Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MELANGKAH bergegas ke tengah bundaran air mancur di seberang Hotel Indonesia, Karlina Supelli hendak berunjuk rasa bersama aktivis perempuan. Hari itu, Senin, 23 Februari 1998, atau tiga bulan sebelum gelombang demonstrasi mahasiswa yang menuntut Reformasi 1998, Karlina dan kawan-kawannya memprotes harga susu yang kelewat mahal akibat krisis ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puluhan polisi berjaga dan mengamati wira-wiri warga di Bundaran Hotel Indonesia. Namun sumber perhatian siang itu adalah Karlina, yang saat itu menjadi dosen Universitas Indonesia dan redaktur di Jurnal Perempuan. Terimpit di tengah para pewarta foto yang berjalan, Karlina mengenakan kaus berwarna jingga dan sepatu berhak tinggi serta menenteng payung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Polisi menyetop saya karena berpakaian mencolok dan satu-satunya perempuan di tengah wartawan,” kata Karlina menceritakan ulang kejadian itu di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Selasa, 16 Mei lalu. Polisi mempertanyakan tujuan Karlina berseliweran di sekitar landmark Ibu Kota.
Menjawab interogasi itu, Karlina berdalih sedang mengikuti sesi pemotretan. Lalu ia mengembangkan payungnya. Tanpa diberi aba-aba, para juru foto di sekitar Karlina menimpali bahwa dia model kalender. Jadilah Karlina berpose layaknya peragawati dan fotografer bergantian menjepretnya. Cekrek! Cekrek! Polisi percaya dan membiarkan ia berlalu.
Dokumentasi Yayasan Jurnal Perempuan saat aksi Suara Ibu Peduli, di Jakarta, Februari 1998. Dok YJP
Lolos dari polisi, Karlina berhimpun bersama 14 perempuan yang tergabung dalam Suara Ibu Peduli, organisasi masyarakat sipil yang dibentuk para pegiat hak dan kesetaraan perempuan. Tatkala Karlina berlenggok-lenggok, mereka sebetulnya sudah bersiap di sekitar bundaran air mancur. Adegan Karlina membuka payung adalah kode untuk merapat ke titik demonstrasi.
Bergabung dengan Karlina, ada Gadis Arivia—Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan. Para perempuan itu lantas membentangkan kain bertulisan sejumlah tuntutan kepada rezim Orde Baru. Memakai isu stok susu yang langka dan harganya melambung, mereka meminta pemerintah memperhatikan gizi anak-anak. Mereka juga mendesak penurunan harga bahan kebutuhan pokok alias sembako.
Ide sebenarnya dari aksi tersebut adalah memprotes kepemimpinan Soeharto yang otoriter melalui persoalan yang dihadapi para ibu sehari-hari. “Tema susu itu kamuflase saja karena kami sadar akan langsung ditangkap kalau terang-terangan menuntut pelengseran Soeharto,” ucap Karlina, kini pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
Baca: Mundurnya Cita-cita Reformasi 1998 di Era Jokowi
Unjuk rasa Suara Ibu Peduli berlangsung setengah jam saja. Polisi membubarkan aksi tersebut, lalu menggulung Karlina dan Gadis ke mobil patroli. Keduanya dituduh sebagai motor demonstrasi. Sebelum kendaraan melaju ke Markas Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya di kawasan Semanggi, aparat juga mendorong aktivis asal Salatiga, Jawa Tengah, Wilasih Nophiana, ke dalam mobil.
Wilasih sebelumnya tak mengenal Karlina dan Gadis. Ia bergiat di Yayasan Geni yang aktif menentang represi pemerintah di daerah, seperti proyek Waduk Kedungombo di Jawa Tengah. Ia ikut berkumpul di Bundaran Hotel Indonesia setelah mendengar rencana aksi Suara Ibu Peduli. “Saya mau bersikap terhadap kekuasaan yang menindas,” kata Wilasih, kini Sekretaris Yayasan Proyek Peduli yang memperjuangkan kesejahteraan hewan di Bali.
