan Hotel Indonesia, Jakarta Pusat.
Menurut Karlina, Stanley membantu Suara Ibu Peduli dengan mengumpulkan para pewarta, dari dalam dan luar negeri, untuk meliput unjuk rasa kelompok perempuan itu pada Senin, 23 Februari 1998, atau tiga bulan sebelum Soeharto lengser. “Aksi Suara Ibu Peduli mendapat liputan yang luas karena jaringan wartawan yang digalang Stanley,” kata Karlina.
Ihwal pendanaan, Stanley menyebutkan ada sekelompok orang dari luar negeri yang bersimpati pada proses transisi demokrasi di Indonesia. Tak hanya dalam bentuk dana tunai, bantuan berupa alat dan teknologi komunikasi juga ada untuk menghindari penyadapan dan sensor.
Goenawan Mohamad di Teater Utan Kayu, Jakarta, 1998. Dok DR/ Rully Kesuma
Menurut Stanley, pendiri Tempo, Goenawan Mohamad, juga membantu mencarikan dukungan logistik. Goenawan membenarkan kabar bahwa ada lembaga donor yang menyumbang gerakan prodemokrasi di Indonesia. Umumnya dana itu dipakai untuk membiayai pelatihan jurnalistik di universitas.
Santoso dan Stanley memang mengerjakan tugas yang berbeda untuk menyokong aktivis. Yang membuhul mereka satu: Institut Studi Arus Informasi (ISAI). Penggagas organisasi itu adalah Goenawan Mohamad. “Tujuan utama mendirikan ISAI adalah menerobos sensor yang dilakukan pemerintah,” kata Goenawan di Salihara, Jakarta Selatan, Rabu, 17 Mei lalu.
ISAI membawahkan kelompok-kelompok kecil yang dipimpin koordinator seperti Santoso dan Stanley. Mereka bekerja dengan sistem sel bawah tanah. Anggotanya sedikit dan hanya mengenal identitas orang di dalam kelompok. Goenawan bahkan tak tahu siapa saja yang bekerja bersama Santoso dan Stanley.
Andreas Harsono, yang mengatur administrasi di ISAI, pun tak bisa memastikan jumlah persis orang yang bergabung dengan kelompok ini. Ia hanya ingat pernah meneken pengupahan untuk 110 orang—jumlah terbanyak yang pernah dibayar ISAI—termasuk tim Santoso dan Stanley.
Menurut Andreas, anggota kelompok menggunakan nama samaran untuk berkomunikasi. Andreas masih ingat tiga identitas palsu untuknya: Rafael, Kompyang, dan Rajendra. “Nama itu dipakai untuk berkomunikasi dengan orang yang berbeda-beda,” ujar Andreas—kini peneliti Human Rights Watch—lembaga pembela hak asasi manusia yang berbasis di New York.
Ihwal nama samaran ini, Goenawan Mohamad punya cerita. Goenawan, yang punya identitas palsu Ghufron, mengatakan pemakaian kode khusus juga berlaku untuk mengatur lokasi pertemuan. Kolega Goenawan pernah salah mengingat kode lokasi untuk kawasan Proklamasi, Jakarta Pusat, sehingga tersesat sampai ke Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Baca juga: Benarkah Bisnis Surya Paloh Terganggu Setelah Deklarasi Anies Baswedan?
Nama samaran ini umumnya dipakai anggota saat berkontak menggunakan penyeranta alias pager. Tentu saja tujuannya adalah mengelabui aparat jika ada komunikasi yang bocor. Membeli dan mendaftarkan nomor pager, Goenawan dan teman-temannya memakai kartu tanda penduduk orang lain. “Surveilans waktu itu memang belum canggih, tapi kami perlu berjaga-jaga,” ucapnya.
Ketika Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998, Goenawan menyaksikannya dari layar televisi. Ia tak kaget. Beberapa jam sebelumnya, Goenawan mendengar informasi bahwa Soeharto bakal mundur. Padahal ia memperkirakan gerakan Reformasi 1998 yang bertujuan menumbangkan Orde Baru bakal berlarut-larut. “Soeharto berkuasa terlalu lama,” tuturnya. "Tapi dia jatuh terlampau cepat.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Operasi Senyap dari 'Blok M'"