Di kantor Polda Metro Jaya, ketiganya diinterogasi tentang alasan berunjuk rasa. Gadis Arivia, sekarang mengajar di Montgomery College, Amerika Serikat, bercerita, polisi melontarkan pertanyaan soal hubungan antara Suara Ibu Peduli dan komunisme. Namun mereka berkukuh memprotes harga susu yang menyulitkan kaum ibu.
Karlina Leksono, Wiliarsih, dan Gadis Anivia saat di PN Jakarta Pusat. Dok DR/Hidayat SG
Menginap semalam di kantor polisi, ketiganya bebas pada Selasa, 24 Februari 1998. Polisi memerintahkan mereka wajib lapor. Bersidang beberapa kali di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ketiganya mendapat abolisi dari Presiden B.J. Habibie pada 28 Mei 1998, sepekan setelah Soeharto lengser. “Ada tekanan publik yang mendukung aksi Suara Ibu Peduli,” tutur Gadis.
Para aktivis perempuan, sebagian besar aktif di Yayasan Jurnal Perempuan, merancang aksi sejak November 1997. Gagasan memprotes rezim Soeharto yang represif mula-mula muncul dari diskusi di kalangan redaksi Jurnal Perempuan. Berhari-hari mereka membincangkan aksi protes perempuan Argentina di Plaza de Mayo, alun-alun di depan Istana Kepresidenan Buenos Aires.
Para perempuan itu adalah ibu dari aktivis yang tewas dan hilang selama junta militer berkuasa di Negeri Tango pada 1976-1983. Setelah mengkudeta Presiden Isabel Peron pada Maret 1976, junta militer menangkap dan menyiksa kelompok oposisi. Para ibu memprotes pelanggaran hak asasi itu dengan berpakaian serba hitam setiap Kamis sore di Plaza de Mayo. “Kami ingin meniru aksi itu,” ujar Gadis.
Baca: Umi Sardjono dan Stigma Gerwani
Tiga bulan lamanya ide demonstrasi dimatangkan. Gadis, Karlina, dan kolega mereka di Yayasan Jurnal Perempuan sepakat melibatkan organisasi perempuan lain. Mereka menggelar rapat di kantor Yayasan Jurnal Perempuan, dekat Bioskop Megaria, Jakarta Pusat, pada 13 Februari 1998. Sedikitnya 15 aktivis perempuan lintas organisasi, seperti Rumah Ibu dan Solidaritas Perempuan, hadir.
Menurut Gadis, pertemuan itu membahas nama gerakan ketika seorang hadirin melontarkan Suara Perempuan Peduli sebagai identitas kelompok. Usul itu tenggelam karena kata “perempuan” dianggap tak akrab di telinga rezim Orde Baru.
Pemerintah sering memakai kata “ibu”, seperti yang melekat pada anggota Dharma Wanita—organisasi bagi istri pegawai negeri. “Kami berstrategi agar aparat tak lekas mengecap kami sebagai kelompok subversif,” ucapnya. Akhirnya dipilihlah Suara Ibu Peduli sebagai identitas gerakan.
Setelah nama kelompok diperoleh, mereka merumuskan isi protes kepada pemerintah. Tak mungkin mereka terang-terangan menulis “Turunkan Soeharto” di kain spanduk karena aparat sangat represif terhadap demonstran. Karena itu, anggota Suara Ibu Peduli mencari problem yang dihadapi para ibu saat itu.
Memiliki anak berusia 8 bulan, Gadis mengusulkan isu susu. Di toko swalayan dekat rumahnya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, stok susu sering habis. Kalaupun ada, harganya naik empat kali lipat. “Mudah menarik simpati dari perempuan lain karena mereka juga kesulitan mendapatkan susu bayi,” kata doktor filsafat lulusan Universitas Indonesia ini.
Menyarukan tujuan aksi, Suara Ibu Peduli menjual susu murah di kantor Yayasan Jurnal Perempuan. Adalah Himah Sholihah, kini Koordinator Sahabat Jurnal Perempuan, yang mengurus program ini. Anggota Yayasan Jurnal Perempuan dan sejumlah donatur menyumbangkan duit hingga terkumpul hampir Rp 6 juta pada 16 Februari. Sumbangan ini yang dipakai untuk membeli susu bubuk.
Himah pergi ke sebuah pabrik susu asal Swiss yang berkantor di Pulogadung, Jakarta Timur. Ia menerangkan kepada manajer perusahaan itu bahwa susu yang akan diperolehnya akan dijual kepada ibu-ibu dengan harga murah. Himah sukses melobi petinggi pabrik susu itu dan memperoleh berkarton-karton susu bayi.
“Antrean pembeli sangat panjang ketika kami membuka lapak,” tutur Himah. Bazar susu murah itu pertama kali digelar pada 20 Februari 1998 atau tiga hari sebelum Karlina Supelli dan Gadis Arivia berdemonstrasi di depan Hotel Indonesia. Karlina dan Gadis belakangan menggunakan kegiatan pasar amal itu sebagai bukti saat mereka dicokok polisi.
Baca: Layang-layang Putus Anak Soeharto
Perhatian Suara Ibu Peduli meluas, bukan cuma persoalan susu. Menurut Karlina, kelompoknya mulai menyuarakan penentangan terhadap penculikan aktivis. Tentara menculik belasan aktivis di Jakarta sejak awal Februari hingga Mei 1998. Beberapa di antara mereka belum pulang sampai hari ini dan diduga sudah dibunuh.
Verania Andria, mantan Ketua Pusat Studi Ilmu Sosial dan Kemasyarakatan Institut Teknologi Bandung, mengatakan Suara Ibu Peduli bersafari ke kampus-kampus dan berkolaborasi dengan organisasi mahasiswa. Mereka mengadakan aksi damai di lapangan basket ITB melalui acara musik. “Kami membawa pesan jangan menculik mahasiswa,” ujar Rara—panggilan Verania.
Tatkala gelombang demonstrasi mahasiswa pecah pada Mei 1998, Suara Ibu Peduli mendirikan pos logistik, juga di kantor Yayasan Jurnal Perempuan. Karlina Supelli, Redaktur Jurnal Perempuan, bercerita, saban hari ada dermawan yang menyumbangkan uang dan nasi bungkus ke sana. Uang itu dibelanjakan nasi Padang di dekat kantor Yayasan Jurnal Perempuan, lalu dikirim ke titik unjuk rasa, seperti gedung Dewan Perwakilan Rakyat.
Berbagai macam bantuan berdatangan ke markas Suara Ibu Peduli. Ada seorang ayah yang mengaku tak punya uang tapi ingin membantu gerakan mahasiswa. Bapak itu lalu mengatakan kepada Karlina bahwa anaknya bisa menjadi sukarelawan untuk mengerjakan apa saja. Jadilah anak itu membantu membungkus nasi atau sekadar menata kardus berisi logistik.
Hari-hari menjelang rezim Orde Baru tumbang, bantuan logistik ke Suara Ibu Peduli mengalir makin deras. Kelompok ini pun mendirikan pos khusus di halaman gedung DPR. Di situlah Karlina dan sebagian besar anggota Suara Ibu Peduli berada saat Soeharto membacakan surat pengunduran diri pada 21 Mei 1998.
Baca juga: Benarkah Bisnis Surya Paloh Diganggu Setelah Deklarasi Anies Baswedan?
Seperempat abad Reformasi 1998, Karlina menyebutkan perempuan masih mengalami nestapa. Bukan sekadar kelangkaan susu, tapi juga kekerasan seksual, kematian ibu setelah melahirkan, dan kesulitan akses pada pendidikan. Pada persoalan itu, Karlina kini menaruh perhatian. “Isu perempuan belum menjadi prioritas utama bagi pemerintah,” kata Karlina.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini terbit di edisi cetak dengan judul "Protes Susu Kaum Ibu"